Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembelajaran Tatap Muka, Takut Tapi Rindu

13 Januari 2022   15:37 Diperbarui: 13 Januari 2022   15:41 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PTM hari pertama di SMPN 1 Sumedang | tribunnews

Wacana pembelajaran tatap muka (PTM) telah digaungkan. Bahkan, ada beberapa kota besar yang telah melaksanakan pembelajaran dengan menghadirkan peserta didik ke sekolah tersebut. Meski, dalam pelaksanaannya ada beberapa sekolah yang kembali merumahkan peserta didiknya. Hal ini, dikarenakan ada beberapa peserta didik yang terdeteksi varian transmisi lokal omicron.


Dilema pembelajaran jarak jauh


Sungguh, menjadi dilema tersendiri. Bagi semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena, pendidikan adalah salah satu aspek penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Mulai dari pemerintahan melalui menteri pendidikannya, kepala dinas pendidikan dan jajarannya, kepala sekolah, guru-guru, orang tua, dan ujung tombaknya yakni peserta didik. Dilema ini terjadi karena tidak sinkronnya harapan dan kenyataan di lapangan.


Di satu sisi, ada pendapat yang mengatakan bahwa, pendidikan yang dilakukan secara jarak jauh atau daring dirasa belum mampu menyentuh ruh peserta didik seperti ketika belajar dilaksanakan secara tatap muka.


Dalam pembelajaran daring, guru berinteraksi hanya dengan permukaan saja, terbatas pada kemampuan dari aspek kognitif. Walau, pada kenyataannya pada aspek kognitif juga tidak mewakili ketercapaian kemampuan yang sebenarnya. Karena, dalam mengerjakan tugas atau tes secara daring. Peserta didik terkadang mendapatkan bantuan, baik dari internet, maupun dari orang tuanya.


Pembelajaran secara jarak jauh belum mampu membina dan mendidik akhlak dan moralitas peserta didik. Oleh karena itu, muncul keluhan dari masyarakat. Bahwa efek dari pembelajaran daring adalah munculnya generasi yang urakan, sok tahu, minim tatakrama, dan kurangnya etika dalam hidup bermasyarakat.


Munculnya wacana tatap muka yang digemborkan oleh pemangku kebijakan dari pusat, memberikan angin segar yang menyejukkan. Bagaimana tidak? Masyarakat sudah mulai jenuh. Ibu-ibu di rumah telah berada pada level 'enek' dengan perannya sebagai guru kedua bagi anak-anak di rumah. Ibu dan bapak guru juga sudah rindu bertemu peserta didik yang lucu dan menyenangkan.


Jadi, ketika ada wacana pemberlakuan tatap muka di saat covid-19 mulai melandai. Euforia terasa mewarnai hadirnya kebijakan ini. Sehingga ada beberapa daerah yang langsung menerapkan pembelajaran tatap muka 100 persen. Tentu saja, dengan memperhatikan beberapa alasan dan pertimbangan menurut kriteria masing-masing daerah. 

Di kabupaten Sumedang, tatap muka 100 persen untuk seluruh tingkatan kelas belum diterapkan. Walaupun kabupaten terdekat yakni Bandung dan Majalengka telah melaksanakannya. Saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Sumedang menggunakan metode 3 siklus.

PTM, PJJ, dan KBM holistik integratif


Siklus pertama 10 hari pertama kelas IX melaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah. Seluruh peserta didik hadir di sekolah. Namun, tetap dengan protokol kesehatan yang ketat. Memakai masker dan menjaga jarak. Untuk menerapkan jaga jarak. Peserta didik dalam satu rombongan belajar yang terdiri dari 32 orang. Dibagi menjadi dua kelas. 

Dari absen 1 sampai 16 berada di kelas IX A-1, absen 17 sampai 32 berada di kelas IXA-2, begitu pun seterusnya untuk kelas-kelas yang lainnya. Mengapa kelas IX yang didahulukan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Tentu saja dengan pertimbangan bahwa kelas IX pada bulan April sudah mulai melaksanakan ujian. Oleh karena itu, kelas IX diupayakan untuk dapat optimal menyerap pelajaran dengan tatap muka di awal siklus.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)


Bagi kelas VIII dalam 10 hari siklus pertama diisi dengan pembelajaran jarak jauh. Seperti pada pembelajaran di kala pandemi. Guru melaksanakan pembelajaran melalui daring. Materi power point, video, dan lembar kerja peserta didik dishare melalui media whatssapp grup dan google classroom. Untuk materi pelajaran yang membutuhkan pemahaman seperti matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Guru memanfaatkan fasilitas zoom meeting di studio mini, yang kini hampir merata dimiliki oleh setiap sekolah.


Kelas VII dalam 10 siklus pertama melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan metode holistik integrative. Langkah pertama dari penerapan kegiatan belajar mengajar jenis ini adalah pemetaan peserta didik menurut alamat tempat tinggal. Sehingga diperoleh beberapa desa sebagai titik temu peserta didik dan guru pembimbing (gubing). 

Pendataan ini dalam prakteknya di lapangan membutuhkan kejelian yang maksimal. Karena, terkadang ditemukan peserta didik dengan alamat ganda. Karena, memiliki dua alamat tempat tinggal. Peserta didik tidak termasuk ke dalam data kelompok belajar (kober) karena lambat memberikan konfirmasi terkait alamat tinggal saat ini. Sehingga data alamat yang dipakai acuan adalah data alamat dari dapodik.


Bukan hanya peserta didik yang dikelompokkan menjadi beberapa kelompok belajar berdasarkan alamat tempat tinggalnya. Guru pembimbing (gubing) pun dikelompokkan sesuai dengan alamat tempat tinggalnya. Langkah kedua, guru pembimbing mendatangi kantor desa atau kelurahan untuk menyerahkan surat tugas, permohonan ijin mengadakan kegiatan belajar mengajar di wilayah tersebut, dan memohon bantuan agar pihak desa atau kelurahan menyediakan tempat untuk digunakan dalam proses pembelajaran.


Holistik Integrative


Dalam pelaksanaannya di lapangan, kegiatan belajar mengajar holistic integrative ini memiliki kendalanya tersendiri.
Diantaranya, pertama, menyebabkan terjadinya kerumunan. Karena tempat untuk melaksanakan KBM ini berlokasi di desa. Kita semua tahu, jika kegiatan harian desa itu lumayan padat. Mulai dari pembagian bantuan sosial, program vaksinasi covid-19, dan kegiatan rutin lainnya seperti pembuatan KTP dan proses sertifikasi tanah.


Oleh karena itu, hadirnya peserta didik di kantor desa, rawan menyebabkan kerumunan. Dikhawatirkan penularan varian omicron pun akan lebih mudah. Karena kita tidak tahu, siapa saja, dari mana saja masyarakat yang berdatangan ke desa tersebut. Apalagi jika tempat yang disediakan oleh desa, umpamanya aula kapasitasnya tidak mencukupi dibandingkan dengan jumlah peserta didik yang ada dan terdaftar pada kelompok belajar tersebut.

 Maka, protokol kesehatan dalam hal jaga jarak tidak mungkin dapat dilaksanakan. Ya, terpaksa peserta didik harus berjejal, duduk berdekatan. Padahal, tujuan dasar dari KBM holistic integrative ini dipilih adalah untuk menekan mobilitas sosial. Tentu saja, harapan utamanya adalah menghindari penularan covid-19.


Kedua, keamanan dan keselamatan peserta didik menjadi salah satu sumber kekhawatiran orang tua dan guru. Sebenarnya waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar mengajar holistic integrative ini singkat saja. Antara satu hingga dua jam. Peserta didik mendapat pengarahan tentang proyek yang akan dikerjakan. Setelah itu mereka dapat mengerjakan proyek tersebut dari rumah. Nanti, hasilnya dibagikan di media social dan dikumpulkan juga kepada guru pembimbing.


Kendala yang muncul adalah pada saat KBM di kelompok belajar tersebut selesai. Guru harus memastikan semua peserta didik pulang ke rumah masing-masing dalam keadaan selamat. Karena, terkadang peserta didik tidak dapat dikontrol begitu saja dengan kata-kata, "Setelah beres kegiatan ini, kamu pulang ke rumah masing-masing, ya. Jangan keluyuran." 

Ada saja diantara mereka yang tidak mengindahkan himbauan tersebut. Sehingga tiba-tiba saja orang tua menelepon ibu dan bapak guru pembimbing bertanya perihal keberadaan anak-anaknya. Padahal, kegiatan belajar mengajar sudah selesai beberapa jam yang lalu. Nah lho.


Hal yang paling riskan dan berbahaya adalah bila ada peserta didik dengan tanpa sepengetahuan guru pembimbing menggunakan kendaraan bermotor menuju lokasi. Dikhawatirkan ketika kegiatan belajar mengajar usai, mereka menggunakan kendaraannya untuk balapan liar, mengendara ugal-ugalan, sehingga menyebabkan kecelakaan. Kalau sudah terjadi hal seperti itu, siapa yang harus bertanggung jawab?


Faktor penyebab masyarakat 'takut' sekolah tatap muka


Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat khususnya orang tua dan guru dihinggapi rasa takut, saat ada wacana pemberlakuan tatap muka bagi peserta didik. Berikut adalah beberapa diantaranya :


Pertama, dampak traumatis dari pandemi. Orang tua merasa belum sepenuh hati melepas buah hatinya kembali ke sekolah seperti biasa melalui tatap muka. Apalagi, saat ini munculnya varian omicron menjadi head line dan diwartakan media secara gencar. Ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh pandemi, seperti kehilangan pekerjaan, orang-orang terdekat yang wafat karena covid-19, dan pengalaman buruk ketika keluarga terkena covid meninggalkan dampak traumatis yang sangat dalam pada masyarakat. 

Oleh karena itu, wacana sekolah tatap muka 100 persen sampai saat ini, masih menuai pro dan kontra. Orang tua yang tidak mengijinkan buah hatinya sekolah tatap muka memiliki alasan yang kuat, yakni "Jika anak saya sakit karena tertular virus varian covid-19 saat tatap muka di sekolah, siapa yang akan bertanggung jawab. Kerepotan akan kembali pada orang tua dan keluarga di rumah. Bukan sekolah atau pemerintah."


Kedua, mulai merasa nyaman dengan sistem belajar di masa pandemi. Diakui atau tidak, masa pandemi menyajikan beberapa kemudahan dalam beberapa hal yang dahulu dianggap susah, memakan waktu, dan mengeluarkan tenaga. Umpamanya dalam hal sistem dan metode pembelajaran. Ketika dahulu sebelum pandemi, pagi-pagi setiap ibu direpotkan dengan rutinitas bejibun dan menguras emosi. Yakni membangunkan anak untuk mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah. Karena tepat pukul tujuh pagi, anak harus sudah berada di sekolah dan siap memulai proses belajar mengajar.


Sekarang, drama semacam itu, lambat tapi pasti mulai hilang. Berganti dengan kebiasaan bangun siang, mengerjakan tugas sambil tiduran, dan begadang. Berbagai pemakluman diberlakukan dalam sistem belajar masa pandemi. Karena, hasil dari proses pembelajaran diharapkan tidak mengejar target kurikulum. Ketika di sekolah, peserta didik harus mengumpulkan tugas tepat waktu sesaat setelah bel tanda akhir pelajaran berbunyi. 

Maka, saat pandemi, hal seperti itu dimaklumi. Peserta didik boleh mengirimkan tugasnya kapan saja. Bahkan saking berfrinsip kepada pembelajaran daring, yakni tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Ada beberapa peserta didik mengirimkan tugas melalui whatssapp pada pukul 2.00 dini hari. Oleh karena bermacam kenyamanan yang mulai terasa asyik, mudah dan murah tersebut. Masyarakat mulai merasa takut kehilangan kenyamanan itu, bila sekolah mulai tatap muka.


Ada rasa rindu


Meski begitu dorongan untuk dapat bersekolah dengan tatap muka juga muncul dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, politisi, orang tua, dan peserta didik. Mereka menebar harap yang begitu besar. Kondisi pendidikan kita akan pulih seperti sedia kala. Dimana, etika dan norma sopan santun pada peserta didik terjaga dan terbiasa. Berikut adalah beberapa faktor pemicu kerinduan tersebut.


Pertama, Rindu pembiasaan baik yang dilakukan bersama-sama. saat pembelajaran jarak jauh, memang beberapa hal yang termasuk pembiasaan baik seperti mengucapkan senyum, sapa dan mengucapkan salam tidak dapat dilaksanakan. Mengingat kondisi dimana kita tidak dapat bersua. Pembiasaan sholat dluha, sambung ayat, literasi Al-Qur'an, literasi membaca buku juga dihilangkan. Betapa syahdunya lantunan ayat suci terdengar dari mikrofon sekolah, saat peserta didik bergiliran membaca Al-Qur'an. Nah, kerinduan itulah yang memicu masyarakat ingin agar sekolah segera tatap muka.


Kedua, Rindu pada rutinitas sekolah. Hal ini mayoritas dirasakan oleh guru dan peserta didik. Sekolah tatap muka memang menawarkan hal-hal yang beraroma nostalgia. Kegiatan apa pun yang dilaksanakan di sekolah, secara bersama-sama. Baik itu saat formal di kala belajar di kelas, mengerjakan tugas, mencatat pelajaran. Maupun hal yang tidak formal seperti berjejalan saat naik angkutan kota, bercanda dengan teman, dan menikmati jajanan hidangan kantin sekali pun. Akan menjadi kenangan yang tersimpan kuat dalam memori.


Akhirnya, apa pun kebijakan yang nanti akan kita pilih dan laksanakan. Semoga hal itu menjadi langkah terbaik yang menambah daya guna dan hasil guna, serta epektif untuk menjadi solusi bagi masalah pendidikan kita kini dan nanti. (*)

#PTM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun