Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya di Makassar: Pacaran di Jembatan Layang

10 September 2014   05:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kilo Empat, ruas jalan Urip Sumoharjo, Makassar. Sebuah jembatan layang dibuat untuk mengatasi kemacetan perempatan jalan itu. Sebagai jalur poros, maka pertemuan arus lalu lintas di jalan ini menampung beban yang lebih banyak dibanding perempatan lain. Termasuk juga akses ke jalan tol dari arah jalan Pettarani.

Maka, pilihan untuk memberikan kenyamanan bagi pengendara dan pengguna jalan dibuatlah jalan layang. Perjalanan dari Urip Sumoharjo ke Panaikang dan sebaliknya tidak perlu lagi berhenti di lampu merah. Dengan menggunakan jembatan layang itu, perjalanan akan ditempuh dengan lebih lancar, lebih cepat, dan lebih menyenangkan.

Hanya saja, pemanfaatan jalan itu tidak lagi seutuhnya menjadi layanan bagi masyarakat Makassar dalam memperlancar mobilitas mereka. Beberapa pasangan setiap malam menggunakannya untuk nongkrong dan bertemu dengan pasangan ataupun teman-teman. Apalagi kalau malam minggu, jalan ini dijadikan sebagai satu destinasi tersendiri. Memperhatikan ini, kawan saja pernah berujar “perlu juga dicoba, bagaiana sensasi pacaran di jembatan layang”.

Vonis pacaran ini disampaikan karena bukan karena melihat penikmat jalan layang itu sekadar nongkrong saja. Pasangan-pasangan itu kadang saling memeluk ataupun ada rabaan dan pegangan mesra. Sebagai jalan untuk akses cepat, akan lebih baik kalau jalan ini tidak digunakan untuk berhenti, tentunya kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi berhenti berlama-lama di situ sambil memperhatikan lalu-lalang kendaraan, bercengkrama, ngobrol, dan menghabiskan malam, bukanlah pilihan yang baik.

Beberapa juga ada kumpulan kelompok-kelompok kecil yang bersosialisasi. Menjadikan jalan layang sebagai tempat bertemu. Seolah-olah ini adalah tempat wisata. Menunjukkan eksistensi kelompoknya. Malam semakin larut, semakin ramai pula jalan ini di kedua sisinya.

Perilaku ini sudah berlangsung tahunan. Sejak awal jalan ini diselesaikan di permulaan 2010. Namun, tidak juga menjadi pihak yang berwenang. Padahal, ini bisa mengakibatkan kecelakaan bagi pihak yang nongkrong maupun pengguna jalan. Kalau di taman, pasangan yang pacaran itu pemandangan yang jamak di seluruh pelosok dunia. Bahkan di kereta kota, MRT, Metro, ataupun MTR, pasangan yang lagi bermesraan.

Mencermati fenomena pacaran di kereta kota, Kantor Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) mengkampanyekan perilaku yang tidak tepat untuk bermesraan di depan publik. Apalagi kalau menggunakan fasilitas umum sebagai tempat untuk bertemu pasangan. Termasuk kepantasan berpakaian juga menjadi perhatian. Poster, stiker, dan pengumuman ditempatkan di berbagai sudut kereta dan stasiun. Melalui pengeras suara, operator stasiun dan masinis juga mengingatkan kembali penumpang.

Dengan kampanye ini, terjadi penurunan perilaku aneh yang terjadi. Bahkan kesadaran penumpang semakin meningkat untuk berbagi dengan sesama penumpang. Gerbong-gerbong untuk perempuan khusus disiapkan. sehingga tidak bercampur dengan yang lain.

Kalau di Thailand, gerbong khusus perempuan juga tidak bisa digunakan para kalangan waria. Walaupun tidak khusus disediakan, mereka sepertinya belum menuntut perusahaan kereta menyediakan gerbong khusus. Namun, untuk toilet khusus waria, mereka sudah mulai menuntut. Sehingga beberapa pusat perbelanjaan seperti Mall MB di Bangkok tidak hanya menyediakan dua klasifikasi toilet untuk laki-laki dan perempuan. Pengelola mall sudah menyediakan toilet untuk pria.

Pilihan warga Makassar, salah satunya karena keterbatasan taman. Di wilayah Antang sampai ke Karebosi, tidak ada satu taman pun yang tersedia. Sementara biaya rekreasi dan tamasya yang mahal. Hanya tempat rekreasi yang disediakan pihak swasta yang marak berdiri. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Perhatian pembangunan lima tahun terakhir tersedot ke Pantai Losari. Pemerataan pembangunan tidaklah mendapat perhatian pemerintah. Sementara pemilik modal dan perselingkuhan birokrasi justru mendapatkan tempat untuk mengumpulkan pundi-pundi bagi kepentingan usahanya.

Untuk itu, tidak perlu menunggu pemerintah atau siapapun juga untuk memperhatikan. Cukup dimulai dari keinginan untuk melihat kota lebih baik. Maka, setiap individu dapat berbuat mulai dari hal terkecil seperti tidak berhenti di jalan layang. Sehingga tidak membahayakan bagi dirinya dan juga orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun