A.PENDAHULUAN
Manusia merupakan mahkluk individu dan sosial. Sebagai mahkluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa untuk menyampaikan pikirannya. Menurut Kridalaksana (2001), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah komunikasi.
Di dunia ini banyak bahasa yang digunakan manusia dalam berinteraksi. Setiap wilayah maupun negara memiliki bahasanya sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa. Kurang lebih terdapat sekitar 500 sampai 700 suku bangsa di Indonesia yang setiap suku memiliki bahasa daerahnya sendiri (Katitira, 2007). Bahkan, dalam satu suku memiliki bahasa yang berbeda misalnya, dalam suku Jawa terdapat perbedaan antara bahasa Jawa di daerah Yogyakarta dengan bahasa Jawa di daerah Surabaya.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara khusus di lingkungan etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan untuk berinteraksi antarindividu dan memungkinkan terjadinya komunikasi dan perpindahan informasi sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman (Ahira, 2010). Menurut Hermadi (2010), bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini tidak mengherankan karena kejayaan kehidupan keraton di masa lampau banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dibanding di daerah Jawa yang lain. Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan bahasa asli masyarakat Jawa di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah di sekitarnya. Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga karena jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari Pulau Jawa.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa memiliki fungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Khalim dalam Tubiyono, 2008). Bahasa Jawa memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahasa (daerah) Jawa akan dihormati dan dipelihara oleh negara, termasuk pemerintah pusat atau pun daerah (Alwi, 2000). Oleh karena itu, generasi muda suku Jawa sudah sepantasnya melestarikan bahasa Jawa demi kelangsungan dan tetap terjaganya bahasa Jawa di Pulau Jawa. Apalagi, bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama dan tata krama berbahasa menunjukkan budi pekerti pemakainya.
Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki aksara sendiri, yaitu aksara jawa, dialek yang berbeda dari tiap daerah, serta Unggah-ungguh basa (etika berbahasa Jawa) yang berbeda. Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus) (Anonim, 2010). Dalam tingkatan bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan lawan yang yang diajak berbicara. Sehari-hari, ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda, madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang cukup resmi, dan krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau yang lebih tua. Oleh sebab itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik untuk digunakan dan mencerminkan karakteristik adat budaya Indonesia sebagai bangsa timur.
Bahasa Jawa yang dulu merupakan bahasa yang besar, dengan ber-tambahnya waktu, penggunaannya semakin berkurang. Saat ini para kaum muda di Pulau Jawa, khususnya yang masih di usia sekolah, sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa. Hal ini bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus informasi yang masuk melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.
Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing, dan bahasa seenaknya sendiri (campuran Jawa-Indonesia Inggris) juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin surut. Betapa tidak, saat ini murid tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah yang mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar dari bangku sekolah. Sementara pelajaran bahasa Jawa yang dulunya merupakan pelajaran wajib sekarang hendak (bahkan sudah mulai) dihilangkan dari daftar matapelajaran sekolah. Meskipun ada, jam mata-pelajarannya juga sangat sedikit, hanya 2 X 45 menit dalam seminggu, sedangkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat seperti di masa-masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi di keluarga. Sebagian besar malah mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing kepada anak-anak mereka. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil pun semakin terabaikan.
Kondisi tersebut juga kian diperparah dengan adanya pandangan generasi muda terhadap bahasa Jawa. Mereka menganggap bahasa Jawa adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang pinggiran, atau orang-orang zaman dulu. Mereka mengaku malu dan gengsi menggunakan bahasa Jawa dan memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa gaul. Banyak pemuda Jawa yang tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Jawa, namun mengerti jika diajak berbicara menggunakan bahasa Jawa. Ini disebabkan sejak kecil mereka telah dibiasakan berbicara bahasa Indonesia oleh keluarganya.
Sebenarnya dalam bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Seseorang sering menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari, tetapi sering lupa bahwa terdapat tingkat tutur penggunaan bahasa Jawa yang dikenal sebagai penerapan unggah-ungguh.Dampak negatif dari adanya pendangkalan bahasa Jawa di kalangan pemuda Jawakini mulai terasaakibatnya. Banyak remaja atau pemuda yang tidak tahu penerapan sopan santun kepada mereka yang lebih tua, atau yang seharusnya dihormati. Hal yang lebih memalukanbila mereka menggunakan bahasa Jawa krama halus untuk dirinya sendiri (dirinya sendiri dibahasakramakan).
Lunturnya bahasa Jawa membuat kualitas budi pekerti dan tata krama para pemuda di Jawa semakin menurun. Karena cenderung tidak bisa berbahasa Jawa halus mereka lebih memilih berbahasa Indonesia yang dianggap lebih mudah. Oleh karena itu, pendidikan berbahasa Jawa yang baik dan benar perlu ditanamkan sejak dini supaya bahasa Jawa tetap terjaga kelestariannya dan karakteristik mayarakat suku Jawa yang dikenal berbudi luhur dan memiliki tata krama yang baik tetap terjaga. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan bentuk penggunaan bahasa Jawa, faktor penyebab semakin memudarnya penggunaan bahasa Jawa, serta solusi untuk menyebarluaskan bahasa Jawa dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia.
B.BENTUK PENGGUNAAN BAHASA JAWA
Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi. Dari segi kuantitas pemakai bahasa Jawa, lebih dari 150 juta jiwa tinggal di berbagai tempat di Pulau Jawa dan beberapa berada di luar pulau Jawa. Bahkan, menurut Listyana ( 2010) orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, sering memakai bahasa Jawa dan menggunakannya sebagai lambang jati diri bangsa.
Secara geografis, bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat yang berasal dari wilayah Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur. Luasnya wilayah dan kendala geografis menyebabkan bahasa Jawa memiliki dialek-dialek yang berbeda (Kridalaksana, 2001). Meskipun memiliki dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah, bahasa Jawa memiliki bahasa Jawa baku yang digunakan dan diajarkan dalam setiap kegiatan pendidikan sebagai materi muatan lokal, khususnya pada masyarakat bahasa Jawa. Kridalaksana (2001) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Bahasa Jawa baku merupakan bahasa Jawa yang digunakan di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, bahasa Jawa yang digunakan di kedua wilayah ini dianggap sebagai bahasa Jawa baku oleh masyarakat bahasa Jawa pada umumnya. Ciri utama yang menandai bahasa Jawa baku adalah hadirnya seluruh ragam tutur ngoko, madya, krama dalam percakapan sehari-hari baik dalam situasi formal maupun informal.
Bahasa Jawa memiliki nilai sastra yang tinggi, serta struktur dan tata bahasa yang rumit. Untuk menerapkannya sangatlah tidak mudah apalagi bagi orang awam yang belum mengetahui bahasa Jawa sama sekali. Hal ini disebabkan penggunaannya bukanlah menurut waktu jenis lampau, sekarang, maupun waktu yang akan datang seperti layaknya bahasa Inggris yang memiliki tenses sehingga cukup mudah untuk dipelajari, melainkan menurut status orang yang berbicara dan dengan siapa ia berbicara. Menurut Bastomi (1995) bahasa Jawa memiliki pembagian tingkatan-tingkatan bahasa yang cukup rinci. Penempatan bahasa Jawa berbeda-beda sesuai pada perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat kekerabatan antara yang berbicara dengan yang diajak bicara, yang menunjukkan adanya ungah-ungguh bahasa Jawa.
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa jenis bentuk ragam tutur dalam bahasa Jawa yang disebut juga unggah-ungguhing basa ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) bahasa ngoko (ngoko lugu, ngoko alus), (2) bahasa madya (madya ngoko, madya krama), (3) bahasa krama (krama andhap, krama inggil).
1.Bahasa Jawa Ngoko
Ragam bahasa Jawa ngoko digunakan untuk penutur dan mitratutur yang mempunyai kedudukan yang akrab atau kedudukan penutur lebih tinggi daripada mitratutur (Susylowati, 2006). Bahasa Jawa ngoko sering digunakan oleh orang yang usianya sebaya maupun oleh orang-orang yang sudah akrab. Bahasa ngoko ini di bagi atas ngoko lugu,dan ngoko alus. Ngoko lugu digunakan untuk menyatakan orang pertama. Ngoko alus digunakan oleh orang pertama dengan lawan bicaranya yang sebaya atau yang sudah akrab, bahasa ini santai namun sopan.
Contoh:
Ngoko lugu:
Mas Totok nggawekake Dik Darno layangan (Kridalaksana, 2001).
Mas Totok membuatkan Dik Darno layangan
Ngoko alus:
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Kridalaksana, 2001).
Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?
2.Bahasa Jawa Madya
Ragam bahasa Jawa madya menunjukkan tingkat tataran menengah yang terletak di antara ragam ngoko dan krama (Kridalaksana, 2001). Bahasa madya biasanya digunakan terhadap teman sendiri.
3.Bahasa Jawa Krama
Ragam bahasa Jawa krama digunakan untuk menunjukkan adanya penghormatan kepada mitratutur yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi daripada penutur (Susylowati, 2006). Bahasa Jawa krama ini digunakan orang sebagai tanda menghormati orang yang diajak bicara. Misalnya, anak muda dengan orang tua atau pegawai dengan atasannya. Tingkatan yang lebih tinggi dari krama yaitu krama inggil. Krama inggil dianggap sebagai bahasa dengan nilai sopan santun yang sangat tinggi. Jarang sekali digunakan pada sesama usia muda. Bahasa krama dibagi menjadi krama andhap dan krama inggil.
Contoh:
Krama andhap:
Kula badhé késah sakmenika (Kridalaksana, 2001).
Saya mau pergi sekarang.
Krama inggil:
Panjenengan badhétindak sakmenika (Kridalaksana, 2001).
Anda mau pergi sekarang.
Pembicara atau penutur menggunakan kata késah untuk mengacu pada tindakan yang dilakukannya, sedangkan kata tindak digunakan untuk mengacu tindakan yang dilakukan oleh kawan bicara yang dihormati atau memiliki status sosial yang lebih tinggi.
Penggunaan ragam ngoko, madya, dan krama didasarkan atas sikap penghormatan dan tingkat keakraban. Untuk dapat membedakan bentuk penggunaan bahasa Jawa lebih baik lagi dapat dilihat dalam contoh kalimat seperti berikut.
Saya akan makan dahulu.
Ngoko: aku arep mangan dhisik.
Madya:kula ajeng nedha riyin.
Krama:kula badhé nedha rumiyin.
Dalam bahasa Jawa untuk menyatakan diri sendiri dengan bahasa halus tidak menggunakan krama inggil tetapi menggunakan madya karena tidak mungkin seseorang menghormati dirinya sendiri. Jadi, penggunaan bahasa Jawa itu ditentukan oleh kedudukan dan tingkat usia. Sudaryanto (1991: 34) menyebutkan fungsi dari tingkat-tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa ini adalah:
1. Norma dan etika, yaitu digunakan untuk berkomunikasi di masyarakat ataudengan orang lain dengan melihat orang yang diajak bicara (lebih tua atau lebih muda).
2.Penghormatan dan keakraban, yaitu digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara supaya tidak dibilang tidak mempunyai tata krama dalam berbicara.
3.Pangkat dan status sosial, yaitu digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan melihat pangkat dan status sosialnya di dalam masyarakat tersebut.
C.FAKTOR PENYEBAB SEMAKIN MEMUDARNYA BAHASA JAWA DI KALANGAN PEMUDA JAWA
Globalisasi menuntut seseorang terutama kalangan pemuda untuk mampu menggunakan bahasa yang global dan mendunia sehingga dapat berperan aktif menuju modernisasi. Misalnya saja penggunaan bahasa Inggris di daerah kota dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mempengaruhi kedudukan bahasa Jawa yang rasanya semakin terabaikan.
Memudarnya bahasa Jawa di Jawa tentunya memiliki berbagai alasan yang sangat nyata. Dapatdilihat dan dirasakan bahwa perkembangan jaman dan perkembangan bahasa Jawa yang saat ini telah menurun drastis.Banyak pemuda yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik, dan memilih menggunakan bahasa Indonesia. Namun ketidakbisaan ini bukan semata-mata hanya kesalahan pemuda itu sendiri, tetapi banyak faktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Keluarga termasuk faktor yang paling berpengaruh, karena keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama kali dikenal oleh anak.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pendangkalan bahasa Jawa di kalangan pemuda. Menurut Ipung (2011), faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1.Faktor pemuda itu sendiri
Pemuda maupun remaja cenderung merasa malu menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari dengan alasan bahasa Jawa merupakan bahasa yang sudah ketinggalan jaman, tidak gaul, sulit, tidak tahu artinya dan juga membingungkan. Sebenarnya perasaan malu ini dipengaruhi juga oleh per-gaulan teman-teman yang juga malu menggunakan bahasa Jawa.
2.Faktor keluarga
Orang tua juga berperan dalam perkembangan bahasa Jawa. Orang tualah yang akan melestarikan budaya ini ke anak-anaknya, sehingga anak-anak akan menerapkannya saat berbicara terutama kepada orang yang lebih tua. Namun sebaliknya, orang tua malah mendidik anaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.Tidak jarang orang tua menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anaknya tetapi tetap menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika semua orang tua melakukan hal seperti itu, maka dengan waktu yang singkat budaya bahasa Jawa di Jawa akan memudar, musnah dan tenggelam. Tidak ada lagi generasi yang dapat meneruskan bahasa Jawa ini, karena generasi muda tentu akan menjadi orang tua dan jika mereka kurang mengetahui bahasa Jawa tidak mungkin dapat mengajari generasi berikutnya dengan baik pula.
3.Faktor sekolah
Alokasi jumlah jam matapelajaran bahasa Jawa baik di SD, SLTP dan SMA hanya dua jam. Padahal materi muatan bahasa Jawa sama seperti muatan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahkan saat ini ada beberapa sekolah yang tidak mengajarkan pendidikan bahasa Jawa di sekolahnya. Hal ini semakin diperkuat dengan banyaknya sekolah terutama sekolah swasta yang khawatir pembelajaran bahasa Jawa dapat membuat siswa terbebani. Program Hari Berbahasa Jawa yang digagas Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya direspons kalangan sekolah swasta. Mereka berkeberatan apabila penggunaan bahasa lokal itu justru menghambat proses komunikasi kegiatan belajar mengajar. Muncul kekhawatiran, pencanangan hari berbahasa Jawa bisa membuat siswa semakin terbebani program (Jawa Pos, 2008).
4.Faktor Pemerintah
Pemerintah daerah tidak begitu memperhatikan kegiatan yang mengarah pada pelestarian bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah tidak mendirikan lembaga/kursus bahasa Jawa, kurangnya pengangkatan guru pendidikan bahasa Jawa juga dapat menyebabkan pendangkalan bahasa Jawa.
Kesadaran masyarakat sendiri akan budayanya sangat kurang. Masyarakat cenderung lebih mencoba mengikuti kebudayaan baru yang lebih ngetrend agar tidak dibilang kuno maupun primitif. Pelahan lahan budaya berbahasa Jawa ditinggalkan. Jika hal ini terjadi terus menerus maka tidak dapat dipungkiri lagi bahasa Jawa akan hilang di pulau Jawa sendiri.
D.SOLUSI UNTUK MENYEBARLUASKAN BAHASA JAWA DALAM MENJAGA DAN MELESTARIKAN WARISAN BUDAYA INDONESIA
Bahasa jawa sudah tidak banyak lagi digunakan, apalagi oleh anak-anak muda, mereka beranggapan bahwa bahasa Jawa itu bahasa yang sulit, bahasa yang ketinggalan zaman, maka mereka sudah tidak biasa lagi menggunakan bahasa Jawa, maka dari itu sebagian orang mengatakan bahwa bahasa Jawa akan mati atau punah, karena orang Jawa sendiri saja sudah tidak mengerti akan bahasa Jawa.
Ini keadaan yang sangat disayangkan, jika sampai bahasa Jawa benar-benar punah. Maka sesungguhnya orang Jawa telah kehilangan kebudayaannya, yaitu kehilangan jatidiri dan kepribadian yang telah diwariskan nenek moyang terdahulu.Pada dasarnya masyarakat harus memiliki kesadaran untuk tetap melestarikan budaya berbahasa Jawa. Bukan menjadi alasan bahwa dengan bergerak majunya masyarakat menuju masyarakat modern lalu begitu saja melupakan tradisi sendiri. Jadi, jangan sampai masyarakat meninggalkan budaya berbahasa Jawa semata-mata untuk modernisasi.
Sebagai masyarakat asli Jawa, masyarakat seharusnya dapat mem-pertahankan dan melestarikan budaya berbahasa Jawa. Siapa lagi yang akan meneruskan budaya warisan nenek moyang jika bukan masyarakat Jawa itu sendiri. Jangan sampai setelah budaya sudah hilang atau dinyatakan milik negara lain barulah masyarakat peduli dan merasa memiliki. Untuk itu menjaga dari sekarang sangatlah penting agar tidak menyesal kemudian.
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang tepat sebagai prasarana untuk mempertahankan budaya berbahasa Jawa, karena siswa dapat belajar serta dapat mempraktekkan dengan guru maupun teman-temannya. Penggunaan bahasa Jawa dalam pembelajaran untuk waktu tertentu juga dapat meningkatkan ketrampilan berbahasa Jawa, jadi semua warga sekolah ikut berpartisipasi dalam melestarikan penggunaan bahasa Jawa.
Di lingkungan keluarga sebaiknya para orang tua juga mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anaknya sehingga anak-anak akan terbiasa dengan bahasa Jawa. Bisa tidaknya seseorang mempelajari bahasa bukan dari mudah atau sulitnya bahasa itu, melainkan dari pembiasaan. Namun, kenyataannya orang tua cenderung mengajarkan anak-anaknya dengan pengantar bahasa Indonesia.
Sarana yang lain ialah melalui media-media yang telah ada di sekitar. Sekarang ini banyak saluran televisi yang memiliki tayangan-tayangan maupun berita dengan menggunakan bahasa Jawa, terutama saluran televisi lokal atau daerah. Namun, percuma apabila tayangan tersebut memiliki sedikit peminat. Maka dari itu, masyarakat terutama pemuda maupun remaja sebaiknya menyempatkan diri menonton acara tersebut sebagai tanda rasa peduli terhadap bahasa asli sendiri dan menjadi sarana belajar bahasa Jawa. Selain televisi juga masih ada beberapa sarana yang menggunakan bahasa Jawa, meskipun jumlahnya masih terbilang sedikit.Jadi, jangan malu untuk menyempatkan diri memahami dan mempelajari sebagai tanda melestarikan budaya Jawa melalui internet, televisi, radio, koran, dan lebih utama lagi dengan perbincangan langsung.
Adapun cara atau langkah untuk tetap melestarikan bahasa Jawa supaya tidak hilang menurut Rahardjo (2001) adalah:
1.Menanamkan sejak dini bahasa dan kebudayaan Jawa kepada anak-anak. Supaya mereka tidak menganggap bahasa Jawa adalah bahasa yang kuno, dan supaya mereka terbiasa menggunakan bahasa Jawa.
2.Membiasakan diri menggunakan bahasa Jawa, di dalam kehidupan sehari-hari dalam berbicara dibiasakan menggunakan bahasa Jawa yang benar, baik dari segi bahasanya maupun unggah-ungguhnya. Supaya dapat ditiru oleh anak-anak, jadi bahasa Jawa akan tetep lestari dengan baik.
3.Mengajarkan bahasa Jawa, yaitu mengajarkan bahasa Jawa baik secara formal (sekolah) maupun informal(masyarakat). Secara formal bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa diajarkan di sekolah-sekolah di dalam pembelajaran, sehingga anak didik mengenal dan mengetahui bahasa dan kebudayaan Jawa dengan baik. Secara informal bahasa Jawa bisa diajarkan kepada anak-anak di lingkungan keluarga atau masyarakat, mereka akan belajar secara langsung mengenai kebudayaan Jawa yang ada di masyarakat, sebagai bentuk praktik dari teori yang ada di sekolah tadi
E.PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi. Bahasa Jawa memiliki pembagian tingkatan-tingkatan bahasa yang cukup rinci, penempatan bahasa Jawa berbeda-beda sesuai pada perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat kekerabatan antara yang berbicara dengan yang diajak bicara, yang menunjukkan adanya ungah-ungguh (sopan santun) bahasa Jawa. Terdapat beberapa jenis bentuk ragam tutur dalam bahasa Jawa yang disebut juga unggah-ungguhing basa. Ragam tutur dalam bahasa Jawa ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: ngoko, madya, dan krama. Namun, perkembangan jaman membuat bahasa Jawa semakin terpinggirkan dan dianggap tidak penting. Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Jawa semakin ditinggal-kan. Masyarakat menganggap bahasa Jawa merupakan bahasa orang-orang desa, orang-orang pinggiran, atau orang-orang zaman dulu. Mereka mengaku malu dan gengsi menggunakan bahasa Jawa dan memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa gaul. Masuknya budaya barat juga menjadi faktor bahasa semakin diabaikan, dan dianggap tidak penting.
Sebagai masyarakat asli Jawa, masyarakatmemiliki kewajiban menjaga dan melestarikan budaya berbahasa Jawa. Siapa lagi yang akan meneruskan budaya warisan nenek moyang jika bukan masyarakat sendiri. Jangan sampai setelah budaya sudah hilang atau dinyatakan milik negara lain barulah masyarakat peduli dan merasa memiliki. Untuk itu menjaga dari sekarang sangatlah penting agar tidak menyesal kemudian. Cara atau langkah menjaga dan melestarikan bahasa Jawa diantaranya denganmenanamkan sejak dini, membiasakan diri menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, mengajarkan bahasa Jawa baik secara formal (sekolah) maupun informal (masyarakat). Dalam hal ini tidak hanya satu pihak saja yang melaksanakan tapi semua lapisan ikut terlibat agar bahasa Jawa tetap bertahan dan lestari di pulau Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Ahira, Anne. 2010. Kosa kata Bahasa Jawa yang Unik, (Online), (http://www.AnneAhira.com), diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Alwi, Hasan. 2000. Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Anonim. 2010. Unggah-Ungguh Basa Jawa, (Online), (http://basa_jawa8b.wordpress.com), diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Bastomi, Ahmad. 1995. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Hermadi. 2010. Perlunya Pengenalan Budaya Jawa pada Pembelajaran Tingkat SMP, (Online), (http://http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/13/perlunya-pengenalan-budaya-jawa-pada-proses-pembelajaran-tingkat-smp/),diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Ipung. 2011. Pantang Malu Menggunakan Bahasa Jawa, (Online), (http://www.ipung.blogspot.com), diakses tanggal 4 Oktober 2011.
Jawa Pos. 2008. Penerapan Hari Bahasa Jawa di Sekolah, Sekolah Khawatir Siswa Terbebani, (Online), (http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=321062), diakses tanggal 4 Oktober 2011.
Katitira. 2007. Persentase Penggunaan Bahasa Daerah di Indonesia, (Online), (http://nias.online@gmail.com), diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Wiwara Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Listyana, Annisa. 2009. Budaya Berbahasa Jawa kian Memudar, (Online), (http://www.aneazt.com/budaya-berbahasa-jawa-kian-memudar-), diakses tanggal 4 Oktober 2011.
Rahardjo, Maryono. 2001. Bahasa Jawa Krama. Jakarta: Pustaka cakra.
Susylowati, Eka. 2006. Kesantunan Berbahasa Jawa dalam Kraton Surakarta Hadiningrat, (Online), (http//esusylowati@gmail.com/kesantunan-berbasa-jawa), diakses tanggal 4 Oktober 2011.
Tubiyono. 2008. Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Pemakaian Bahasa Lokal:Studi Kasus Pemerintah Kota Surabaya pada Era Otoda, (Online), (http://www.tubiyono.com/template-features/tulisan-ilmiah/makalah/92-kebijakan-pemerintah-daerah-tentang-pemakaian-bahasa-lokal-studi-kasus-pemerintah-kota-surabaya-pada-era-otoda), diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H