Memasuki kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Kamis (22/1) terpampang baligho proses pemilihan rektor yang awalnya dijadwalkan 20 Januari kemudian mengalami penjadwalan menjadi tanggal 27. Sebuah kesimpulan utama “fasilitas perguruan tinggi ini layak disebut universitas kelas dunia”.
Walaupun sejak masih kelas 1 di SMP sudah mulai melihat Unhas, kegiatan lari pagi tiap Jumat dan Ahad mengelilingi Unhas dengan istilah Unhas Besar dan Unhas Kecil. Unhas Besar berarti jalur lingkar luar, sementara Unhas kecil melalui jalan tembus dari rumah sakit menuju Fakultas Sastra. Begitu juga ada lorong kecil yang dapat dilalui sebelum gedung PKP dibangun, untuk “lari” dari pesantren.
Jika melihat Unhas, sesungguhnya yang terbayang adalah lari pagi itu. Sekaligus di sekeliling danau kadang menjadi tempat ekspresi, berkemah, dan juga bermain mengindari aturan tidur siang. Sejak bergelut di dunia perguruan tinggi, maka istilah World Class University (WCU) menjadi sebuah trend. Hanya saja usaha menjadikan Unhas menjadi WCU seperti mencari jarum di penjual jerami. Hahaha. Ini sebuah ironi karena memang bukan tempatnya.
Faktor penghalang utama adalah dosen dan mahasiswa yang tidak menciptakan iklim akademik perguruan tinggi. Tawuran, perkelahian, dan anarkisme menjadi bagian kosakata citra Makassar. Maka tepatlah kepemimpinan periode awal Prof. Idrus Paturusi justru berusaha membangun Citra Unhas. Semoga di akhir periode kepemimpinan beliau ini, sudah meletakkan dasar bagi Citra Unhas tersebut.
Tidak hanya Unhas. Universitas Negeri Makassar (UNM) yang juga menjadi pilar pendidikan tinggi di Makassar perlu berusaha untuk itu. WCU lagi-lagi terhalang dengan adanya “tembok Gaza” di Parang Tambung. Pertikaian demi pertikaian antara Fakultas Teknik dan Fakultas Seni. Keduanya berselisih yang selalu dimulai dari ketersinggungan. Akhirnya ketersinggungan ini berbuah kematian.
Betapa, perguruan tinggi menjadi sebab berakhirnya kehidupan jiwa. Bangsa dan negara kehilangan potensi dari seorang anak yang dapat saja kelak akan menjadi warga negara yang baik. Tetapi karena pola “jalur Gaza” yang ada itu akhirnya harus merelakan namanya menjadi tumbal hubungan senior-yunior yang sudah berlangsung sejak jaman dulu. Tetapi bukan sejak Adam dan Hawa. Hanya saja pola Qabil dan Habil-lah yang juga mewarnai kematian itu.
Lalu, Universitas Islam Negeri Alauddin yang juga berada di Makassar Raya. Perkelahian yang juga dilakoni oleh fakultas teknik. Tetapi kadang yang berkelahi bukan fakultas ini dengan fakultas lain, tetapi justru antar jurusan dalam fakultas yang sama. Visi universitas yang berikhtiar mewujudkan kampus peradaban menjadi sia-sia belaka. Tidak ada tempat bagi perkelahian dan pembakaran dalam peradaban.
Workshop Concept to Reality yang saya ikuti selama 3 hari bertempat di Fakultas Ekonomi Unhas semakin memberi tempat saya bagi keyakinan bahwa Unhas sangat layak menjadi universitas kelas dunia. Tempat, fasilitas, sumber daya, semuanya sudah tersedia. Lalu apa yang menjadi penghalang? Salah satu jawabnya ukuran tentang sebuah kebanggaan. Mungkin saja, ini hanya mungkin, karena belum diverifikasi dengan baik “tidak ada menara ilmu” yang menjadi acuan. Mestinya yang menjadi ukuran, publikasi ilmiah, buku, jurnal, dan aktivitas penelitian.
Bukan material seperti mobil keluaran terbaru, kendaraan, dan juga gadget lainnya. Begitu juga dengan diskusi yang berlangsung di ruang-ruang informal fakultas dan rektorat. Semuanya harus dipenuhi dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Sesungguhnya sistem sudah ada, tinggal menggunakan sistem itu menjadi aplikasi. Diperlukan juga pemimpin yang menjadi kapten bagi kesebelasan yang bernama “perguruan tinggi”. Tanpa itu, maka akan sia-sia semua sumber daya yang ada. Akhirnya dengan usia yang sedemikian tua itu, belum ada satupun perguruan tinggi kita di Makassar yang mampu menduduki tempat utama. Tidak perlu tingkat dunia, cukup Asia dahulu. Namun, itu masih angan-angan.
Mahasiswa menjadi pilar utama bagi perubahan ini. Mereka dengan darah muda, semangat, dan kobaran idealisme sesungguhnya dapat menjadi kontributor utama bagi cita-cita ini. Hanya saja, mereka lebih suka berkelahi, lalu kalau mengadakan demonstrasi bukan dengan jalan damai tetapi selalu memilih jalan kekerasan. Entah sampai kapan, tetapi kalau ini terus yang menjadi pilihan, maka Makassar dapat saja layak diberikan gelar Kota Kasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H