Media sosial menjadi trend untuk menunjukkan ekspresi seseorang, tidak hanya berbagi kebahagiaan tetapi juga kekesalan yang kadang bahkan berujung sumpah serapah. Menumpahkan curhat di media sosial bukan lagi milik abg abg labil yang lagi galau, tetapi sudah menjadi konsumsi publik di semua segmen . Untuk kelas kelas remaja usia sekolah mereka masih senang melepas curhatnya di media sosail facebook, ketimbang menulisnya dalam cerita panjang di blog. Hadirnya twitter menjadikan dunia media sosial lebih berwarna walau harus dibatasi dengan 140 karakter. Â Dengan kicauan 1,5 juta sehari, Indonesia menjadi negara pengguna twitter terbesar. Twitter pun menjadi ajang mengkritisi dan menyampaikan uneg uneg kepada kebijakan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan, bahkan cacian dan makian pun kadang kita dapatkan dari akun akun anonim .
Konsumen baru Indonesia saat ini mulai melirik kompasiana, sebagai media warga, walau kehadirannya masih seumur balita, tetapi perannya dalam mempengaruhi kancah informasi di negara ini patut diacungin jempol. Lewat kompasiana, akun akun aspal maupun real bebas menuangkan sumpah serapah, keluhan dan protes tanpa henti. Dari banjir, kemacetan, selingkuh, kisah nyata melalui reportase, ayam hilang bahkan mungkin bisa jadi orang kentut pun akan jadi bahan tulisan di kanal ini. Tidak jarang kasus kasus fitnah pun bisa terjadi disini seperti kasus jilbab hitam beberapa waktu yang lalu. Â Dengan menulis di kompasiana, Â seorang kompasianer bisa menarik nafas lega karena bisa berbagi cerita yang kadang tidak begitu lengkap diceritakan di twitter karena akses terbatas.
Yang menarik adalah kritikan kritikan yang ditulis di kompasiana ini bukan lagi hanya sebatas rangkaian kata kata, tetapi sudah berkembang menjadi gerakan sosial yang terorganisasi, contoh konkretnya adalah bagaimana ketika sebuah akun anonim menulis tentang plagiat yang dilakukan oleh seorang doktor sekelas Anggito, lihat bagaimana dampaknya? Bukan hanya direspon dan dibava ribuan orang tetapi efeknya Anggito harus lengser dari kampus yang dicintainya. Luar biasa. Potensi kekuatan politik di kompasiana sungguh dahsyat dan tidak lagi cenderung apolitis. Banyak yag menulis di kompasiana sebagai bagian dari refleksi kepekaan sosial dan kesadaran berpolitik.
Ketika suara kompasianer tidak berhasil didengar oleh anggota dewan kita di senayan, maka sumpah serapah di Republik Kompasiana adalah tempat yang layak dan lebih demokratis menampung keluhan. Saat ini memang disadari, kompasiana sedang tumbuh menjadi seorang remaja, jadi belumlah bisa diharapkan dapat mendorong perubahan sosial dalam skala besar, bisa saja suatu saat Kompasiana akan menjadi gerakan revolusi yang radikal.
Kita tentu masih ingat bagaimana gerakan satu juta facebooker untuk mendukung bibit chandra tahun 2009 dan gerakan koin untuk prita diakhir tahun yang sama. Keduanya mempunyai backgorund gerakan yang sama , sama sama dilahirkan dari media sosial yang kemudian menjadi gerakan massif yang direspon oleh publik. Melihat postingan postingan di kompasiana khususnya tentang politik,  yang menulis  tentang politik cuma sebatas akun akun itu saja. Sebagian besar kompasianer memang masih apatis untuk soal soal  politik.
Agar tulisan tulisan di republik kompasiana bisa mereplikasi gerakan politik semacam bibit chandra atau prita perlu organizer dan struktur khusus yang bisa menghubungkan banyak aktor didunia maya menjadi kenyataan.
Salam republik kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H