Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sukses di Usia 40 Tahun dan Pola Asuh 7x3 ala Ali bin Abi Thalib

8 Maret 2022   14:01 Diperbarui: 8 Maret 2022   14:34 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sukses |pexels.com/Anna Shvets

Life Begins at 40?

Beberapa pepatah mengatakan, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Sebuah Idiom Inggris juga berkata, 'Life Begins at 40', apakah arti dan maksudnya? padahal, justru menurut saya, usia 40 adalah usia yang mapan, matang, dewasa, dan mampu mencapai apa yang diinginkan dalam hidup. 

Saya lebih suka menyebut usia 40 tahun sebagai puncak dalam segala hal. Baik puncak kebugaran fisik, kedewasaan berfikir, kemapanan secara finansial, kebahagiaan hidup bersama pasangan, buah hati, dan keluarga tercinta, serta puncak dalam perjuangan untuk mencapai semua yang diinginkan dan dicita-citakan. Setuju gak nih? Saya menulis artikel ini, sebagai hadiah ulang tahun bagi diri saya sendiri. Karena, bulan ini saya genap berusia 40 tahun. 

Saya yakin dan percaya, bahwa semua manusia yang ada di dunia ini memiliki kisah hidup, perjuangan, dan tantangannya sendiri dalam menjalani nikmat kehidupan yang dianugerahkan Sang Pencipta. 

Mau berapa lama pun kita hidup, tentu saja ada beberapa fase yang harus dilalui, sebelum kita sampai pada usia 40 tahun. Fase yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dilalui dan dilewati. Fase tersebut ada yang menyenangkan, menguras tenaga, melelahkan fikiran, bahkan menumpahkan banyak air mata. 

Karena sejatinya semua tahapan usia yang dilewati seorang insan adalah masa-masa perjuangan. Semua manusia akan dibebani dengan masalah, kesulitan, ujian, dan cobaan di sepanjang jalur kehidupannya. 

Hal itu tidak akan terhenti, hingga ajal menjemput. Setelah satu ujian selesai kita hadapi, maka akan ada ujian-ujian yang lainnya menunggu untuk dihadapi dan diselesaikan. 

Baca juga : Menerapkan Sabar dan Sholat dalam Menghadapi Permasalahan Hidup.

Definisi sukses

Saya yakin, setiap orang memiliki definisi suksesnya masing-masing. Meski secara harfiah sukses adalah berhasil dalam segala aspek yang diinginkan dan diidamkan oleh seorang individu. Namun, dalam faktanya setiap orang bebas dan berhak menentukan kriteria kesuksesannya sendiri. Bahkan mengutip dari liputan6.com, ada 17 definisi kesuksesan, yakni : 

1. Sukses itu berarti melakukan hal yang terbaik, 2. Sukses adalah fokus pada tujuan, 3. Memiliki keluarga untuk berbagi, 4. Memahami kebutuhan dan keinginan, 5. Percaya, 6. Menyeimbangkan pekerjaan dengan semangat, 7. Bisa berkata tidak, 8. Hidup berlimpah, 9. Bisa mengatasi rasa takut, 10. Belajar hal baru dalam hidup, 11. Mencintai dan dicintai, 12. Tidak pernah menyerah, 13. Mampu mengurus diri sendiri, 14. Merayakan kemenangan kecil, 15. Tetap percaya diri dengan kekurangan, 16. Bisa membantu orang lain, dan 17. Sukses dalam menyekolahkan anak hingga lulus perguruan tinggi. Nah, dari ke-17 definisi sukses tersebut, mana yang sudah kamu capai hingga tahap sekarang dalam kehidupan kamu?

Fungsi pengasuhan

Sebelum mencapai usia dewasa, setiap manusia, bahkan semua yang berada di bumi ini. Baik manusia, hewan, dan tumbuhan. Maupun mahluk-mahluk lain yang tak kasat mata. Semuanya dititipkan Tuhan pada pengasuhan orang yang dianggap dewasa, yakni orang tuanya. 

Pengasuhan orang tua berfungsi sebagai lembaga yang mempersiapkan seorang individu mampu hidup mandiri dan bertanggung jawab, serta mampu menggantikan peran orang tuanya untuk mengasuh individu lainnya yang usianya di bawah dirinya.

ilustrasi pola asuh |pexels.com/Arina Krasnikova
ilustrasi pola asuh |pexels.com/Arina Krasnikova

Idealnya, pola asuh orang tua harus mampu menjadikan seorang anak bisa hidup mandiri di usia dewasa. Mandiri secara fisik, finansial, emosi, dan spiritual. Sehingga, ketika seorang individu berusia 40 tahun. Maka, dia sudah terlepas dari tanggung jawab orang tua. Baik secara fisik dan ekonomi. 

Pada usia tersebut, seorang individu diharapkan sudah dapat membiayai hidupnya sendiri, pasangan, dan anak-anaknya. Bahkan, dia diharapkan mampu juga mengurus dan merawat orangtuanya yang memasuki usia senja. Tidak lagi bergantung secara ekonomi kepada orang tua, apalagi kepada orang lain.

Bila pada usia 40 tahun, seorang individu belum bisa mandiri, masih berprilaku kekanak-kanakan, belum dapat mengambil keputusan dengan benar, bergantung pada perintah dan keinginan orang tua, hobi main game, mementingkan ego dan kesenangan pribadi, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan hiburan, serta bergantung secara finansial kepada orang tua. Maka, dapat dipastikan ada yang salah dan keliru pada pola asuh orang tua.

Dilansir dari Journal.iainkudus.ac.id, Diana Baumrind -developmental psychologist menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah segala bentuk dari proses interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, antara orang tua dan anak. Sehingga dari proses interaksi tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. 

Fungsi pengasuhan keluarga terhadap anak, secara sosio-kultural ada delapan. Berikut adalah kedelapan fungsi pengasuhan tersebut :

1. Fungsi biologis, keluarga berperan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan anak. Menjadi penentu proses tumbuh kembang seorang anak dari bayi hingga dewasa. 

Bagaimana seorang anak mampu menjadi dewasa secara fisik, bertambah besar, tumbuh dengan badan yang sehat, bertambah berat dan tinggi badannya. Dalam hal ini, orang tua menjadi faktor penentu seorang anak dapat tumbuh menjadi individu yang sehat, cerdas, dan kuat di kemudian hari. 

Kewajiban orang tua dalam fungsi ini, tidak sekedar mencukupi kebutuhan makan dan yang lainnya, tapi juga memberikan pendidikan tentang cara dan etika makan yang baik dan sehat, berpakaian yang baik dan sopan, serta hidup sehari-hari di rumah secara disiplin dan teratur.  

2. Fungsi pendidikan, orang tua menjadi sosok yang memberi teladan, pembimbingan, pendidik, pengawas, dan pembimbing dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Sehingga di saat dewasa, anak mampu menjadi individu yang cerdas, berpendidikan, dan memiliki kecakapan hidup untuk membantunya menyelesaikan segala permasalahan dalam hidupnya.

3. Fungsi religius, anak dikenalkan pada akidah dan rutinitas ibadah melalui pembiasaan, contoh, dan teladan dari orang tua. Penanaman akidah dan ibadah yang baik dalam keluarga akan menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat, mandiri, dan bertanggungjawab dalam mengarungi kehidupannya di usia dewasa.

4. Fungsi perlindungan, menjaga anak dari tindakan negatif dan bahaya dari lingkungan luar. Dengan menanamkan nilai-nilai yang baik di dalam rumah, orang tua otomatis sudah menjalankan fungsinya melindungi anak dari paparan pengaruh negatif yang berasal dari lingkungan. 

Bila ada masalah yang menimpa seorang anak yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan, umpama merokok, perundungan, dan lain-lain. Maka, orang tua harus menjalankan fungsinya sebagai pelindung.

5. Fungsi sosialisasi, memperkenalkan anak pada cara-cara dan etika bersosialisasi yang baik dengan lingkungan sekitar. Bagaimana bersikap kepada orang yang lebih dewasa, menghargai, saling tolong-menolong, dan lain-lain. Agar anak menjadi pribadi yang positif, beretika, sopan di lingkungan sosialnya.

6. Fungsi kasih sayang, ikatan batin yang kuat antara orang tua dan anak akan menjadikan hubungan keluarga rukun, harmonis, dan selaras. Tanamkan kepada anak, bahwa kasih sayang dan cinta orang tua tidak bersyarat. Ciptakan suasana hangat dan penuh kenyamanan di lingkungan rumah. Agar anak tidak mencari hal tersebut di luar rumah.

7. Fungsi ekonomis, pembagian tugas dalam aktivitas ekonomi dan keuangan. Siapa yang berperan sebagai pencari nafkah keluarga, perencana anggaran keluarga, pembina usaha, pelaksana tugas rumah tangga, petugas belanja ke pasar, dan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya. 

Dengan mengetahui tugas-tugas tersebut, anak akan belajar bertanggungjawab pada tugasnya, di masa depan ia juga akan menerapkan hal tersebut kepada keluarganya.

ilustrasi berbelanja ke pasar |pexels.com/Erik Scheel
ilustrasi berbelanja ke pasar |pexels.com/Erik Scheel

8. Fungsi rekreatif, suasana rumah yang nyaman, damai, rukun, jauh dari ketegangan, sesekali merasakan kehidupan bebas dari rutinitas akan menghadirkan rasa rekreasi pada jiwa anak. 

Kebutuhan petualangan dan rekreatif anak akan terpenuhi. Maka, sesekali ajaklah anak menikmati suasana alam, jalan-jalan, dan berkemah. Agar anak tidak stres, otaknya fresh, dan kreatifitasnya muncul.

Pola asuh 7x3 ala Ali bin Abi Thalib

Ada banyak teori dan metode pola asuh yang dapat dipilih oleh orang tua untuk diterapkan pada anak-anaknya. Baik teori yang berasal dari dalam negeri, luar negeri, cara Islami, dan cara kuno warisan orang tua terdahulu. 

Nah, pada kesempatan ini saya akan membahas pola asuh 7x3 ala Ali bin Abi Thalib. Kompasianer sudah tahu tentunya siapa Ali bin Abi Thalib, beliau adalah menantu Nabi Muhammad SAW. sekaligus juga keponakan, Ali adalah suami Siti Fatimah -putri tercinta Rasulullah SAW.

Dilansir dari popmama.com, konsep pola asuh Ali bin Abi Thalib yaitu 7x3, artinya bahwa dalam masa pengasuhan anak, ada tiga cara dan sikap yang harus dijalankan oleh orang tua dalam mengasuh buah hatinya, disesuaikan dengan kategori usia anak. Berdasarkan usia, pengasuhan diberi rentang 7 tahun. Berikut adalah cara penerapan pola asuh 7x3 ala Ali bin Abi Thalib :

1. Masa 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak seperti raja. Artinya, orang tua harus melayani anak dengan sikap yang lemah lembut, tulus, penuh kasih sayang, dan sepenuh hati dalam mengasuh buah hati. Jika memberi tahu sesuatu dan menanamkan pendidikan, gunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, dan tanpa kekerasan. 

Memperlakukan anak seperti raja, bukan berarti memanjakan, ya. Namun bersikap penuh kasih sayang dan tetap tegas.

2. Masa 7 tahun kedua (usia 7-14 tahun), perlakukan anak seperti 'tawanan' artinya perkenalkan anak pada hak dan kewajiban, aturan-aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 

Masa ini disebut juga sebagai masa 'perjuangan' anak akan memahami bahwa hidup dan menginginkan sesuatu yang menjadi hak itu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan, yaitu menunaikan kewajiban. Bahkan, di usia ini bila anak tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu sholat lima waktu. 

Islam membolehkan orang tua untuk memukulnya, tentu saja bukan pukulan yang keras, kasar dan menyakiti, ya. Namun, pukulan sedikit di bagian-bagian tubuh yang tidak vital, umpama kaki. 

Dengan hukuman tersebut, agar anak menyadari bahwa ada konsekuensi, saat dia tidak melaksanakan kewajiban. Namun, sebelum hukuman diterapkan, contoh dan tauladan yang baik, serta pengenalan akan kewajiban mutlak diperlukan sebagai langkah awal pengenalan kewajiban dan hak pada anak.

3. Masa 7 tahun ketiga (usia 14-21 tahun), perlakukan anak seperti 'sahabat' ajak anak berdiskusi, mengobrol, bercerita tentang berbagai hal yang dialami, cita-cita, harapan, dan keinginanya. 

Agar anak mampu terbuka kepada orang tua, memiliki wawasan yang luas tentang pengalaman hidup, mampu menemukan potensi dirinya, bertanggungjawab atas keputusan yang dipilihnya, dan lain-lain. 

Hubungan antara pola asuh dan sukses di usia 40 tahun

Terkait kasus adanya individu yang belum mampu bersikap dewasa, mandiri, bertanggungjawab saat usianya menginjak 40 tahun. Menurut pendapat saya, hal itu dikarenakan adanya miss atau pola asuh yang hilang. 

Umpama, pada usia 7-14 tahun, seharusnya anak diperlakukan sebagai 'tawanan'. Namun, karena merasa kasihan dan sangat memanjakan anak, orang tua memperlakukan anak pada usia tersebut seperti raja, memanjakan, menuruti semua yang diinginkan anak. 

Maka, anak akan kehilangan masa 'perjuangan'. Dia akan menganggap bahwa hidup adalah kenyamanan, bermain, hiburan, bersenang-senang dan mendapat pelayanan. 

Oleh karena itu, jangan heran bila saat ini kita mendengar berita tentang anak yang menyiksa orang tuanya, lantaran ingin memiliki motor, tapi tidak dituruti. Lalu, anak yang menelantarkan orang tua, hanya peduli pada harta warisan. Na'udzubillahi min dzalika.

Oleh karena itu, mari kita berdo'a semoga di usia 40 kita semua dapat menampilkan kualitas terbaik versi masing-masing, hati-hati dalam bersikap, taubat atas setiap dosa, menjaga lisan, bugar, bahagia, berkah, dan berkelimpahan rejeki. Agar saat ajal menjemput, kita semua sedang berada dalam puncak-puncak dari kebaikan hidup. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun