Sepuluh orang anak bermain tiktok bersama gurunya, mereka melakukan aktivitas game berupa kuis. Pertanyaannya sederhana saja, "Bagaimana sosok ibu menurut pendapat kamu?" Anak pada urutan pertama menjawab, "Ibu suka marah." Begitu juga anak dengan urutan kedua mengatakan bahwa, "Ibuku tukang ngomel-ngomel setiap hari."Â
Baru pada urutan ketiga, kita akan mendapati jawaban yang cukup melegakan. Ibuku adalah perempuan paling baik, masakannya selalu enak, sosok yang penyabar, wanita yang tangguh, dan sebagainya. Pada akhir tayangan, pak Guru memberikan penguatan. Bahwa, "Meskipun suka marah dan ngomel-ngomel, sebenarnya ibu sangat sayang kepada anaknya. Marah dan ngomel adalah salahsatu bentuk cinta dan kasih sayang ibu kepada kita.
Ibu dan ingatan masa kecil
Video yang muncul di beranda tiktok itu membuat ingatan masa kecil saya kembali terbuka. Terbayang dengan jelas di pelupuk mata, bagaimana ibu waktu saya kecil dulu, sangat tegas dan protektif. Beliau tidak pernah memanjakan apalagi mengumbar ungkapan kasih sayang. Tapi, entah mengapa saya nyaman berada di dekatnya.Â
Saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Perempuan sendiri di tengah, diapit oleh kakak laki-laki dan adik laki-laki. Biasanya, posisi tersebut akan menjadikan anak perempuan satu-satunya sebagai curahan kasih sayang dan perhatian, dimanja, dan diperlakukan dengan istimewa.
Tapi, tidak bagi ibu. Beliau memperlakukan kami dengan hak dan kewajiban yang sama. Ibu dan bapak adalah petani. Setiap hari, berangkat setelah subuh, bahkan sebelum fajar menyingsing menyusuri jalanan, padang rumput, dan menembus semak belukar menuju ke sawah dan ke kebun yang jaraknya lumayan jauh.Â
Sekitar satu jam dengan berjalan kaki, karena tidak ada kendaraan yang bisa menuju ke sana. Kadang pulang ke rumah menjelang magrib. Bahkan, kalau lagi masa panen, suka menginap di sawah sambil menunggui padi yang sudah dituai.
Kerasnya perjuangan sebagai petani dalam mencari nafkah untuk keluarga. Telah menempa ibu menjadi sosok yang mandiri, tidak suka mengeluh, pantang menyerah, dan selalu memiliki solusi untuk setiap masalah yang datang. Kelembutan seorang perempuan, beliau tunjukkan dalam garangnya sinar mentari yang membakar kulit cantiknya hingga hitam legam. Bersama bapak ibu memastikan bahwa kehidupan saya, kakak, dan adik layak, tercukupi, dan baik-baik saja.Â
Hal tersebut menjadikan beliau sebagai ibu dengan kepribadian tegas dan tidak suka menya-menye. Sikap tersebut ia tunjukkan juga kepada saya, sebagai anak perempuan satu-satunya. Setiap subuh saya harus berjalan sekitar setengah kilo dari rumah menuju bedengan air, yang tempatnya berada di bawah bukit untuk mandi dan mengambil air untuk menanak nasi. Tentu saja, hal itu kami lakukan bertiga, saya, kakak, dan adik.
Ibu memiliki sikap Anti-Mainstream atau out of the box
Sepulang sekolah, saya diberi tanggungjawab untuk menyabit rumput guna pakan ternak, sambil menggembala domba di lapang rumput. Ibu selalu berkata bahwa, "Semua nabi dan rasul itu masa kecilnya pasti pernah menjadi penggembala. Kenapa? Karena, mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin umat. Orang yang sudah terbiasa menggembala ternak sejak dini. Maka, bila ia dewasa pasti bisa memimpin." Begitu selalu kata ibu.
Waktu itu saya kurang tahu, apakah kata-kata beliau itu berasal dari buku, hadits, atau sumber ilmiah lain. Ataukah hanya kata-kata hasil karangan dia, sebagai penyemangat saja agar anak-anaknya mau menggembalakan ternaknya. Karena, setahu saya ibu hampir tidak pernah terlihat membaca buku, koran, atau sejenisnya. Paling banter membaca komposisi pupuk atau membaca catatan penjualan padi. Bahkan, di rumah pun hampir tidak nampak ada buku. Ya, meski sebenarnya saya suka membaca, walau dari sobekan koran bekas bungkus pindang atau bungkus bawang dari warung.