Bila mendengar kata 'ustaz' sering disebut ustad, atau dieja ustadz. Maka, kita akan menganggap bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Arab. Memang benar sekali, bahwa kata ustadz berasal dari bahasa Arab, kata jamaknya yaitu asatidz, artinya guru. Namun, tahukah anda, ternyata ustad juga berasal dari bahasa Persia, ustaad dengan makna yang sama yaitu pendidik atau pengajar.
Dalam penerapannya dalam bahasa Indonesia, kata ustadz mengalami penyempitan makna. Dari asalnya, bermakna guru, pendidik, dan pengajar. Sekarang, kata ustadz memiliki makna khusus, yakni guru yang mengajarkan tentang agama, baca tulis Al-Qur'an, mengajar di sekolah agama, dan pendakwah yang memberikan ceramah keagamaan. Untuk makna yang terakhir, pendakwah yang memberikan ceramah keagamaan, dapat kita kelompokkan menjadi dua. Pertama, ustadz yang berceramah di masjid-masjid lokal, tanpa diliput media. Kedua, ustadz yang aktif berdakwah di media televisi,radio, dan media sosial lainnya. Sehingga hal tersebut menjadikan mereka sebagai idola, dikagumi, dipuja, dan tampil sebagai selebritis dalam bidang keagamaan.
Setiap dari kita, tentu memiliki nama salah satu ustadz yang dijadikan panutan, pavorit, teladan, dan idola. Banyak sekali ustadz-ustadz yang dapat dijadikan panutan, mereka hampir setiap hari wara-wiri mengisi kajian di televisi dan media sosial. Apalagi saat bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Â Ceramah-ceramah mereka digandrungi banyak pemirsa, mendulang viewer beratus juta. Sehingga dengan hal itu, menjadikan berkah tersendiri bagi ustadz-ustadz tersebut, berupa finansial dan popularitas.
Saya juga mengidolakan beberapa ustadz tersebut, bahkan hampir semua ustadz yang tampil di media televisi dan media sosial. Bagi saya, mereka adalah para warosatul anbiya, pewaris para nabi  yakni orang-orang yang memilih hidup di jalan dakwah, menyampaikan risalah kenabian. Semua ustadz memiliki karakter, cara menyampaikan dakwah, dan fokus kajian agama masing-masing.
Meskipun mengidolakan semua ustadz-ustadz tersebut. Namun, hanya ada satu ustadz yang menjadi panutan. Dan luar biasanya, beliau adalah ustadz yang belum pernah sekali pun tampil di televisi. Sehingga, mungkin anda sahabat Kompasianer tidak akan mengenalnya.Â
Ustadz panutan
Ya, beliau adalah guru ngaji saat saya kecil dulu. Penampilannya selalu sederhana; kopiah hitam sudah usang, sarung, sorban, dan baju koko putih. Mengajar anak-anak mengaji di surau pada waktu sehabis Ashar dan ba'da Maghrib. Tidak ada gaji, bayaran, atau sekedar upah lelah yang kami berikan kepada beliau sebagai kompensasi dari kerelaannya mengajar anak-anak mengaji.Â
Padahal, beliau bukan muncul dari kalangan orang berada dan berkecukupan secara finansial. Sehari-hari, ustadz saya itu menyabit rumput untuk pakan kerbau, mencangkul ke sawah dan ladang, dan melakukan aktivitas selayaknya orang-orang desa lakukan. Tidak ada keistimewaan atau privillege yang ia dapatkan terkait panggilan ustadz yang tersemat dalam namanya.
Namun, saya melihat beliau tidak pernah mengeluh. Selalu saja semangat setiap hari berangkat ke surau, walau dalam keadaan hujan badai sekali pun. Kegigihannya memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah dari alif hingga ya, menuntun kami menghapal bacaan sholat dari niat hingga salam, mengajarkan do'a-do'a yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan petuah-petuah hidup yang baik dan benar sesuai ajaran agama.Â
Semua perjuangan yang beliau lakukan itu tidak sia-sia. Kini, saya dan teman-teman bisa membaca Al-Qur'an dengan fasih, menunaikan sholat lima waktu dengan bacaan sholat lengkap, menerapkan do'a dalam setiap keadaan, dan yang paling utama adalah nasehat beliau tentang ajaran hidup bagaimana bermuamalah (hubungan sosial) dengan orang lain.Â
Petuah Ustadz tentang berbakti kepada orang tua
Semua hal tersebut, terpatri secara alami dalam sanubari. Bahkan, bila sedang menasehati anak-anak pun, saya menularkan kembali petuah ustadz tersebut. Umpama dalam hal hubungan anak dan orang tua. Ustadz saya tidak langsung mengeluarkan dalil, hadits, dan ayat-ayat Al-Qur'an. Namun, beliau akan mengungkap kearifan lokal dahulu sebagai pendekatan pertama kepada anak-anak.
 "Tahu gak kalian kalimat, ka luhur henteu sirungan ka handap henteu akaran?" Anak-anak menggelengkan kepala, sebagian ada yang mengangguk dan menjawab. "Tahu, Pa Ustadz! ibu saya pernah berkata begitu, tapi tidak tahu artinya." Jawab teman saya, dia laki-laki duduk di amben surau sambil mengunyah buah kapol. Saya tahu itu buah kapol, karena saat dia bicara, ada hitam-hitam di giginya.Â
Dengan santun dan lemah lembut, Ustadz menjelaskan bahwa makna dari kalimat tersebut diibaratkan kepada anak yang durhaka kepada orang tua, apalagi durhaka kepada ibu. Saat menjalani kehidupan di dunia ini. Orang yang durhaka kepada orang tua, hidupnya akan terkatung-katung, seperti tidak menemukan tujuannya, intinya tidak ada keberkahan dan ketenangan.
Jika kalian ingin hidup bahagia, berkecukupan, berkah, dan senantiasa beruntung. Maka, berbakti dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jangan membantah kata-katanya, apalagi mendebatnya. Bahkan, di dalam Al-Qur'an dijelaskan, saking wajibnya berbuat baik kepada orang tua, mengucapkan kata 'ah' pun tidak boleh. Satu kata itu, bila kita lontarkan kepada orang tua. Artinya, kita telah menjadi anak durhaka.
"Kalau orang tua salah, mereka suka memukul, membentak, dan berkata kasar, bagaimana Pa Ustadz? Apakah kita harus tetap berbuat baik?" Tanya teman saya yang lainnya, Pa Ustadz dengan bijak tersenyum. Tetap kita harus berbuat baik, kalau kalian takut dipukul dan dibentak. Janganlah membuat kesal hati orang tua. Karena, menurut pa Ustad tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang tidak sayang kepada anaknya. Mereka melakukan tindakan memukul dan membentuk. Tentu saja, ada penyebabnya. Mungkin anak-anak yang tidak menurut, membantah, dan membuat kesal.Â
Karena, pa ustadz merasa yakin bila anak-anak berperilaku baik, taat, dan hormat kepada orang tua. Tidak ada tuh, orang tua yang tiba-tiba saja membentak, mencubit, atau memukul.Â
Orang tua adalah pintu tengah menuju surga
Pak ustad mengatakan, bahwa bersyukurlah bila saat dewasa nanti, orang tua kita masih hidup. Karena, hidup kita akan terasa baik-baik saja. Bila ada masalah dan kesulitan hidup, kita dapat mendatangi mereka. Berkeluh kesah, bercerita, meminta do'a. Sehingga saat kita pulang kembali ke rumah. Semua masalah yang terasa berat tersebut, menjadi ringan. Bahkan, hilang begitu saja.Â
Memandang wajah orang tua terutama ibu, adalah ketenangan yang diidamkan semua orang. Berbuat baik kepada orang tua, dijanjikan Allah sebagai salahsatu cara bagi kita menggapai keridhoan dan surga-Nya. Karena, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, mengatakan bahwa ridho Allah ada pada keridhoan kedua orang tua, dan murka Allah berada pada kemurkaan orang tua. Ridho di sini tentu saja, dalam keberadaan atau tempat dari ridho tersebut. Bukan pada batasan ridho, karena tidaklah dapat kita meraih semua keridhoan manusia.Â
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan : jika kita ingin Allah mengabulkan semua do'a dan keinginan kita, mempermudah langkah dalam kehidupan kita. Maka, buatlah orang tua tersenyum dan bahagia. Dengan begitu, Allah akan ridho kepada kita. Sehingga Allah akan mengabulkan semua keinginan dan memberkahi kehidupan kita.
Perintah berbuat baik kepada orang tua, bukan hanya ditemukan dalam hadits saja. Ada juga dalam Al-Qur'an, yaitu di dalam surat Al-Luqman ayat 14, artinya dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu.
Petuah Ustadz benar-benar saya rasakan manfaatnya
Saat ini, saya membuktikan dan merasakan. Betapa, petuah ustadz panutan tersebut benar-benar nyata. Bahwa, memang kehidupan yang baik akan dapat kita raih, bukan saja karena usaha kita. Tapi, saya yakin faktor utama pemicu kesuksesan, keberhasilan, keberkahan, dan segala kebaikan hidup adalah keridhoan dan do'a orang tua. Ingin sekali, di bulan yang suci ini, saya menghaturkan rasa terima kasih tidak terhingga kepada ustadz. Dengan duduk takzim dan mencium tangan beliau. Namun, Allah lebih menyayangi ustadz. Lima tahun yang lalu, beliau dipanggil Yang Maha Kuasa. Dalam usia yang masih sangat muda.
Benar kata pepatah, bahwa hanya bambu yang lurus dan bunga yang indahlah yang lebih cepat diambil dan dipetik orang. Tentu saja, karena hanya yang terbaiklah yang dibutuhkan, diinginkan, dan dapat dimanfaatkan. Begitu pun, dengan manusia dan kebermanfaatannya. Mengapa orang baik selalu diambil Allah lebih cepat. Karena, mereka dibutuhkan oleh Allah untuk secepatnya merasakan nikmat akhirat, yakni surga-Nya. Jangan sampai orang-orang baik tersebut merasa capek dan kelelahan dengan iming-iming dunia yang fana.Â
Akhirnya, di penghujung tulisan ini. Saya mohon keikhlasan pembaca untuk membacakan Al-fatihah bagi ustadz panutan saya. Semoga di akhirat nanti, saya dapat dipertemukan lagi dengan beliau, dan disatukan dengan orang-orang yang shalih. Al-fatihah. (*)
#Samber thr
#Samber 2022 hari 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!