Mohon tunggu...
Iswan Kaputra
Iswan Kaputra Mohon Tunggu... -

Pekerja sosial dan penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembangunan Pro-Poor… ??? Mempertanyakan Rancangan RTRW Kota Medan 2006–2016

9 Juli 2011   04:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekedar mengingatkan bahwa suatu pemerintahan dapat beroperasi dengan baik atas dukungan utama dari pajak yang dibayar oleh masyarakat, baik pajak langsung - pajak yang tertera dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) untuk menarik kontribusi material dari masyarakat melalui berbagai macam ketentuan pajak dan restribusi - maupun pajak yang tidak langsung - yang dibayarkan oleh masyarakat melalui pembelian barang-barang konsumsi, dimana di dalam harga barang-barang yang dibeli tersebut telah masuk (include) item komponen pajak yang harus dibayar oleh perusahaan pada negara. Artinya bahwa perusahaan memasukkan item komponen pajak dalam setiap satuan barang produksinya, kemudian akan ditentukan harganya untuk dilepas pada pasar, dijual ke konsumen. Otomatis konsumen yang menanggung beban pajak dalam barang.

Bukan hanya itu, konsumen (dalam hal ini, baca: masyarakat) juga menanggung berbagai beban seperti biaya distribusi dan iklan (jadi jangan kira bahwa acara di televisi yang bagus-bagus sekarang ini dapat kita nikmati dengan gratis, sama sekali tidak karena perusahaan telah menentukan biaya iklan - termasuk iklan tv - yang dibebankan pada harga jual suatu barang, yang artinya harus dibayar oleh konsumen, masyarakat.

Mengenai hal konsumen (masyarakat) yang menanggung item pajak dalam produksi suatu barang ini sangat perlu diketahui karena anggapan umum dan kalangan pemerintah selama ini bahwa perusahaan, pabrik dan investasi akan membawa keuntungan yang sangat besar bagi pemerintah karena akan membayar pajak pada negara. Ini pandangan yang sangat keliru dan tidak analitis, apalagi substansi. Jika dipetakan alurnya secara matang menggunakan logika ekonomi dengan menghitung beban produksi dan cara menetapkan suatu harga barang dimana pajak termasuk dari salah satu faktor beban yang harus dihitung untuk menentukan harga, maka anggapan perusahaan yang membayar pajak pada negara adalah, sekali lagi keliru. Konsumen (masyarakat pembelilah) yang membayarnya.

Hal di atas berakibat buruk pada pemahaman berbagai kalangan untuk perencanaan pembangunan yang akhirnya arus utama perencanaan pembangunan jelas sangat berpihak pada pemodal, bukan pro-poor.

Untuk perusahaan-perusahaan yang sifatnya memproduksi barang, terutama yang produksinya dipasarkan untuk pasar lokal dan dalam negeri, dalam konteks ini dapat kita pahami bahwa bukan perusahaan yang menanggung, atau membayar pajak pada pemerintah - lebih jauh dan ironis lagi, banyak pula perusahaan yang mengemplang (tidak bayar) pajak, ini berarti pajak yang dititipkan masyarakat lewat pembelian barang-barang konsumtif ditelap oleh perusahaan - karena secara kasat mata kelihatannya perusahaanlah yang menyerahkan pajak tersebut pada pemerintah, namun masyarakat (konsumen)-lah yang membayar.

Untuk itu, harapan dari masyarakat tentulah dilakukan pula apa yang diamanatkan masyarakat untuk dijalankan dengan baik oleh negara secara benar dan ideal. Sesuai dengan cita-cita luhur dalam pendirian dan berjalannya sebuah negara. Yakni, karena negara beroperasi dibiayai oleh rakyatnya maka sangat wajar jika harapan rakyat pada negara juga adalah bagaimana rakyat difasilitasi dalam hidupnya. Fasilitas tersebut berupa sokongan secara moral dan fisik agar rakyat dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Yakni sisi ekonomi, sosial, budaya, perlindungan hak-hak dan berbagai macam jaminan yang lainnya.

Melihat kondisi pemerintahan sekarang dan pemerataan kesejahteraan masyarakat saat ini harapan di atas terlalu jauh dari kenyataan yang ada, utopis kelihatannya. Masyarakat berkontribusi memberikan pajak dan restribusi pada negara lalu negara melaksanakan tugasnya dengan melalakukan imbal balik dengan memberikan fasilitas dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dan hajat hidup masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dalam bentuk pembangunan yang benar-benar diperuntukkan kepentingan masyarakat.

Pembangunan yang benar-benar diperuntukkan pada kepentingan masyarakat dan pro-poor (berpihak pada rakyat miskin)…??? Hal tersebut sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar saat ini. Mungkin hanya ada di buku-buku komik atau film bolywood yang sangat dramatis, fantastis dan romantisme keberpihakan pada rakyat miskin. Meskipun dalam pijakan prinsip pembangunan di Sumatera Utara, visi-missi propinsi Sumatera Utara, dan hal ini juga biasanya tercantum dalam visi-missi propinsi maupun daerah lain, salah satu visi-missi tersebut adalah pembangunan yang berpihak pada orang miskin pro-poor. Namun hampir semua pakar perencana pembangunan tahu, biarkanlah itu hanya ada dalam buku dan catatan-catatan yang memperindah dan mempermanis kata-kata, juga untuk kepentingan kampanye pencitraan diri pemimpin tertentu atau kepala daerah tertentu. Toh… tidak ada gugatan secara massal dari rakyat mengenai kebohongan ini… !!!

Sudah sangat biasa kita temui bagaimana orang-orang yang menjalankan amanah rakyat menikmati berbagai fasilitas kemewahan dari fasilitas kantor, rumah dinas, kendaraan dinas, sampai hal-hal yang sifatnya bepergian dengan tujuan belajar (studi banding) sekalian plesiran, bahkah tidak sedikit kejadian studi banding disalah gunakan hanya untuk menikmati daerah-daerah wisata dan memenuhi syarat untuk menghabiskan anggaran dari pada tidak tercapai karena sudah direncanakan dalam rancangan anggran, yang jika tidak menjadi pejabat belum tentu hal tersebut bisa dilakukan. Semuanya menggunakan fasilitas negara yang notabene dibiayai oleh rakyat. Berbagai macam kenyamanan yang disediakan tersebut sedianya dimaksudkan agar pemimpin suatu daerah dapat bekerja maksimal untuk memikirkan dan merancang secara maksimal pula apa yang terbaik bagi rakyatnya. Namun hal ini seperti dikhianati dengan logika rakyat menyediakan fasilitas (termasuk gaji) melalui pembayaran pajak dan restribusi (langsung dan tidak langsung) namun para pemodal (investasi lokal maupun internasional) yang difikirkan secara maksimal oleh birokrat kita untuk masuk dan mendapatkan fasilitas terbaiknya. Jika hal ini yang sungguh terjadi maka birokrat kita tak ubahnya menjadi gerbang pintu masuk pemodal (compradors) asing.

Padahal dalam prinsip hak azasi manusia, tentunya dalam konteks tulisan ini adalah ecosoc right (economy social cultural right) yang di Indonesiakan menjadi hak ekosob (hak ekonomi sosial budaya) ada 3 prinsip yang harus (wajib) dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya, yakni; pemerintah wajib memenuhi hak-hak dasar masyarakat dengan menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill).

Apa Tujuan RTRW?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun