Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBAPK] Mencari Wajah Indonesia dalam Layar Lebar

12 September 2016   00:12 Diperbarui: 12 September 2016   00:32 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis Cekoslowakia, Milan Kundera pernah berkata: “Jikaingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Tentu pernyataan ini tidaksemata-mata muncul karena Kundera adalah seorang penulis belaka, tapi juga didasari alas an bahwa sebuah buku merupakan salah satu bentuk dokumentasi dari realitas sosial, politik, maupun budaya yang ada di masyarakat pada kurun waktu tertentu.

Dengan kata lain buku adalah sebuah kepingan puzzle sejarah yang merekam situasi dan periode tertentu suatu bangsa. Melenyapkan buku bias jadi adalah bentuk penghapusan sejarah suatu bangsa, mengingat buku adalah salah satu wujud pendokumentasian sejarah itu sendiri. Hal serupa juga dapat disematkan kepada produk seni dan kebudayaan yang lain, semisal film.

Menurut saya film adalah salah satu bentuk produk budaya yang lebih kompleks dari sebuah buku. Bahkan tidak jarang film diangkat dari sebuah buku maupun novel terkenal. Film memuat tiga unsur didalamnya, yaitu: teks (skenario), audio, dan visual. Dengan daya tarik audio dan visual yang dimilikinya – selain jalan cerita – film lebih mudah ditangkap maksudnya dibandingkan buku maupun novel.

Maka tidak jarang kemudian banyak pihak menggunakan film untuk melakukan propaganda, entah itu untuk tujuan komersil maupun politiss ekalipun. Adolf Hitler misalnya, sangat gemar menggunakan film untuk mendoktrin para pengikutnya maupun untuk mempengaruhi masyarakat secara luas.

Hanya saja film propaganda Hitler itu dianggap Bung Karno hanya berisikan ilusi-ilusi dan tidak mempunyai pijakan ilmiah. Film seperti itu, menurut Bung Karno hanya akan menina bobokkan massa dan tidak akan mampu mengideologisasi rakyat. Ketika kesadaran kritis rakyat terbangun, maka pseudo ideology dan nasionalisme seperti itu dengan sendirinya akan ditinggalkan.

Soekarno menulis dalam esainya:

“…hendaklah propaganda itu disandarkan kepada kebenaran, kepada barang-yang-tidak-bohong. Hanya propaganda yang begitulah dapat membangunkan keyakinan yang kekal. Hanya propaganda yang demikian itulah dapat menjadi satu pendidikan.Tapi propaganda kaum Nazi adalah propaganda yang mempropagandakan barang yang bohong. Propaganda kaum Nazi tidakmendidik, tidak menanam keyakinan melainkan hanyalah memabokkan,menyilaukan.”1

Restorasi Film dan Identitas Bangsa

Dengan melihat potensi film dalam ranah kebudayaan, sosial, maupun politik, maka penting kiranya kita membuka kembali diskusi mengenai film Indonesia atau film nasional tersebut. Dalam rangka membangkitkan kembali semangat film nasional, restorasi film lawas Indonesia adalah langkah yang strategis untuk dilakukan. Restorasi film berguna untuk memperkaya khasanah dan wacana akan kiprah film buatan anak bangsa. Disisi lain, generasi hari ini dapat belajar untuk menggali aspek kreatifitas dari pelaku film Indonesia di era sebelumnya.

Salah satu film hasil restorasi yang patut kita cermati adalah film Tiga Dara karya Usmar Ismail di tahun 1956. Saat kemunculannya, film Tiga Dara menjadi box office di dalam negeri, bahkan sempat ditayangkan di luar negeri yaitu Roma serta Yugoslavia. Film Tiga Dara akhirnya sanggup meraih penghargaan piala Citra kategori tata musik terbaik pada festival film Indonesia 1960.

Film Tiga Dara bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga di kota Jakarta. Kelurga itu terdiri dari seorang Nenek, Bapak, serta 3 orang anak gadis yang beranjak dewasa. Gadis pertama, Nunung (diperankan Chitra Dewi) yang telah berumur 29 tahun didorong untuk segera berumah tangga oleh si Nenek. Repotnya karena Nunung ternyata tidak terlalu merisaukan pernikahan dan si Bapak yang tidak ingin mengekang tentang masa depan putrinya tersebut. Perjuangan Nunung dalam mencari jodoh dibantu oleh adik-adiknya Nana (Mieke Widjaja), dan Neni (Indriati Iskak) beserta segala serba-serbinya menjadi inti cerita dalam film ini. Karakteristik tokoh yang beraneka ragam menjadi tontonan yang menarik bagi pemirsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun