Sebenarnya, kalau menurut saya  pejuang  keadilan social, lebih tepat lagi disematkan pada pejuang literasi, siapa saja itu pejuang literasi? Kalau boleh saya kelompokan, pejuang literasi ini ada dua yaitu  pejuang dilapangan, dan pejuang diluar lapangan. Tapi sama-sama keduanya mempunyai daya ampuh untuk mengusir penjajah dalam arti mengusir  dari belenggu kebodohan dan belenggu kemiskinan.Â
Saya tak akan membahas  kontek pejabat, karena itu saya batasi kontek masyarakat atau individu saja, yang tentunya saya sesuaikan dengan kondisi sekarang -- pahlawan masa kini. Saya hanya ingin mengetengahkan perjuangan dari pejuang literasi/para pahlawan literasi sebagai berikut;
(1) Ridwan Sururi, yang terkenal dengan kuda pustakanya, si kuda pustaka dari kaki gunung slamet. Kita patut bangga pada sosok Ridwan Sururi Bersama kuda kesayangannya yang bernama Luna. Ridwan dengan ciri khas menggunakan topi lebar ala seorang koboi, pria berusia 43 tahun ini menyusuri jalanan terjal di lereng gunung selamet, dengan membawa kuda, yang tumpangi boks/kotak tempat buku-buku disimpan untuk di bagikan pada para pembacanya.Â
Dia berkeliling desa menyusuri setiap jalanan terjal dan berliku, menapakan kaki dan langkah, untuk menyapa dan mempersilahkan warga desa untuk membaca, guna menambah pengetahuan dan keterampilan. Dia berjuang untuk mengikis kebodohan dan kemiskinan, sekaligus mengikis  sebutan bangsa kita sebagai bangsa yang berminat baca rendah, berdasar hasil penelitian pihak asing, yang menempatkan posisis ke 60 dari 61 negara yang diteliti.
(2) Mbah Topo, dengan nama lengkap Fransiskus Xaverius Sutopo, di usia yang ke 70 tahun. Yang terkenal dengan becak Pustaka. Mbah Topo, walau usia tua, tetapi berjiwa muda, dia seorang penarik becak yang ada di jogyakarta, yang telah mengubah becaknya menjadi "wadah untuk menampung pengetahuan", dengan puluhan buku-buku yang disusun di becaknya, yang dipilah dan pilih untuk menyirami pengetahuan  masyarakat/warga yang tak berkesempatan untuk membeli buku atau membaca di perpustakaan.Â
Walau usianya sudah kepala 7, bapak itu, setiap saat mengayuh becaknya yang telah dimodif menjadi wadah pengetahuan, yang mungkin bapak ini berharap kedepan warga yang membaca itu terinspirasi dari bahan bacaan yang ia sajikan, yang tujuan ahirnya berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
(3) Muhammad Fauzi, seorang pejuang literasi dari Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkenal dengan  menjajakan jamu pake speda motor. Cara  Fauzi,  ini cukup unik selain membawa botol-botol jamu, dia  membawa buku-buku pengetahuan, untuk dilayankan pada warga yang miskin informasi, supaya terbuka wawasan pengetahuannya. Para pembaca yang menggunakan buku-buku yang dibawa fauzi, ini adalah kaum buruh di daerah Sidoarjo, Jawa Timur.
(4) Sutiono Hadi, seorang pejuang literasi dari Jakarta, yang menyulap bemonya, menjadi bemo pustaka, dengan bemonya dia membawa buku-buku, buku cerpen, buku cerita bergambar dan buku lainnya buat bacaan anak-anak.
Sebenarnya banyak sekali para pejuang literasi seperti tersebut di atas, tapi penulis hanya menyebutkan itu saja sebagai contoh dari para pejuang literasi yang  ada dilapangan, semoga perjuangan mereka -  pejuang literasi yang sederhana, bisa menginspirasi generasi millennial, untuk lebih menghargai, dan menteladani perjuangan mereka, mungkin dalam bentuk dan cara yang berbeda.Â
Seperti tadi pesan Menristek Bambang Barojonegoro, dalam hari pahlawan, supaya generasi millennial tumbuh semangat kepahlawan dengan cara menorehkan prestasi di berbagai kehidupan yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan negara.Â
Selain pejuang literasi  seperti yang disebutkan diatas,  pejuang  literasi yang tak kalah penting yaitu  pejuang literasi kepenulisan, salah satunya para penulis di kompasina  yaitu kompasioner ini (para penulis kompasiana), dengan berbagai  beraneka profesi yang tergabung sebagai kompasiner, berusaha mencari solusi, menerangi setiap pembaca (masyarakat), agar mempunyai kecerdasan nalar dan kecerdasan fikir, dengan menggoreskan tintanya, coretan dan tulisannya, sedikit atau banyak untuk menguak suatu tabir ketidak tahuan, suatu ketidak mengertian, suatu yang  gelap gulita, dicobanya, diterangi lewat goresan-goresan yang dikemukakannya dengan berbagai gaya penyampaian yang berbeda-beda tapi tujuannya sama, membela keniscayaan, dengan menepis isu yang kurang pada tempatnya, yang mencari solusi dan jawaban supaya kedepan membawa suatu perobahan.Â