Dalam kegiatan perekonomian di masyarakat pastinya tidak terlepas dari peran lembaga keuangan sebagai perantara untuk membantu masyarakat melakukan penyimpanan dana atau pembiayaaan dana baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank.
Murabahah juga merupakan transaksi yang cenderung sering dikritik. Murabahah sebagai bentuk khusus dari transaksi untuk jual beli barang dan menjadi salah satu jenis transaksi yang sering digunakan dalam perbankan syariah, Dari kegiatan pembiayaan oleh perbankan syariah, hampir 70% merupakan kegiatan transaksi murabahah. Alasan murabahah menjadi transaksi yang sering dikritik di kalangan masyarakat karena pelaksanaannya hampir sama dengan nilai waktu uang yang merupakan bentuk riba al nasi'ah (riba yang dilarang) (Afrida, 2021).
Murabahah sendiri dikenal dengan akad jual beli barang dimana harga jual dihitung berdasarkan biaya perolehan yang ditambahkan dengan margin keuntungan yang telah disepakati. Dalam akad ini, pihak penjual harus menjelaskan dengan rinci besarnya biaya perolehan kepada pembeli. Transaksi murabahah tidak mengharuskan transaksi dilakukan dalam bentuk tunai ketika pembeli sudah menerima barang, sehingga pembayaran bisa ditangguhkan dengan mengangsur setelah pembeli menerima barang ataupun sekaligus dibayarkan di kemudian hari pada waktu yang telah disepakati.
Kemudian, apabila akad transaksi jual beli sudah disepakati pihak penjual dan pembeli, harga jual beli barang sudah tidak dapat dirubah. Selanjutnya untuk perihal pembayaran, dapat dicantumkan klausul tentang keterlambatan pembayaran sebagai suatu kesepakatan bahwa nasabah akan mendapatkan denda. Adanya kesepakatan pembayaran denda biasanya dilakukan perbankan syariah untuk tujuan kebajikan, apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat akan menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Jadi, adanya penarikan denda tidak dipergunakan sebagai sumber penerimaan bank melainkan mendorong nasabah agar membayar tepat waktu (Fadli, 2017).
Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Imran Sinaga bahwa denda adalah salah satu bentuk hukuman ta'zir yang bertujuan untuk memberi pelajaran. Dwi Suwiknyo menambahkan, ta'zir merupakan denda yang dikenakan akibat adanya penundaan pengembalian piutang, dengan dana yang terkumpul dari denda akan dimanfaatkan sebagai sumber dana kebajikan. Kebijakan atas penentuan besarnya denda berbeda tiap bank. Beberapa bank menetapkan besaran denda dari persentase terhadap pendapatan yang tertunggak terkait dengan berapa total hari keterlambatan, sebagian lain menentukan besaran penarikan denda dengan menghitung persentase terhadap total kewajiban yang tertunggak dan jumlah hari keterlambatannya. Di sisi lain, banyak bank yang tidak menerapkan adanya perhitungan denda akibat keterlambatan pembayaran dalam akad murabahah dan lebih memilih pendekatan persuasif seperti memberikan pengingat kepada nasabah untuk segera memenuhi kewajibannya (Fadli, 2017).
Hal yang akan kita bahas kali ini, apakah sistem dana keterlambatan dalam akad murabahah termasuk dalam riba nasi'ah? Sebagaimana dijelaskan bahwa riba nasi'ah dianggap sebagai tambahan atas harta yang disepakati sebesar presentase dari jumlah uang yang gagal dikembalikan tepat waktu atau ditunda pembayarannya sehingga butuh perpanjangan waktu (Mubarok, 2015). Dalam transaksi murabahah, apabila jual beli antara nasabah dengan pihak bank mengenakan denda atas keterlambatan pembayaran apakah termasuk sebagai riba nasi'ah?
Menurut fikih, sanksi keterlambatan diperbolehkan dilakukan oleh bank syariah kepada nasabah yang sebenarnya mampu tetapi menunda pembayarannya. Nabi Muhammad SAW bersabda : "Menunda-nuda pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah kezaliman, dan hal itu menghalalkan harga diri serta sanksi kepadanya." (HR. Ahmad, No 9671; Ibnu Majah, No. 2427). Jadi pengenaan denda keterlambatan diterapkan sebagai bentuk menghindarkan kerugian dan mudarat kepada bank syariah ataupun kepada pemilik dana.
Dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bahwa denda keterlambatan pembayaran dalam akad murabahah ini bukan termasuk dalam manfaat yang diterima oleh pihak bank syariah atas jasa pinjaman kepada nasabah, melainkan berupa sanksi yang dikenakan oleh pihak bank kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda pembayaran dengan sengaja. Dan saksi dapat diterapkan dengan prinsip ta'zir yang bertujuan untuk membuat nasabah lebih disiplin dan tepat waktu untuk memenuhi kewajibannya (Yudha, 2018).
Penarikan denda sebagai sanksi atas keterlambatan pembayaran akad murabahah merujuk pada Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000, yang menyatakan bahwa LKS (Lembaga Keuangan Syariah) diperbolehkan untuk mengenakan sanksi kepada nasabah yang sebenarnya mampu untuk membayar tapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. Akan tetapi, sanksi berupa denda ini hanya diberlakukan kepada nasabah yang memiliki kemampuan finansial. Untuk besaran denda yang boleh diambil tidak dijelaskan secara rinci, sehingga dikembalikan kepada kebijakan bank untuk menetapkan besaran dendanya (Arief et al., 2023).
Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa bank syariah diperbolehkan menarik denda keterlambatan pembayaran dalam akad murabahah sebagai sanksi kepada nasabah yag mampu tetapi menunda pembayaran. Selain itu, dana yang diterima oleh bank bukan sebagai sumber dana bank syariah, melainkan dipergunakan untuk dana kebajikan seperti dana sosial.
Referensi