Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Belum Terlambat

17 April 2014   04:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Desi, masih muda dan cantik.

Dia datang bersama putri kecilnya yang berumur 2,5 tahun ke Yayasanku untuk mendaftar sebagai peserta didik program paket A (setara SD). Saat ku tanya mengapa mengambil paket A, apakah tidak sekolah SD sebelumnya?. Jawabnya dia putus sekolah di SD kelas V. kini mau ambil ijazah paket A karena ada yang menawari bantu-bantu di PAUD. Mereka butuh ijazah, paling tidak tamat SD sebagai bukti dia tidak buta huruf.

Setiap tahun yayasan yang kubina menerima siswa-siswi putus sekolah atau droup out untuk dapat mengikuti program kesetaraan yakni Paket A untuk yang belum tamat SD, paket B untuk yang belum tamat SMP dan paket C untuk yang belum menyelesaikan pendidikan SMA. Jika usia mereka masih usia sekolah maka setelah tamat paket A dan paket B mereka dapat melanjutkan ke sekolah formal yakni ke SMP dan SMA. Dan lulusan paket C dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas.

Program ini banyak diminati masyarakat terutama masyarakat ekonomi ke bawah dan anak-anak bermasalah lainnya. Permasalahan mereka tidak bersekolah atau putus sekolah antara lain karena factor biaya sekolah yang mahal, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah karena nakal, menikah sebelum waktunya, karena pergaulan bebas dan factor kemalasan atau tidak adanya motivasi belajar di rumah.

Sudah 6 tahun saya bergelut dalam dunia pendidikan nonformal ini, suka dan duka selaku guru ataupun pendamping membuatku kenyang dengan pengalaman. Awalnya sangat sulit untuk mengarahkan mereka agar aktip mengikuti pertemuan yang kami adakan. Mereka cenderung hanya ingin mendapatkan ijazahnya saja, tanpa mau terlibat dalam proses pembinaan. Padahal inti dari pendidikan non formal tersebut adalah merubah prilaku dan pola fikir mereka, agar dapat menjadi “manusia seutuhnya” dan dapat melanjutkan pendidikannya seperti masyarakat yang berpendidikan lainnya.

Penyesalan selalu datang diakhir kisah…itulah yang dialami Desi, salah satu siswa paket A di Yayasanku. Wanita muda ini korban rayuan laki-laki yang “disangkanya” akan merubah nasibnya menjadi lebih baik. Desi rela meninggalkan suami pertamanya yang hanya pedagang sayur keliling, tak tahan dengan beban hutang dan kemiskinan bersamanya. Desipun memilih menikah lagi dan menjadi isteri kedua dari laki-laki yang “disangkanya” lebih baik dan akan membuat hidupnya sejahtera. Persangkaan tersebut hanyalah semu, kenyataannya, Desi hanya isteri yang didatangi jika diingini dan ditinggal pergi jika hasrat telah tertunaikan. Bukan kesenangan yang didapat, melainkan penderitaan lahir dan bathin. Desi lebih miskin dari sebelumnya ditambah perasaan tertekan kaena merupakan pelengkap saja.

Desi datang ke yayasanku, untuk merubah nasib. Dia ingin sekolah lagi dan mengambil ijazah paket A. dia ingin bekerja untuk menghidupi diri dan putri kecilnya karena sang suami sudah jarang menemuinya.

Itu kisah Desi. Lain halnya dengan pak Tarmizi, pak Tarmizi ngotot ikut belajar dan mengambil ijazah persamaan SD yakni paket A, karena merasa bersalah. Laki-laki ini sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, umurnya sudah kepala 5. pak Tarmizi datang ke yayasanku untuk mendaftar ikut paket A. seperti halnya Desi, aku bertanya pertanyaan serupa, apakah dia tidak sekolah di SD dahulunya. Dan jawabnya, pak Tarmizi dulu anak yang bandel sehingga di keluarkan di sekolah saat di kelas 3 SD. Lalu mengapa baru sekarang ada kesadaran ingin sekolah. Maka berceritalah pak Tarmizi, bahwa Ramadhan tahun lalu dia pulang ke Jawa untuk menghadiri pesta pernikahan anak saudaranya. Di sana dia ditawari oleh seorang pengusaha muda untuk menjadi sopir pribadi dengan gaji yang lumayan besar untuk seukuran pak Tarmizi. Dia sangat tertarik dan berminat mengajukan diri menjadi sopir tersebut karena dia sudah letih menjadi petani. pak Tarmizi selalu merasa, kekurangan terutama pada masa paceklik datang. Jikapun musim panen tiba, maka hasilnya hanya cukup untuk membayar hutang di musim sebelumnya. Nah, karena pak Tarmizi punya keahlian menyopir, maka tawaran tersebut begitu mengiurkan. Namun…apa hendak di kata, saat dia datang mengajukan diri. Sang pengusaha muda menanyakan tingkat pendidikannya. Dengan polos dia berkata jujur kalo dia hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Rupanya hal tersebut penyebab dia gagal diterima jadi sopir, karena menurut sang pengusaha, pak Tarmizi harus punya ijazah, minimal SD. Kalo Cuma kelas 3 apa bisa membaca dan ngerti rambu-rambu lalu lintas, begitu alasannya. Nah…kata-kata pengusaha dan gagalnya dia menjadi sopir lantaran tidak mempunyai ijazah tersebut memotivasinya untuk sekolah. Meski usia tak lagi muda, pak Tarmizi ingin menebus kesalahannya di masa kanak-kanak dulu. Masa kanak-kanak yang liar dan tak berpendidikan.

Kisah lainnya dialami oleh ibu Rosmala, dia ikut mendaftar menjadi siswa paket A karena tidak bisa memenuhi persyaratan data base honorer di Dinas Kebersihan tempat dia bekerja selama ini. Baru-baru ini ada pengangkatan honorer menjadi CPNS bagi yang sudah mengabdi minimal 5 tahun. Ibu Rosmala telah honor menjadi tukang sapu jalan selama 9 tahun. Dan karena tidak ada ijazah sama sekali maka harapan menjadi CPNS pun sirna. ibu Rosmala rajin datang dan mengikuti pembinaan setiap sabtu dan minggu di yayasanku. Dan dari kisahnya banyak teman-teman tukang sapu jalanan lainnya ikut serta belajar bersamanya.

Nah…kisah Desi yang menyesal karena salah pilih suami, kisah Pak Tarmizi yang menyesal tak menyelesaikan sekolah dan kisah ibu Rosmala yang gagal menjadi CPNS menjadi motivasi bagi siswa-siswa didikku yang lain. Mereka tak sungkan membuka cerita kelam tersebut agar tak terjadi pada orang lain. Saya dan segenap dewan guru memberi apresiasi dan terus menumbuhkan harapan baru kepada mereka. Tak putus-putus lisan kami berucap, tak ada kata terlambat untuk merubah nasib menjadi lebih baik. Tak ada manusia yang terlahir biasa-biasa saja. Namun….yang ada adalah manusia yang gagal menjadikan dirinya luar biasa.

Saat ini Desi telah keluar dari derita bathinnya dengan memilih hidup menyendiri dan mulai dengan bisnis kecil-kecilan berupa warung kelontong di depan kostnya, bapak Tarmizi terpilih menjadi Imam masjid dan mendapat honor sebagai tenaga Penyuluh Agama dari Kemenag, dan ibu Rosmala yang tak beruntung jadi CPNS namun gajinya naik berkat adanya ijazah paket A. Nah…untuk Desi, tarmizi dan Rosmala yang lain….masih ada waktu, belum terlambatuntuk menjadi pribadi lain yang membanggakan.

(Seperti yang dituturkan Ibu Helmi Yesi pada penulis 16/4/2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun