Gas elpiji non-subsidi naik
Terhitung, sejak Sabtu, 25 Desember 2021. PT Pertamina (persero) telah menaikkan harga gas elpiji non-subsidi. Kenaikan tersebut tidak sama di setiap daerah. Kenaikan berkisar antara Rp. 1.600 -- 2.600 per kilogram.
Yang dimaksud gas elpiji non-subsidi adalah gas elpiji dengan tabung berisi gas 5 kilogram, 7 kilogram, dan 12 kilogram. Sedangkan gas elpiji bersubsidi adalah gas elpiji 3 kilogram dengan tabung berwarna hijau. Kita biasa menyebutnya, gas melon.
Sejak ada sosialisasi tentang larangan bagi ASN memakai gas elpiji bersubsidi 3 kilogram. Saya langsung beralih ke gas elpiji non-subsidi yaitu blue gas ukuran 5 kilogram.
Selain karena ada larangan dari pemerintah, saya juga paham bahwa gas elpiji 3 kilo merupakan barang dengan kuota terbatas, dan diperuntukkan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Pihak warung yang menjual gas elpiji bersubsidi dibekali kartu sebagai tanda boleh atau tidaknya kita membeli gas berwarna hijau tersebut. Sehingga hanya pembeli yang mempunyai kartu yang diperbolehkan untuk membeli gas bersubsidi alias si melon tersebut.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong naiknya harga gas elpiji non-subsidi. Berikut saya rangkum dari berbagai sumber.
Pertama, harga gas elpiji non-subsidi belum pernah naik. Dari tahun 2017 harga beli LPG terus mengalami kenaikan. Namun, gas elpiji non-subsidi belum pernah naik. Padahal, beban Pertamina sangat berat. Karena, terdepresiasinya kurs mata uang rupiah oleh mata uang dollar juga sangat berpengaruh, menuntut penyesuaian dalam harga jual gas.
Kedua, meningkatnya harga CPA. Pada November 2021, harga Contract Price Aramco (CPA) elpiji melonjak naik. Dari  USD578 per metrik ton pada 2017. Saat itu, kursnya pun masih di angka Rp13.459 per USD. Menjadi menjadi USD847 per MT dengan kurs Rp14.553 per USD. Naiknya harga acuan elpiji ini, dipengaruhi juga oleh naiknya harga minyak dunia. Dua tahun terakhir ini, yakni antara tahun 2020-2021 mencatat rekor kenaikan dengan level tertinggi.
Ketiga, pengguna LPG non-subsidi hanya 7,5 persen. Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, "Dan seharusnya karena LPG ini merupakan non subsidi, maka seharusnya memang mengikuti harga pasar yang berlaku. Sama seperti BBM yang dijual oleh SPBU swasta yang menyesuaikan dengan naik turunnya harga minyak dunia, "Walaupun pengguna gas elpiji non-subsidi sedikit, berkisar sekitar 7,5 persen saja. Namun, karena harganya tetap dan lama belum ada penyesuaian. Maka, sangat berdampak kepada keuangan Pertamina. Sebab ada selisih yang terlalu besar antara harga jual dengan harga pasar.
Keempat, Harga elpiji non-subsidi di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Sejauh ini, harga Elpiji 12 kg dijual di bawah harga keekonomiannya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, harga Elpiji non-subsidi Indonesia (Rp4.944 per kg) relatif yang termurah. Harga Elpiji China, dan India berkisar antara Rp12.600 per kg hingga Rp20.000 per kg.