Malam merayap, bagai kura-kura dan siput di arena lomba lari. Siapa yang akan ke luar sebagai pemenang? Entah, tidak ada yang tahu.
Tangan nenek yang kisut, tapi sangat hangat dan lembut menurutku. Masih saja nyaliksik rambutku, mencari lisa alias si telur kutu yang menggemaskan itu.
Dari bibirnya yang mungil dan tipis, nyanyian pengantar tidur mengalun merdu. Membuai kantuk yang menyerang saraf lelapku. Angin malam, bagai dawai tak bernada, mengiringi lantunan lagu "Nelengnengkung".
Aku dan nenek selalu tidur di atas pukul sebelas malam. Padahal, usiaku masihlah kanak-kanak saat itu. Malahan, aku baru saja akan berulang tahun yang ke delapan, pada bulan Maret 1990.
Namun, bagaimana lagi? Aku kasihan pada nenek. Dari maghrib, dia berkutat dengan nira-nira di kuali besar itu. Tiada yang membantunya. Bahkan saat harus memanggul lodong-lodong yang besar tempat nira dibawa dari pohon aren.
Dia sendiri yang memasukannya ke dalam kuali, satu demi satu. Aku melihat, tubuh ringkih itu seakan-akan mau ikut masuk ke dalam kuali.
Andai aku sudah besar, ingin ku bantu mengangkat lodong-lodong itu. Sayang, tubuh ini juga tidak sekuat anak-anak lain seusiaku. Bahkan, alih-alih membantu, aku hanya bisa terbaring lemas tak berdaya.
Ya, gara-gara polio yang ku derita. Ibu yang dari rahimnya ku hisap saripati kehidupan. Konon kata orang, dia malaikat tak bersayap bagi anaknya. Tapi, karena kondisiku, dia tega membuangku. Membiarkannya teronggok kedinginan di amben rumah seorang ibu tua bernama Marni.
Marni, si kembang desa yang malang. Dari rahimnya tidak pernah terlahir anak. Bahkan, di usianya yang tidak lagi ranum dan produktif. Rasa iba dan kemanusiaannya, menyelamatkan jiwa bayiku dari renggutan sang malaikal maut.
Marni selalu berbicara padaku, "Mina, panggil aku nenek, ya. Walau tidak punya anak, aku akan menganggapmu sebagai cucuku." Begitu selalu, kata itu dia ucapkan setiap hari.
Dia orang yang jujur dan tulus. Meski, sangat menginginkan penerus. Marni yang dengan lembut dan manja, ku panggil nenek itu. Tidak berniat menyembunyikan identitasku. Dia membiarkan aku hidup dalam kebebasan. Tidak mengikatnya ke dalam ego yang ada di hatinya.
"Jika suatu saat ibumu datang dan menjemput ke sini. Mina harus mau menerima dan memaafkan, ya. Mina harus paham, tidak ada ibu yang jahat di dunia ini. Ibu kamu pasti memiliki alasan untuk melakukan itu. Mina harus selalu bersyukur, karena ibu telah mengantarkanmu ke pangkuan nenek. Jadilah anak yang baik dan selalu beruntung." Begitulah, PETUAH BIJAK nenek masuk ke dalam telingaku. Beriringan dengan suara letupan nira yang sebentar lagi menjadi gula.
"Meski kamu memiliki kekurangan, tapi Mina harus selalu yakin ... bahwa Allah memiliki rencana indah dalam kehidupan kamu." Berkata begitu, nenek mendekapku. Lalu, dia beranjak, membetulkan letak kayu bakar yang mulai habis dimakan bara, agar menyala kembali lebih besar. Karena, nira sebentar lagi akan menjadi gula.
Dalam keriap pelita yang bersinar parau, siluet tubuh Marni yang dulunya sintal itu, kini bagai kerangka manusia yang terpancang di laboratorium biologi. Nyaris tinggal kulit dan tulang saja. Namun, tubuh layu itu terus saja mengaduk kuali tanpa lelah.
Sesekali dia menyenduk busa-busa nira yang keluar dari kuali, menggunakan gayung. Terbuat dari pelepah bambu, dan pegangan dari batang bambu juga. Usia alat tersebut, aku rasa hampir setua Marni. Kisut dan keriput gayung dan tangan Marni tampak begitu mengenaskan bagiku.
Nenek terlihat lebih tua dari usianya, saat ia mengaduk-aduk dandang berisi nira yang hampir penuh dan mengotori tungku. Bara api meliuk-liuk, menjilati kesabaran dan keuletan seorang Marni. Ya, nenekku bernama Marni. Nenek sebenarnya adalah mantan kembang desa. Konon, saat gadis ia adalah pujaan setiap pemuda. Dan kakek, ...
Kadang, nurani kanak-kanakku berkata, "Nasib nenek kurang beruntung. Nikah dengan juragan kaya, yaitu kakek tiriku. Tapi, dia hidup bak seorang babu." Aku sering berpikir, tidak mau hidup seperti nenek.
Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah, bertani, ke sawah, membuat gula merah, menjajakan gula-gula tersebut ke pekan. Ketika uangnya sudah terkumpul, harus disetorkan ke kota.
Wak Kun, anak semata wayang kakek. Dialah yang menerima setiap uang yang dihasilkan oleh buliran keringat dan tarikan napas nenek yang kadang megap-megap. Nenek mengidap asma, bila sedang kambuh, napasnya berbunyi ngik-ngik. Aku iba sekali melihatnya.
Malam ini, bulan bersinar bulat. Ku lihat ia menyembul malu-malu dari balik rimbunan pohon sawo di belakang rumah. Aku mengangsurkan kayu bakar, menjaga api agar tetap panas. Sebentar lagi nira akan masak, lalu kuguis dengan cutik dari bambu, ku biarkan sebentar, selanjutnya 40 keping gula akan tercetak dalam batok-batok kelapa itu.
Nelengnengkung nelengnengkung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Geura makayakeun indung
Senandung pengantar tidur itu terdengar lagi, selalu merdu. Aku bahkan sempat merasa heran. Padahal, nenek sudah lama meninggal. Namun, suaranya saat menyanyikan lagu itu, selalu saja hadir, tepat pukul sebelas malam. Saat aku berhasil merampungkan semua pekerjaan mencetak gula.
Bahkan, terkadang aku merasa, suara itu bukan berasal dari luar. Tapi, muncul dari dalam nuraniku, otomatis bagai alarm jiwa. Menggoda hatiku untuk merebahkan tubuh ringkih ini. Kuseret kaki yang sudah hampir mati sebelah dan semakin mengecil saja ukurannya itu perlahan. Susah payah ku letakkan badan ini dalam kasur tua nan lapuk di pinggir tungku.
Ya, inilah tempat tidurku. Umurku menginjak usia perak saat ini. Tidak ada yang berubah dalam kehidupan yang berjalan. Seperti udara, air, tanah, dedaun jatuh, usia tua mati, datang bayi yang lahir. Semua telah ada ukuran dan kadar masing-masing. Begitu juga alur hidupku. Seperti kebanyakan yang diharapkan gadis normal seusiaku, yaitu mencintai dan dicintai. Tidak pernah terbersit dalam anganku.
Seperti senandung pengantar tidur, hidup pun memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Begitu selalu kata nenek. Jika kita tidak mampu menjadi biduan yang populer dan dikagumi banyak orang. Maka, jadilah penyanyi bagi dirimu. Saat kata tidak dapat terucap dari mulutmu. Karena, keterbatasan yang kamu miliki. Maka, berdendanglah dalam hati. Lantunkan senandung dengan penuh kesyukuran.
Ku angsurkan tampolong yang biasa dipakai nenek, saat ia ingin mengeluarkan dahak dari kerongkongannya. Ku keluarkan rasa tidak enak dan pahit dari mulutku. Lega sejenak, lalu ku raih cangkir besar dari seng, menuangkan isinya menghangatkan tenggorokan.
"Ini Nek, tampolong dan air hangatnya, agar nenek merasa lega." Kata itu selalu terucap dalam hati. Yang ku lisankan hanyalah, isyarat dan gerak tangan. Setiap pagi, siang, sore, dan malam hari. Aku melakukan hal itu, ditambah dengan menyanyi senandung pengantar tidur dalam hati.
Entah mengapa, saat kemarin siang Wak Kun datang mengambil semua gula yang telah dibuat dan siap dijual. Ia berkata, "Si Mina kan bisu, ya ... tapi Kun mendengar ada suara nyanyian, seperti lirik suara pengantar tidur, lagu Nelengnengkung atau sejenis itu."
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. "Iya Wak, aku memang bisu, bahkan tuli." Tapi, suara nenek mendendangkan lagu itu perlahan tapi pasti memantik hatiku untuk belajar mendengar dan bicara. Tidak penting lagi bisa mendengar dan bicara, saat ini. Yang penting apakah hatimu bisa mendengar dan bicara?(*)
Sumedang, 07 April 2022
Catatan :
Nyaliksik : Mencari kutu atau lisa dengan cara disasar dengan tangan tanpa dilihat.
Lodong : Wadah yang digunakan untuk tempat air nira, saat diambil dari pohonnya.
Tampolong : Tempat untuk wadah ludah untuk orang tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!