Bicara soal Polygami, selalu diasosiakan dengan Islam. Hingga ada anekdot, jangan mau disunting ulama, jika suatu ketika kelak, tak sanggup untuk diduakan. Pemikiran miring itu, begitu melekat pada benak masyarakat, sehingga ada dikhotomi pemikiran, antara tingkat kesalehan dan perilaku “menyimpang” dengan berpolygami.
Lebih memperihatinkan lagi, jika dilihat pada praktek keseharian. Bahwa bertambahnya jumlah isteri, selalu disandarkan pada selera. Bahwa, isteri kedua dan seterusnya, lebih muda, lebih cantik, lebih sexy dan lain-lain yang konotasinya lebih dititik beratkan pada kondisi fisik sang wanita.
Saya tidak akan membicarakan soal polygamy, dalam persepektif agama, khususnya agama Islam. Tetapi, lebih pada sisi manusia dan budaya yang mengiringinya. Sehingga kajiannya bisa dilepaskan dari “ini soal kepercayaan” lalu prakteknya dilakukan karena “sudah ada nash” yang tak mungkin untuk dielakkan. Meskipun, kajian tentang nash ini, masih dapat diperdebatkan pada tingkat pelaksanaannya, sehingga kapan bisa dilakukan dan kapan tidak bisa dilakukan.
Contoh yang menarik, bisa kita lihat pada apa yang terjadi di lembah Baliem.
Kepala suku Dani di lembah Baliem, seperti yang diketahu, memiliki banyak isteri. Antara satu isteri dengan isteri yang lain, saling cocok, tak ada persaingan. Timbul pertanyaan, apakah demikian besar ego yang dimiliki kepala suku, hingga memperistri demikian banyak wanita? Baik tua, maupun muda, baik perawan ataupun janda. Juga berasal dari daerah yang serba berbeda. Atau jika pertanyaannya sedikit nakal. Sebegitu dahsyatkah “tenaga” yang dimiliki oleh sang Kepala suku, hingga mampu melayani begitu banyak wanita.
Menjadi masalah kini, benarkah pertanyaan yang diajukan itu? Apa bukan karena subyektifitas semata. Analoginya, mempertanyakan mereka yang tinggal di desa, oleh mereka yang tinggal di kota. Apakah tidak sepi, tertinggal dalam segala hal dsb, padahal bagi mereka yang tinggal di desa. Bingung, melihat mereka yang tinggal saling berdempetan, sesak dan kemacetanyang krodit.
Kembali pada kepala suku Dani di lembah Baliem. Seluruh pertanyaan itu timbul, karena ketidak tahuan kita semata. Tak mengerti filosofi kehidupan mereka. Tak tahu kebijakan yang mengiringi perilaku polygami yang dilakukan oleh kepala suku.
Diantara alasan, terhadap tindakan yang dilakukan itu, adalah:
Satu, Kepala suku memiliki tanggung jawab moral pada seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Termasuk anak-anak dan kaum wanita. Wanita dan anak-anak tidak boleh ada yang dilecehkan. Maka, ketika kaum lelaki pergi berperang, lalu terbunuh. Si wanita janda dari pahlawan ini, harus dinikahi oleh lelaki dewasa lain. Agar ada yang melindungi dan menjaga harkat martabatnya. Jika sampai waktu yang ditentukan, belum ada juga lelaki yang mempersuntingnya. Maka, menjadi kewajiban kepala suku untuk menikahinya, tak perduli berapapun usia si wanita dan bagaimanapun bentuk rupanya. Dalam masalah ini, jangan cerita tentang cinta dan ketertarikan fisik. Bisa dibayangkan bagaimana tersiksanya pria yang menikahi wanita tanpa cinta dan bentuk fisik yang sama sekali bukan sesuatu yang diidealkan.
Dua, Tak ada wanita suku Dani yang tidak berumah tangga. Jika ada wanita yang tidak juga menikah ketika usia pernikahan yang ditentukan telah tiba. Maka menjadi kewajiban kepala suku untuk menikahinya. Sama seperti point satu, jangan bicara tentang cinta dan ketertarikan fisik. Tetapi, ada hal yang lebih penting, menjaga tradisi penghormatan pada wanita. Sehingga, dipastikan, semua wanita memiliki pelindung. Tak ada pelindung yang lebih bergengsi pada suku ini, selain kepala suku.
Tiga,Tak ada wanita yang menjanda. Dalam kehidupan rumah tangga, kemungkinan menjadi janda bukan hanya karena suami terbunuh dalam perang antar suku atau perang yang lain. untuk wanita yang menjadi janda ini, mesti ada lelaki yang menutupi aib ini dengan menikahinya. Jika tak ada juga lelaki yang bersedia menikahinya, maka kewajiban kepala suku menikahinya.Alasannya, jelas, agar ada yang melindungi sang wanita dan anak-anaknya. Sehingga, tak ada lelaki lain yang akan melecehkan sang wanita. Atau sebaliknya, sang wanita terpaksa melecehkan dirinya, hanya dengan alasan agar dapat menafkahi anak-anaknya, maupun kehidupan ekonominya.
Empat, bagi wanita “asing” yang akan tinggal lama di wilayah kekuasaan suku Dani, maka harus ada jaminan keamanan bagi sang wanita. Bentuk pengamanan yang paling efektif adalah dengan dinikahi oleh kepala suku. Jika ada yang berani melakukan pelecehan pada wanita itu, maka itu artinya, akan berhadapan dengan kepala suku. Bentuk arti yang lain, sang wanita adalah ibu bagi suku tersebut, yang harus dihargai dan diperlakukan sebagai ibu. Pernikahan ini, sebagai simbolik, tak harus ada, hubungan sex didalamnya.
Itulah beberapa kearifan lokal yang luput dari pandangan kita. Polygami yang dilakukan, tidak harus dengan pertimbangan fisik, sexy, muda, kinyis-kinyis dan matang manggis, tidak harus dilakukan dengan dasar cinta, sebagaimana pengertian cinta wanita dan pria. Muara dari segalanya, tanggung jawab komunal pada mereka yang dipimpin. Mengangkat marwah wanita, memberikan kepastian pada anak-anak bangsa agar kasih sayang yang dibutuhkan tetap diterima utuh, kelangsungan pendidikan pada anak-anak tetap terjamin.
Sekedar informasi, bangsa ini, tak akan pernah memiliki seorang Muhammad Hatta, jika saja, Ibunda Hatta tidak dinikahi oleh Ayahanda dari Hasyim Ning. Ayahanda Hatta dan Ayahanda Hasyim Ning, dua sahabatkental, ketika sang sahabat meninggal, demi menjaga kelangsungan silahturahmi dan pendidikan anak-anaknya. Menikahi Ibunda Hatta. Hingga akhirnya, bangsa ini, bisa berbangga karena memiliki seorang Hatta.
Terlepas prokontra, saya membayangkan, bagaimana penyakit-penyakit social dalam msayarakat akan sangat berkurang, jika saja para pemimpin, baik lokal maupun nasional, dapat menikahi janda-janda tua dengan resmi-bukan sirri- lalu mengambil alih semua masalah yang dihadapi sang istri tentang masalah ekonomi keluarga dan pendidikan anak-anak mereka. Gak perlu membicarakan cinta dan kondisi fisik, seperti yang dilakukankepala suku Dani di lembah Baliem.
Alangkah indahnya, jika nominal yang dimiliki para pemimpin itu, bukan dihabiskan untuk WIL, bukan untuk selingkuhan dan isteri sirri.Tetapi untuk sesuatu yang lebih besar. Untuk pendidikan anak-anak bangsa, untuk janda-janda tua. Sehingga, mereka semua, dapat berjalan berdiri tegak, merasa sebagai anak bangsa yang bermartabat. Bukan sebagai kaum yang terpinggirkan.
Tetapi, apakah mungkin? Jawabnya ada pada pembaca sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H