Alangkah sedih dan nelangsanya hati orang tua, kala mendapati anak yang sangat dikasihi dan dibangga-banggakan sedari kecil itu hanya sibuk saja membela diri, dengan berkata : "Bukan salah saya, kok!" Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah, dan perilakunyalah yang menyebabkan ia selalu dirundung masalah dan kegagalan.
Mencari Kambing Hitam
Proses memukul benda-benda dan menyalahkan benda saat anak terjatuh pun secara tidak langsung mengajarkan kepada anak, bahwa akan selalu ada pihak lain di luar dirinya yang berkontribusi dalam setiap hal yang tidak nyaman bagi dirinya. Anak akan belajar untuk mencari 'kambing hitam'. Baik berwujud orang, benda, cuaca, bahkan hal yang tidak kasat mata.
Alih-alih mencari solusi atas masalah yang tengah dihadapinya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti itu, akan sibuk mencari orang atau hal yang bisa dijadikan sebagai sesuatu yang harus bertanggungjawab atas kegagalan yang menimpa dirinya. Sikap ini akan nampak dan menjadi bumerang bagi orang tua. Kala anak mulai melawan dan tidak mendengarkan nasihat orang tua.
Mungkin kita akan merasa penasaran, mengapa sih istilah kambing hitam ini begitu populer? Di dalam Jewish Folklore, yang dijadikan sumber acuan oleh Robert Greene dalam bukunya The 48 Law of Power dikisahkan bahwa ada seorang gubernur yang melakukan suatu tindakan korupsi dan akan dihukum pancung.
Namun, rakyat tidak terima jika pemimpin mereka dihukum dan meminta agar gubernur tersebut menunjuk ajudannya sebagai orang yang menggantikan hukuman tersebut. Terjadilah kesepakatan antara hakim, gubernur, ajudan dan masyarakat. Saat akan dipancung, si ajudan tiba-tiba menderita sakit. Secara hukum, orang yang sakit tidak boleh dieksekusi. Lalu, hakim pun menunjuk ajudan satu lagi, yang kondisinya sehat.
Warga lagi-lagi merasa keberatan, dan berkata :"Kalau ajudan satu ini dihukum, nanti siapa yang akan mendampingi gubernur dalam melaksanakan tugasnya?" Akhirnya, pengadilan tersebut diserahkan kepada tetua adat untuk memutuskan hukuman yang tepat. Saat tetua adat naik mimbar, dia berdehem beberapa kali.Â
Lalu, terdengarlah suara seekor kambing, "Mbeek!Mbeek!" seekor kambing berbulu hitam melintas di tengah alun-alun tempat ekesekusi akan dilaksanakan. Tetua adat menangkap kambing hitam tersebut, sambil mengelus jenggot si bandot, tetua adat berkata, "Kesalahan pemimpin kita dan kesalahan kita semua sudah saya pindahkan kepada kambing hitam ini. Oleh karena itu, sekarang mari kita halau ramai-ramai kambing hitam ini agar masuk ke dalam hutan."
Sejak peristiwa itu terjadi, seluruh rakyat berbondong-bondong membeli kambing hitam dan memeliharanya. Agar ketika suatu saat mereka melakukan kesalahan di hadapan hukum, maka sudah tersedia kambing hitam yang akan menanggung kesalahan mereka.
Nah, pertanyaanya apakah kita sebagai guru harus bersiap-siap memelihara kambing hitam juga? Karena, saat peserta didik kita memiliki karakter yang buruk dan terasa sulit untuk diperbaiki. Sebab mereka selalu menganggap dirinya benar dengan berkata, 'Bukan salah saya!" dan mengkambinghitamkan orang lain untuk kesalahan yang ia lakukan. Kita pun akan ikut berkata juga, "Itu bukan salah saya! pasti salah kambing hitam ini nih. Oleh karena itu, mari kita halau jauh-jauh kambing ini ke hutan." *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H