Tanggal 20 Oktober, kita akan memiliki Presiden dan wakil presiden baru yakni pasangan Jokowi - JK. Prosesi pelantikan yang akan dilaksanakan di Gedung MPR/DPR tentu akan mendapat liputan dan pemberitaan dari pers dalam negeri tetapi juga luar negeri.
Sekedar flasback, terpilihnya Jokowi-JK yang meraup suara 53,15 persen tentu bukan menjadi suara mutlak, sebab perbedaan yang tipis dengan pasangan Prabowo-Hatta hanya sekitar 7 persen. Coba comparasikan dengan pasangan SBY-Boediono yang meraup suara 60,8 persen suara. Dan hingga kini suara yang diperoleh SBY-Boediono masih menjadi rekor sebai pasangan peraih suara terbanyak dalam sejarah pilpres di republik ini.
Melihat catatan hasil pilpres ini, bisa dikatakan bahwa pemilihan umum 2014 sebenarnya tidak ada yang mencapai kemenangan mutlak. Jadi, pendukung Jokowi-JK seharusnya melihat realita ini dan tidak terlalu larut dalam euforia yang lebay. Mereka mengatasnamakan sebgaai 'kemenangan rakyat', rakyat yang mana ? apakah mereka yang memilih Prabowo-Hatta bukan rakyat.
Legitimisi hasil pemilihan presiden seakan kurang menguat, mengingat partisipasi pemilih hanya 69 persen. Bandingkan dengan pilpres 2004 yang mencapai 79 persen atau pilpres 2009 sebanyak 73 persen. Jadi suka atau tidak suka, kemenangan ini tentu tak bisa mengatasnamankan seluruh rakyat Indonesia. Secara konstitusi kita menghormati kemenangan pasca diputuskan di MK. Karena biar bagaimanapun Jokowi-JK tetap menjadi Presiden dan wakil presiden yang sah.
Nah, jika melihat data di atas, maka tentu saja tak para pendukung Jokowi-JK tak perlu lebay merayakan kemenangan yang akan mengarak Jokowi-Jk dengan pawai rakyat dibeberapa tempat strategis menuju Istana negara. Bukankah itu malah mengurangi substansif pasca pelantikan? ini kan semacam perayaan sepihak, tanpa melibatkan perasaan 46,85 persen pemilih Prabowo-Hatta. Tidak elok rasanya megclaim sebagai KEMENANGAN RAKYAT sedangkan persentasenya cuma 53 persen.
Perayaan besar-besaran yang akan digelar pendukung Jokowi-JK, disadari atau tidak justru akan memunculkan kembali dikotomi pemilih Jokowi dan Prabowo. Sekedar mengingatkan, ketika SBY memenangkan pilpres 2004 dan 2009 menang telak, pendukungnya tidak menggiring perayaan kemenangannya pada kemaruk pesta 'RAKYA'. Justru SBY tampil dan menyatakan bahwa kemenangannya adalah kemenangan rakyat, suatu pernyataan yang menyejukkan semua pihak.
Seharusnya Jokowi dengan kesederhanaannya bisa mengarahkan dan menghimbau pendukungnya untuk tidak membuat arak arakan apalagi pesta. Bukankah pesta kemenangan sudha dilakukan pasca kemenangan MK? Jokowi harus belajar dari SBY ketika memenangkan pilpres dua periode, tak ada pesta atau pawai. Tunjukkan politik yang santun diawal pemerintahan, tidak mabuk dalam kekuasaan. (@iswanto_1980)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H