"Alright everyone, that’s all for today, now you can prepare to go home. Don’t forget to recite surah Annas at home. Next week, I don’t want to hear someone says, “I forget”, OK?” suruhku dengan senyuman di bibir pada santriwan dan santriwati cilik yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik itu. “Ok Ustadz…” jawab para santri cilik serempak, dapat kulihat kegembiraan di wajah mereka. Walau mereka semangat belajar membaca Al-Qur’an, tetap saja saat selesai belajar adalah saat yang menyenangkan. “Ustadz say cheese first…” teriak Kevin, santriwan paling cerdas yang pernah aku temui di mushola mungil di St. Lucia, Brisbane ini, sambil bergaya photographer, mengarahkan kamera kertas buatanku, dan click, senyuman bahagiapun terpancar di wajahnya yang lucu. “Kevin… Take me a picture” teriak Jennifer sambil bergaya ala foto model terkenal. “Wait…” teriak Sarah sambil bergabung dengan Jennifer bergaya foto model. “Smile…” Kevin kembali bergaya photographer professional, dan click, kamera kertas itupun berbunyi kembali. “Thank you…” ucap Jennifer dan Sarah bersamaan. “Ok that’s enough brothers and sisters, now please back to your seat and pack your belongings. We’ll start to close the class now.” suruhku lagi sambil memberikan isyarat pada Zahra, guru ngaji wanita asal Iran untuk segera membantu anak-anak bersiap pulang. Zahra pun menuntun anak-anak untuk kembali duduk rapi di tempatnya. “Ok, are you ready to go home?” tanyaku lagi. “Yes Ustadz…” Jawab mereka serempak. “Ok so let’s say… hamdallah…” “Alhamdulillah…” “OK, see you next week, Assalaamu’alaikum warrahmatullahi wabarokaatuh…” Aku dan Zahra menutup pertemuan minggu ini. “Waalaikumussalaam warrohmatullahi wabarokaatuh…” santriwan santriwati cilik itupun segera berhamburan menuju ibu mereka yang dengan sabar menunggu di teras mushola. Aku dan Zahra tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anak-anak yang memang lucu dan menggemaskan. Kami segera ikut keluar menemui ibu-ibu anak-anak lucu itu. “Makasih ya Mas Iwan, thanks Zahra, see you next week…” sapa mbak Emma, ibunya Jennifer sambil membuka pintu mobilnya. “Sama-sama mbak…” jawabku diikuti lambaian tangan Zahra. “Mas Iwan, jangan lupa dong… anak-anak dikasih pe-er” pinta Mbak Rini, ibunya Kevin. “Udah kok Mbak, we asked the students to recite Annas, right?” jawabku sambil meminta pembenaran dari Zahra. “Yes we did mum, don’t worry, we always love to make the students keep in busy.” Tambah Zahra lagi, sambil tertawa usil. “Alright, thank you very much then, see you next week” Jawab Mbak Rini, sambil segera menuntun Kevin menuju mobilnya yang diparkir agak jauh dari halaman Mushola. Ibu-ibu yang lain pun mengikuti mereka kembali ke mobil masing-masing dan segera melaju ke tujuan hari minggu mereka masing-masing. Setelah merapikan peralatan mengaji, menghapus white board, dan mengunci pintu mushola, kami pun segera mengucap salam dan berjalan pulang. Itulah kegiatanku di setiap Minggu pagi. Menjadi guru ngaji. Sejak Mbak Hesti, guru ngaji sebelumnya lulus dan pulang ke Indonesia setahun yang lalu, aku menggantikan mengajari anak-anak lucu itu mengaji. Ada sepuluh santri yang rajin datang belajar setiap minggunya. Mereka itu adalah sebagian besar anak-anak wanita Indonesia yang menikah dengan warga negara Australia dan menetap di negri Kangguru itu. Dua santri diantara mereka adalah anak mahasiswa dari Pakistan, dan satu anak dari Iran. Umur mereka cukup beragam, dari murid TK 5 tahunan hingga anak SD umur 8 tahunan. Sebagian mereka tinggal di suburb sekitar kota Brisbane seperti St. Lucia tempat aku tinggal, Indooroopilly, Taringga, Toowong, bahkan ada yang tinggal di Forrest Lake yang lumayan jauh dari St. Lucia. Walaupun ayah mereka masih dipertanyakan praktek keislamannya tapi ibu-ibu dari Indonesia itu menginginkan anaknya mengenal dan memeluk agama Islam. Sebenarnya ada empat guru mengaji di mushola itu. Mas Alif, Zahra, Resti, dan aku sendiri. Karena Mas Alif dan Resti sudah memasuki tahun akhir perkuliahannya, mereka sangat sibuk dan jarang mempunyai waktu untuk mengajar. Beberapa bulan terakhir, Aku dan Zahra menjadi rutin mengajar setiap Minggu. Mushola yang kami gunakan sebenarnya sebuah rumah yang disewa untuk kemudian dijadikan pusat kegiatan keislaman mahasiswa Indonesia di St. Lucia, walaupun ketika Ramadhan, mahasiswa dari negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Negara Arab melakukan shalat tarawih bersama. Di mushola ini, kami mengadakan pengajian rutin setiap jum’at malam, selain pengajian bulanan yang biasanya kami lakukan di park-park dengan peserta yang lebih luas, tidak hanya dari sekitar St. Lucia tapi juga dari seluruh wilayah Brisbane dan sekitarnya. Letak Mushola itu sendiri sangat dekat denga kampus dimana aku menimba ilmu. Aku berjalan pulang menyusuri Hawken Drive ke arah kampus melalui Research Road. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Bulan September di sebagian Australia sudah mulai musim semi, daun-daun terlihat hijau, dan udara terasa sejuk diusap semilir angin pelan. Hari Minggu jalanan kampus terlihat begitu lengang. Sampai di Cooper Road aku belok kiri ke arah the Great Court, sengaja aku pilih jalur jalan itu sekalian melihat suasana kampus di hari minggu. Masuk The Great Court kulihat rumputan tumbuh subur, hijau, dan terawat. Di seberang sebelah kiri kulihat sepasang pengantin tengah diambil gambarnya oleh seorang photographer. Dari perlengkapan yang dipakai dapat kuperkirakan photographer itu adalah seorang professional. Kulihat pintu the Forgan Smith Building terbuka, akupun masuk dan keluar lagi disisi yang lain. Lurus ku telusuri University Drive. Tiba-tiba ujung mataku melihat sebuah pohon dengan bunga ungu yang sangat lebat. Jacaranda, begitu orang menyebutnya. Sebagian bunganya berguguran membentuk hamparan ungu di atas rumput yang hijau dan kursi yang berada di bawahnya. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin duduk di kursi yang terlihat kesepian tanpa teman itu. Kududuk dengan lunglai, entah kenapa tiba-tiba aku merasa tidak bersemangat. Pikiranku melayang ke masa setahun kemarin. Kuingat waktu itu di hari Rabu saat yang sama, di musim yang sama, aku pernah duduk di kursi ini, tapi saat itu tidak sendiri. Ada Syifa yang menemani. Setahun kemarin di kursi ini kami belajar bersama sambil melihat mahasiswa lain yang lalu lalang. Ada yang tidur di atas rumput dengan nyenyaknya, ada pula yang asyik menyantap sandwich bersama. Syifa adalah teman dekatku, bisa dibilang teman spesialku. Walaupun berbeda studi yang diambil, kami sering belajar bersama. Syifa adalah mahasiswi dari Jakarta yang sudah empat tahun menimba ilmu di program undergraduate di kampus ini. Sementara aku waktu itu baru sembilan bulan saja berada di negeri kangguru ini. Berbeda dengan aku yang kuliah S2 dengan beasiswa, Syifa kuliah dengan biaya orang tuanya yang seorang pejabat tinggi di Jakarta. Juli kemarin, Syifa wisuda. Kedua orang tuanya hadir bersama satu adik laki-lakinya. Saat itulah aku dikenalkan kepada mereka. Ayah Syifa seorang Jawa keturunan keraton. Dari sorot mata dan sikapnya kepadaku, sepertinya ayah Syifa menunjukan aura tidak berkenannya beliau dengan kedekatannya Syifa dan aku. Satu yang sempat membuat aku terheran heran ketika ayah Syifa menanyakan hari kelahiranku. Keesokan harinya ayah Syifa benar-benar menunjukan kebenciannya padaku. Entah apa yang terjadi. Sampai mereka pulang ke tanah air, aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hingga seminggu setelah kepulangan Syifa ke tanah air, aku mendapatkan email yang sangat mengejutkan. Syifa menjelaskan kalau ayahnya meminta anak perempuan satu-satunya itu memutuskan untuk tidak pernah menghubungiku lagi. Alasannya sangat aneh. Kata Syifa setelah dihitung hari kelahiranku sangat tidak cocok dengan hari kelahiran Syifa. Menurut ayahnya, weton kami tidak bagus. Menurut perhitungan beliau weton kami adalah weton yang menurut kepercayaan orang Jawa kuno tidak akan membawa kebahagiaan. Begitulah sejak itu tak pernah kudapatkan kabar dari Syifa lagi hingga seminggu kemarin aku mendapat kabar dari Resti kalau dia mendapat email undangan dari Syifa yang akan segera menikah. Dan hari ini…, adalah hari pernikahannya. Tak terasa ada bulir bening menggantung di sudut mataku. Dadaku terasa sesak, dan seluruh tubuhku terasa lunglai. Astagfirullah al’adzim… ucapku lirih. Mengapa aku harus menangisi kehendak-Mu ya Allah. Bukankah setiap orang telah terlahir dengan jodohnya masing-masing. Dan kenyataan ini menunjukan bahwa Syifa memang bukan jodohku. Harusnya aku mendoakan, semoga Syifa mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan hidupnya. Seharusnya aku mendoakan agar perkawinan mereka adalah perkawinan yang akan melahirkan generasi-generasi yang shaleh dan shalehah. Dan doa itulah sebenarnya yang harus aku berikan sebagai tanda kasih sayangku pada teman dekatku itu. Semoga Allah memberi berkah kepadamu baik dalam kondisi senang dan susah dan mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan. Kuusap buliran bening yang hampir jatuh di pipiku. “Assalaamu’alikum…” tiba-tiba kudengar suara salam dari arah belakang tubuhku. Suara yang sangat tidak asing bagiku. Suara yang selalu hadir ketika aku berbahagia bercanda dengan santri-santri cilikku. “Wa’alakumussalaam warrohmatullahi wabarrokaatuh, Zahra…? What are you doing here?” tanyaku keheranan. “What are you doing here…?” Zahra malah kembali bertanya. “I asked you first, were you following me?” Tanyaku sedikit menuduh. “No… of course not, I just..” Zahra seperti kehabisan kata, kulihat pipinya yang putih sedikit memerah. “Yes you were, you were following me.” Tuduhku lagi. “Don’t be silly, I came here to study under this tree. This is my favorite.” Sanggahnya sedikit malu. “So… this is your tree too?” tanyaku lagi. “That’s right… under this purple tree, I feel very comfortable. It’s inspiring.” Jelas Zahra semangat. “Look! The flowers are falling on you, OZ people say that’s a bad luck for your exam.” Terangku sedikit menggoda. “Gosh… do you believe that? That’s superstitious.”Sanggahnya kemudian. “Of course I don’t believe that” jawabku sambil tersenyum. Tiba-tiba keluar isengku, ku tangkap bunga jacaranda yang berjatuhan. Setiap jatuh ditubuhku satu, kutangkap satu lagi. “Why are you doing that?” Zahra bertanya keheranan. “OZ people say if Jacaranda flower fall on your body, it will give you bad luck in your exam, and to neutralize you have to catch one.” Jelasku iseng. “So you do believe that?” Tanya Zahra keheranan. “No, I don’t.” sanggahku lagi sambil tetap menangkap satu bunga yang jatuh setiap ada bunga yang jatuh di tubuhku. “Then why you keep doing that?” “It’s fun…” jawabku sambil tertawa riang. “Is it?” tanya Zahra sambil mulai mengikutiku. “You try…” “It is fun…” teriak Zahra sambil tertawa dan menangkap satu bunga yang jatuh setiap ada bunga yang jatuh di tubuhnya. Beberapa orang yang lewat turut tertawa kecil sepertinya mereka mengerti cerita iseng tentang Jacaranda ungu nan indah itu. Akhirnya kami terlena dengan pekerjaan iseng yang sungguh aku sama sekali tidak percaya pada tahayul Jacaranda itu, seperti aku tidak percaya pada tahayul weton. Sesaat sempat sesuatu melintas di pikiranku… Apakah sebenarnya Zahra… tapi… Sstttt… it’s too early to come to a conclusion. Now it’s the time to forget the past and start the new beginning. Di sini… di bawah taburan ungu Jacaranda. *** Menurut Ustadz Ammi Nur Baits, S.T. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah): Mempercayai weton sebagai sebab kesialan atau keberuntungan termasuk bentuk syirik kecil karena keyakinan terhadap suatu “sebab” padahal dia bukan “sebab” adalah bentuk tiyarah, dan tiyarah itu dihukumi sebagai syirik kecil. Terutama, jika hal ini dijadikan alasan untuk menunda suatu rencana. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada tiyarah, dan saya suka optimisme!” Beliau ditanya, “Apa maksud ‘optimisme’?” Beliau menjawab, “Kalimat yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari Wikipedia.org Jacaranda is a genus of 49 species of flowering plants in the family Bignoniaceae, native to tropical and subtropical regions of South America (especially Argentina, Brazil, Peru and Uruguay), Central America, Mexico, and the Caribbean. It is found throughout the Americas and Caribbean, and has been introduced to Australia, New Zealand, India, Fiji and parts of Africa. The genus name is also used as the common name.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H