Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarlah Tulisan Itu Mengikuti Takdirnya

20 Oktober 2014   19:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:22 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika ada tiga orang yang perlu mendapatkan apresiasi dalam gaya menulis, menurut saya pribadi, maka tiga orang itu adalah WS Rendra, Buya Hamka dan Thmrin Dahlan. Kebetulan ketiga orang yang saya apresiasi itu, memiliki benang merah antara ketiganya.

WS Rendra, dalam sebuah kesempatan, menulis, Jika ada orator terbaik di Indonesia, yang mampu membuat audiencenya terpaku, lalu mengikuti segala tetek bengek uraiannya dalam berorasi, maka orang pertama itu, Ir Soekarno. Lalu, orang kedua itu, Buya Hamka.

Masih menurut Rendra, Soekarno dengan pidatonya yang gagah berani, mampu memukau dan menggerakkan audience untuk mengikuti apa yang dipidatokannya, sementara Buya Hamka, dengan kefasehan dalam bersasatra yang diejawantahkan dalam orasi, mampu memukau apa yang diceramahkannya. Dua-duanya, mampu meninggalkan kesan mendalam pada audience, hingga tak sedikit, mereka mampu, mengulangi kata perkata dari apa yang telah dipidatokan, baik oleh Soekarno maupun oleh Buya Hamka.

Rendra memiliki kelebihan dalam menulis Puisi, sedang Buya Hamka memiliki kelebihan dalam menulis Sastra, puluhan novel bernilai sastra telah lahir dari tangan Buya Hamka.

Sedangkan Thamrin Dahlan, seorang Purnawirawan Polisi, memiliki kelebihan dalam semangat menulis dalam era modern, seorang kompasianer yang telah melahirkan beberapa buku, tulisannya mengalir deras pada setiap kesempatan, langganan Hihgliht dan TA, bahkan tak jarang dalam satu hari yang sama, ada dua hingga tulisan yang nangkring di kolom ter.. ter..

Lalu apa benang merahnya antara Buya Hamka dan Thamrin Dahlan?

Dalam banyak tulisan, apakah di Kompasiana atau update status di Facebook, Thamrin Dahlan sering mengutip kalimat Buya Hamka “Biarlah tulisan itu mengikuti Takdirnya… Biarlah tulisan itu membela dirinya sendiri”. Sebuah ungkapan yang agaknya memiliki arti yang sangat berarti bagi Thamrin Dahlan, sehingga beliau sering mengutip ungkapan itu, boleh jadi, beliau sedang berusaha memasarkan ungkapan itu, agar kita semua dapat menangkap RUH dari ungkapan yang syarat makna itu. Ungkapan yang sering beliau kutip itulah, yang membentuk benang merah antara Buya Hamka dan Thamrin Dahlan.

Adalah Hamid, seorang pemuda Minang, yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya setelah kematian sang Ibu, membawa hatinya yang patah untuk menuju Mekah, karena tak ada lagi yang dapat dibuat alasan untuk bertahan di ranah Minang, karena Zainab, sang dara yang dikagumi dan dicintai tak mungkin untuk diraih. Perbedaan antara keduanya menganga jurang teramat dalam dan lebar. Hamid yang dengan belas kasihan haji Ja’far, dapat menuntut ilmu agama di Padang Panjang, sementara Ibu Hamid hanya pembantu di rumah Haji Ja’far di Padang Kota. Maka ketika Haji Ja’far berpulang lalu disusul sang bunda berpulang, tak ada alasan lagi bagi Hamid untuk menolak permintaan Ibu Zainab, Aisah, untuk membujuk Zainab agar bersedia menerima lamaran yang datang dari sepupunya.

Imagine, membujuk orang yang dicintai untuk menikah dengan orang lain. sementara orang yang dibujuk, sangat mencintai orang yang membujuk. Hamid sangat mencintai Zainab, demikian sebaliknya. Zainab sangat mencintai Hamid. Hanya karena balas budi dan status social Hamid harus melakukan apa yang sangat bertentangan dengan rasa hatinya

Ketika Saleh, suami Rosna hendak melakukan ibadah haji. -Rosna dan Saleh, teman kental mereka sejak kecil- Zainab menitipkan surat untuk sang pujaan hati-Hamid- yang musykil untuk diraih itu. Bertanyalah Saleh :”Bagaimana mungkin menyampaikan surat itu pada Hamid? Satu manusia diantara jutaan manusia, ketika ibadah haji berangsung, sedangkan alamat Hamid saja, saya tidak tahu, apakah Hamid masih hidup atau sudah meninggal, saya tidak tahu, apakah Hamid ikut melaksanakan Ibadah haji atau tidak, saya juga tidak tahu?”

Menjawab pertanyaan Saleh dan keraguan Saleh itu, Zainab yang ketika itu, sedang dalam kondisi sakit akut, menjawab, jawaban inilah kelak, yang menjadi sebuah jawaban yang sangat terkenal, yang selalu saja menjadi kutipan bagi mereka yang asyik dalam dunianya, dunia tulis menulis.

Jawaban zainab atas pertanyaan Saleh itu…. “Biarlah tulisan itu mengikuti Takdirnya… Biarlah tulisan itu membela dirinya sendiri”.

Sebuah jawaban yang syarat makna, jawaban yang dapat ditafsirkan dalam banyak solusi, pada banyak problematika dalam dunia tulisan.

Catatan:

Hamid dan Zainab, tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”… narasi yang ditulis diatas, versi saya sendiri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun