Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warna Warni Jakarta: Citra Negeri

4 Januari 2014   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibukota selalu memberikan janji manis. Walau ketika datang dan berusaha merengut itu, belum tentu tersedia sebagaimana impian yang ada. Justru kegetiran yang ditemui. Maka, muncullah adagium “ibukota tidak sekejam ibu tiri”. Kemegahan dan kehampaan justru senantiasa beriringan. Lihat di bilangan Rasuna Said. Menara menjulang tetapi di belakang gedung justru kawasan kumuh. Saling melengkapi. Duduk dan berkantor di lantai marmer. Pas saat makan siang justru lesehan di gerobak yang tersedia di emperan gedung. Lebih sesuai dengan lidah serta aman di kantong.

Belum lagi paradoks yang lain. Sepetak kamar yang bernama apartemen bernilai milyaran rupiah di tempat tertentu. Sementara ada saja warga yang harus hidup di gerobak. Tidak memiliki kamar seinci sekalipun. Hanya karena mereka ditakdirkan menjadi orang miskin tanpa perhatian sama sekali dari yang punya kuasa. Mestinya, kebijakan pemerintahan harus mampu melindungi mereka untuk mendapatkan tempat yang layak sebagai seorang manusia.

Di sebuah restoran, kawasan Thamrin sepiring hidangan bisa berharga jutaan rupiah. Sementara ada saja warga kota yang tidak bisa makan. Hanya karena keberpihakan yang tidak mereka nikmati. Orang kaya akan semakin kaya, sementara si miskin akan terjerembab dalam kemiskinan abadi.

Potret ini bukan saja terjadi di Jakarta. Tetapi di semua pelosok wilayah Indonesia. Kedaulatan bangsa hanya menjadi cita-cita di atas kertas. Sesama warga bangsa belum mampu memperjuangkan kebutuhan saudara sebangsanya, demi egoisme diri dan individualitas.

Nun jauh di sana, Kota Sorong menjadi produsen minyak. Tanahnya mengandung minyak dan dari situlah terdistribusi minyak ke seluruh pelosok di Maluku dan Papua. Mirisnya, justru penduduk harus antre untuk mendapatkan minyak tanah. Sementara adapula pedagang hitam yang justru menjual minyak tanah ke tempat yang jauh demi mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dilakukan sembunyi-sembunyi, berarti ada sesuatu yang patut dicurigai.

Tekstil yang menjadi kebutuhan utama, hanya diproduksi di pulau ini, sementara distribusi ke seluruh pelosok negeri bukan benda yang murah. Akibatnya, semua berebutan ingin ke ibukota karena menawarkan pilihan model, warna dan juga harga yang beragam. Kita di sudut-sdut negeri justru tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menggunakannya dengan membeli memakai harga yang sudah memberikan keuntungan. Kenapa juga negeri ini tidak mendistribusi pusat-pusat produksi ke seluruh tempat anak negeri? Seolah-olah hanya Jakarta saja yang layak untuk dihidupi.

***

Itu sekelumit cerita dari Jakarta. Dimana pusat segala kepentingan negara ini bermuara. Di tengah buramnya kehidupan jika dilihat dari sisi itu, maka ada kegagalan dalam memperjuangkan kehidupan bangsa melalui wadah negara. Manis dan pahitnya kehidupan bertemu di sini. Dalam hitungan detik bisa saja seseorang menjadi kaya raya. Sebaliknya ada pula yang justru dengan keringat dan air mata hanya bisa tidur di gerobak. Dari hari ke hari hanya gerobak itulah yang menjadi tempatnya bertedu. Dimana malam bernaung, maka di situ pulalah gerobak disandarkan.

Di sini pulalah cerita tentang macet menyebar melalui televisi. Padahal, apa pula urusan orang di daerah tentang kemacetan Jakarta? Reporter, pengamat, wartawan semuanya membicarakan kemacetan yang sama. Padahal, kita untuk naik kendaraan saja sudah susah. Walaupun sudah berkendara tetap saja susah. Jalanan yang harus dilalui tidak layak untuk kendaraan semewah itu. Akhirnya, hanya kakilah yang merupakan naugerah Allah yang paling handal untuk digunakan.

Negeri yang ngeri untuk dibayangkan. Cukup dijalani saja dengan penuh kesyukuran. Justru itulah kata yang paling ampuh untuk mengusir segala gunah gulana. Menikmati pemberian Allah sebagai sebuah karunia tanpa perlu mencerca kehidupan yang memang juga asalnya dari Tuhan Pencipta alam raya ini. Hanya manusia yang kadang salah menggunakan mandat khalifah itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun