Dalam seliter beras. Beberapa bulir ada yang bernas. Mungkin dari bibit terpilih dan berkualitas. Namun, ada juga yang ketinggalan kelas. Ceking kering seperti susah untuk sekedar menghirup nafas. Apapun adanya biji-biji itu aku tidak pernah malas. Setiap hari selalu bangun lekas-lekas. Berlomba dengan sinar mentari agar tidak keburu panas. Ku kais rongsokan, kardus, dan botol bekas. Aku akan sangat bersyukur bila dapat beberapa buku bekas. Dapatlah ku baca nanti malam sebelum penat ku lepas. Kan ku tulis hal-hal bermanfaat dari buku tersebut di atas kertas. Tidak semua tentu saja secara ringkas. Agar ada ilmu yang menyala dalam otak dengan jelas. Meski aku hanyalah pencari seliter beras. Tapi ilmu yang ku dapat akan ku amalkan dengan ikhlas.
Ada tawa dan canda dalam panci yang ku tanak. Di atas bara api dan tungku yang mulai retak-retak. Ku lihat bahagia tertawa terbahak-bahak. Saat nasi dari seliter beras itu penuhi mulut anak-anak. Mereka hadirkan gembira seperti awan yang berarak. Aku melihat itu dan menahan tangis hingga suaraku serak. Malang nasibku hanya kebagian nasi yang menjadi kerak. Tapi tak apalah masih ada hari esok aku bisa kembali buka lapak. Dengan modal kayu dan kapak. Kan ku halau beberapa burung merak. Agar mereka tidak mengganggu kerjaku dan tinggalkan berak. Hari ini aku berdoa dapat uang beberapa ribu perak. Agar mulut anakku dapat nikmati sesuatu yang lebih bermerk. Dari pada seliter beras yang sudah buluk dan beberapa biji lerak. Aku ingin hadiahkan beberapa makanan agar malam nanti hidup terasa semarak.
Hari ini do'aku belum berbuah manis. Bukan rupiah tidak pula seliter beras membuat air mataku berbau amis. Yang ku ingat hanya nasib perut anak-anakku tidak dapat makan terasa miris. Kadang aku merasa begitu fesimis. Namun, harap dan asaku menuntut agar hati terus bersikap optimis. Kepalaku terasa pusing dan terus berdenyut tadi pagi seseorang memukulku dengan teralis. Mereka menyangka aku adalah golongan kaum populis. Padahal aku hanyalah pemulung amat jauh dari kepentingan politis. Apakah karena pagi tadi aku terlihat terlalu narsis. Bersama beberapa relawan yang membagikan nasi bungkus aku dipaksa untuk selfish. Ya, aku mau saja untuk sebungkus nasi aku rela dipermalukan para borjuis. Karena aku tidak mau jika ku pulang dengan tangan hampa anak-anakku akan berdemo tangis.
Badanku sebenarnya sudah merasa payah. Terlalu banyak menanggung beban jiwaku terasa lelah. Jika bukan karena tawa anak-anakku sudah lama aku ingin menyerah. Mengais rejeki di ibu kota saat pandemi terasa begitu susah. Padahal, kata orang di masa sekarang bantuan sosial banyak dan berlimpah. Namun sayang aku tidak punya syarat yang diinginkan pemerintah. Bagaimana dapat memiliki KTP dan kartu keluarga, jika tinggal pun hanya di kolong jembatan bukan di rumah. Aku sudah sering bertanya mengapa nasibku begini, apakah karena Tuhan marah? Mungkin aku orang berdosa, munafik dan tidak taat beribadah. Sehingga aku diuji dengan kemiskinan dan mencari rejeki yang tidak mudah. Padahal yang ku butuhkan hanyalah seliter beras bukan makanan yang mewah.
Dalam seliter beras yang ku pinta pada Tuhan. Tersimpan tawa dan rasa suka yang terbalut kesederhanaan. Akan indahnya berdo'a, berjuang dan menaruh harapan. Anak-anakku diajari tuk selalu ucap syukur atas rejeki yang didapatkan. Bahkan bila pun hari itu tak ada yang dapat kami makan. Rasa syukur selalu ku panjat atas nafas yang masih dapat dihembuskan. Bukankah banyak orang kaya hari ini sudah tidak dapat bernafas dan mengerang kesakitan. Karena pandemi tak pandang bulu dianggap sebagai malaikat penjemput kematian. Hari ini aku bisikan shalawat pada seliter beras yang sedang ku bersihkan. Anak-anakku bekerja sama nyalakan tungku buat perapian. Kami berdiang di hangatnya lidah api yang menjilat kemenangan. Langit berarak penuh awan tawarkan sejuta kedamaian. Bahwa dalam seliter beras yang setiap hari ku usahakan. Ada tawa anak-anakku yang riang penuh kegembiraan.Â
Sumedang, 12 Januari 2022
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!