Pernahkah terbayang olehmu terbangun dari tidur dengan diiringi alunan musik dan suara nyanyian yang merdu? Di Sumedang, tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang tak terlepaskan dari masyarakat setempat.Â
Tak hanya membangunkan untuk sahur, tradisi ini ternyata membawa manfaat yang tak terduga-duga. Maka, yuk simak 3 manfaat dari tradisi membangunkan sahur di Sumedang!
Pada pagi buta sekitar pukul tiga di kompleks perumahan, saya merasa biasanya sangat tenang. Semua orang terlelap, lagi enak-enaknya tidur, kami semua sedang berlayar di samudera impian. Namun, kali ini ada yang berbeda, terdengar suara kentongan dan rebana yang ditabuh dengan lembut. Suara itu diiringi oleh sholawat dan lirik yang berisi ungkapan untuk membangunkan sahur.
Sinar rembulan yang redup menerangi kompleks perumahan, dan sebagian besar rumah masih gelap. Namun, ada beberapa rumah yang sudah menyala lampunya dan terlihat ada aktivitas di dalamnya. Saya keluar rumah untuk memperbaiki tanaman di halaman depan rumah atau sekadar menghirup udara segar di malam yang sejuk.
Di beberapa sudut kompleks perumahan, terdapat kelompok-kelompok kecil orang yang berkumpul dan menabuh kentongan serta rebana dengan semangat. Mereka berteriak-teriak dan berjoget dengan suara yang riuh. Namun, kebanyakan orang masih tertidur pulas menikmati malamnya.
Saat suara kentongan dan rebana semakin keras, saya mulai bergerak untuk bersiap-siap untuk sahur. Saya menghidupkan kompor dan mempersiapkan makanan sahur. Beberapa orang bahkan sudah menyiapkan hidangan sahur dan menunggu waktu yang tepat untuk memakannya.Â
Suasana di pagi buta tersebut terasa damai namun penuh semangat dan kegembiraan dengan adanya suara kentongan dan rebana yang efektif dalam membangunkan orang-orang agar siap untuk sahur.
Suara kentongan ingatkan saya akan masa lalu
Dahulu, sewaktu saya masih kecil, berusia sekitar 7 tahunan. Saat sahur, ibu selalu memasak menggunakan tungku yang dinyalakan kayu bakar. Ia akan mempersiapkan kayu bakar sejak malam sebelumnya agar bisa dipakai untuk memasak pada saat sahur tiba.
Saat waktu sahur tiba, ibu saya dengan hati-hati menyalakan api pada tungku. Ia memanfaatkan panci atau wajan yang sudah disiapkan untuk menghangatkan sejumlah nasi yang sudah dimasak sebelumnya di atas tungku.
Tidak hanya nasi, ibu saya juga memasak telur ayam yang digoreng dengan minyak goreng yang dipanaskan di atas tungku. Tak lupa, ia juga membuat sambal goang yang khas dengan bahan-bahan seperti terasi, cabai rawit, bawang putih, garam, dan air jeruk limau.