Tahu dan tempe pengganti protein hewani
Tahu dan tempe dalam menu makanan mayoritas masyarakat Indonesia, diibaratkan seperti aksesoris pada pakaian. Harus selalu ada dan tersaji di meja makan, meski tidak dimakan. Layaknya aksesoris pada pakaian, umpama peniti dan bros. Kecil saja bentuknya, seperti tidak berguna. Namun, kehadirannya sangat penting. Bila tidak dipakai, terasa ada yang kurang, ya.
Lihat saja, bila anda makan di restoran atau rumah makan khas Sunda. Tahu dan tempe selalu dihidangkan, meski konsumen tidak memesannya. Hal itu, bukan tanpa alasan, ya.Â
Selain, upaya memperkenalkan kuliner khas daerahnya. Pihak restoran mungkin beranggapan bahwa, tahu dan tempe layak dijadikan tambahan gizi dari makanan yang dipesan. Bisa juga dijadikan kudapan setelah makan utama, untuk menghilangkan rasa enek dan mual setelah makan.Â
Apalagi di masa pandemi, saat ini. Daya beli masyarakat terhadap pangan penyedia protein hewani, sangat rendah. Oleh karena itu, alternatif protein didapat dari tahu dan tempe, sebagai sediaan protein nabati yang padat gizi.Â
Dilansir dari databoks.katadata.co.id. Kementerian Pertanian telah memperkirakan, jika ketersediaan konsumsi kedelai bertambah sejak masa pandemi. Hal ini disebabkan oleh adanya resesi ekonomi sebagai imbas dari pandemi.Â
Daya beli masyarakat pada protein hewani menurun, lalu beralih ke konsumsi protein nabati yaitu tahu dan tempe.Â
Selain itu, gaya hidup vegan -mengutamakan menu makanan yang berasal dari sayur dan buah pada masyarakat kalangan menengah ke atas, turut meningkatkan konsumsi terhadap tahu dan tempe.
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa, konsumsi kedelai pada tahun 2020, sebesar 12,15 kilogram. Naik sekitar 19,43 % dari tahun 2019, yaitu sekitar 10,17 kilogram.Â
Namun demikian, pada tahun-tahun berikutnya kementerian pertanian memperkirakan, bahwa ketersediaan konsumsi kedelai akan menurun. Dimulai pada tahun 2021-2024.Â
Hal itu disebabkan oleh berkurangnya produksi kedelai di dalam negeri. Sebagai imbas dari lahan sediaan untuk menanam kedelai yang semakin menyempit.
Sesekali puasa tahu dan tempe baik juga untuk kesehatan
Bagi saya pribadi, tahu dan tempe tidak selalu disajikan tiap hari di meja makan. Pertama, karena anak-anak tidak terlalu suka makan dengan lauk tempe.Â
Kami biasanya mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai kudapan. Tempe dijadikan mendoan, itu tuh yang diiris tipis-tipis dan digoreng setengah matang, lalu dimakan panas-panas dengan cabai rawit. Maknyuss!Â
Untuk tahu, saya iris kotak kecil-kecil lalu digoreng agak kering, dicocol sambal kecap. Dikonsumsi saat hari hujan dan cuaca sejuk, aih mantapnya.
Kedua, ternyata makan tahu dan tempe setiap hari, efeknya juga tidak bagus, ya untuk kesehatan. Dikutip dari liputan6.com, bahwa makan tahu dan tempe setiap hari, tidak baik juga untuk kesehatan, apalagi bagi wanita.Â
Menurut Janella Purcell -Ahli Naturopati dari Australia mengatakan bahwa produk yang berasal dari kedelai seperti tahu dan tempe merupakan makanan alami yang mengandung fitoestrogen, mampu mempengaruhi aktivitas estrogenik tubuh.Â
Hormon ini dianggap menggangu fungsi normal estrogen, walaupun bila dimakan dalam jumlah cukup akan menjadi makanan sehat
Oleh karena itu, jika para wanita ingin agar ovariumnya sehat, dan meningkatkan kesehatan ovulasi. Maka, konsumsilah tahu dan tempe seminggu 2-3 kali saja, jangan setiap hari. Begitu, saran dari Janella Purcell.
Naiknya harga kedelai
Kabar tentang naiknya harga kedelai telah menjadi konsumsi publik, menimbulkan keresahan yang terjalin kelindan begitu massif. Menimbulkan banyak tanya dalam benak, ada apa? Mengapa? Kok bisa berbarengan naik harga, dan langka?Â
Dimulai dengan minyak goreng, gula putih, lalu sekarang tahu dan tempe. Sebagai juru masak dan bendahara rumah tangga, saya sebagai emak-emak merasa paranoid juga.Â
Kadang sambil memandangi wajan dengan sedikit minyak goreng, sehingga gorengan tidak terendam sempurna. Saya berpikir, nanti apalagi, ya yang mahal dan langka. Moga saja bukan beras.Â
Jika beras langka dan mahal, bagaimana keluarga dapat menegakkan perutnya. Mungkinkah, akan kembali ke masa tahun 80-an? saat saya kecil dulu, makan nasi dicampur pisang mentah, jagung dan kayu bakar. Duh, Gusti Allah, jangan sampai hal tersebut terulang lagi.
Dinukil dari katadata.co.id, data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa, memang pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri Indonesia berasal dari impor, yakni sekitar 86,4 %.Â
Bahkan, hingga tahun 2020, Biro Pusat Statistik mencatat, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,48 juta ton, dengan nilai mencapai US$ 1 milliar. Jumlah yang fantastis, ya.
Sejalan dengan hal tersebut, Dilansir dari kompas.com, bahwa pihak Kementerian Perdagangan juga menyatakan, berdasarkan data Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo) stok kedelai yang ada di gudang importir sekitar 450.000 ton.Â
Mereka memastikan stok ini akan mencukupi kebutuhan industri tahu-tempe dalam 2-3 bulan mendatang.Â
Muhammad Ainun Najib-Ketua Bidang Organisasi DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mengatakan bahwa kelangkaan tahu dan tempe di pasaran, disebabkan oleh minimnya pengawasan pemerintah di lapangan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak mampu mengintervensi importir agar menjual stok yang dimilikinya dengan harga yang sama.Â
Karena, faktanya menunjukkan, jika para importir menjual kedelai yang sudah naik harga, bukan berdasar pembelian sebelumnya. Dengan kata lain, importir menjual stok kedelai tahun lalu, dengan harga yang sekarang naik.
Menurut Ainun Najib, hal itu tidak adil bagi para perajin industri tahu-tempe. Karena, importir mendapat keuntungan yang cukup besar dari naiknya harga kedelai tersebut.Â
Lebih lanjut, Ikappi meminta Kemendag agar bertindak tegas, intervensi importir agar menjual kedelai stok lama dengan harga lama, bukan harga yang sekarang.
Kisah sekilo mentega
Berdasarkan berita di atas, saya jadi teringat akan kisah sekilo mentega. Dinukil dari ntdindonesia.com, berikut kisahnya.
Ada seorang tukang roti membuat roti setiap hari untuk dijual di kiosnya. Karena, kelihaian dan keahliannya dalam membuat roti, serta roti buatannya sangat enak dan digemari. Maka, setiap hari roti yang dijualnya selalu saja habis.Â
Tukang roti ini, setiap hari selalu membeli satu kilo gram mentega dari seorang peternak. Lalu, simbiosis mutualisma pun terjadi. Si peternak juga membeli satu kilogram roti setiap harinya.Â
Hal ini pun berlangsung beberapa lama, hingga suatu hari penjual roti merasa ragu bahwa ukuran sekilo mentega yang dibelinya dari si peternak terasa kecil. Lalu, ia pun memutuskan untuk menimbangnya. Benar saja, kurang dari satu kilo, hanya 9,8 ons saja.Â
Penjual roti pun marah, ia merasa kesal dan tertipu oleh peternak. Lalu, ia melaporkan si peternak ke pengadilan. Dipanggillah si peternak oleh pengadilan.
Di pengadilan, peternak ditanya oleh hakim, "Peternak, apakah sebelum dijual, kamu menimbang mentegamu terlebih dahulu?" Si Peternak menjawab, "Maap, yang Mulia, peralatan saya tidak lengkap. Saya tidak memiliki timbangan." Lalu, Si Peternak menjelaskan, "Saya memang tidak punya timbangan, tapi setiap hari, saya membeli satu kilogram roti dari si penjual roti.Â
Kemudian dengan menggunakan sebatang kayu, saya menaruh roti itu di satu sisi, dan mentega di sisi lainnya, saya terus menambah menteganya sampai keduanya seimbang. Jadi, saya yakin sekali bahwa mentega yang saya jual itu, memang satu kilogram, Pak Hakim."
Setelah mendengar penjelasan si peternak, penjual roti merasa malu. Akhirnya, dia mengaku pada Hakim, bahwa dia-lah yang menimbang roti kurang dari satu kilogram, lalu menjualnya kepada si peternak, dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan lebih banyak.Â
Apakah tahu dan tempe akan menjadi makanan mahal seperti di luar negeri?
Diyakini bahwa tempe dan tahu, bukan hanya sebagai makanan khas dari Indonesia, tapi membawa nilai-nilai local wisdom Indonesia, tahu dan tempe mewakili kearifan lokal dan membawa nilai-nilai budaya. Mungkin, kita di Indonesia, ada yang beranggapan jika tahu dan tempe adalah makanan yang murah meriah.
Meskipun, Amerika sebagai pengimpor terbesar kedelai untuk Indonesia. Namun, ternyata harga tempe dan tahu di Amerika mahal lho. Tempe di sana merupakan barang yang mewah dan mahal. Harganya fantastis, mencapai USD 26 sekitar 400 ribu. Wah, bisa cepat kaya, ya kalau jualan tempe di negeri Paman Sam.Â
Di Inggris, harga satu porsi tempe di restoran adalah bisa mencapai USD 20, sekitar 287 ribu. Di Jepang, agak murah, ya. Untuk satu bungkus, atau 100 gram tempe dijual dengan harga 350 Yen atau Rp. 45.000.
Ada beberapa hal yang menyebabkan harga makanan berbahan kedelai ini, bisa begitu mahal dan mewah di luar negeri.Â
Pertama, proses pembuatan tempe memerlukan suhu dan tingkat kelembaban tertentu, dan ternyata Indonesia dengan iklim tropisnya sangat cocok dan bagus dalam menghasilkan tempe yang berkualitas.Â
Sedangkan di negara luar, untuk menghasilkan suhu dan kelembaban yang diinginkan membutuhkan biaya yang lumayan mahal.Â
Kedua, meski mahal, masyarakat luar negeri tetap rela membayar mahal. Itu disebabkan karena mereka adalah orang-orang vegetarian yang mengkonsumsi makanan non-daging.
Nah, apakah dengan naiknya harga kedelai, mogoknya para perajin industri tahu-tempe, akan menjadikan harga tahu-tempe di Indonesia menjadi mahal? Apakah tahu-tempe nantinya akan menjadi barang mewah juga seperti di luar negeri?Â
Jika begitu, bagaimana nasib emak-emak seperti saya yang suka mengudap mendoan dan tahu goreng cocol sambel kecap? Bisa gigit jari dong. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H