*
Nanti.Â
Rok dibawah paha dan baju bersaku warna abu yang kini dipakainya. Tidak lagi akan tersimpai di tubuhnya yang tinggi langsing. Kecantikan murni dari alam desa di bawah kaki gunung Tampomas itu. Selalu bersembunyi lekat-lekat dalam kusam berlumur minyak. Pesona lugu nan polosnya ditelan habis oleh aura  abu, sendu, dan murung.  Nur yakin dekik dan tahi lalat di pipinya, serta paras daun sirih kebanggaan emaknya itu akan licin, bening, dan terawat.Â
Yah, Pak Sugondo, eh Juragan Sugondo. Aduh! Kenapa Nur jadi kaku begini ya? Ah, Pak Sugondo saja. Biar terasa dekat. Sebulan sekali akan memberi jatah uang. Satu juta. Jumlah yang sangat besar, bagi Nur. Cukup untuk makan Emak dan Abah sekeluarga selama satu bulan.Â
Kata Pak Sugondo, "Uang itu jatahmu, Nur! Agar tetap muda dan cantik." Nur mengulum bibirnya. Tersenyum. Entah. Senyum bahagia atau mentertawakan nasib yang membawanya ke ufuk awang-awang. Tanpa ia sangka.
**
Usianya teramat belia. Tiga belas tahun. Tapi, kemiskinan orang tuanya membawa Nur pada kehidupan yang garang. Abah dan Emak hanya buruh tani yang mengandalkan makan dari tanah orang. Tanah mereka para tetua kaya, tanah para tetuan tanah.Â
Nur kecil tidak leluasa mengecap bangku sekolah. Kelas tiga SD, Nur dipaksa berhenti. Meninggalkan masa kanak-kanaknya yang riang. Nur harus melambaikan tangan pada Musa, cinta monyet-nya yang tiga tahun itu ramai disebutkan oleh teman-temannya, -Cici, Nita dan Mimi.
"Nur! Musa suka padamu tuh, katanya kamu cantik! Pipimu tembem membuatnya gemas."
"Iya, Nur! Terima saja! Bapaknya Musa kepala desa lho! Nanti Abah dan Emak-mu didaptarkan agar mendapat bantuan jatah raskin."
"Betul, Nur! Nanti juga Abahmu bisa menggarap tanahnya, biar tidak menjadi buruh tani lagi."
Suara-suara itu membuat Nur kecil terkekeh dalam pilu. Dia harus mengubur kenangannya pada Musa dalam-dalam. Cinta monyetnya. Tapi, entah mengapa Nur merasa kalau Musa akan menjadi lelaki di masa depannya.
***
"Nur! Buatkan kopi yang enak untuk Bapak! Seperti biasa ya, satu sendok kopi dua sendok gula. Harus pas! Tahu kan kopi kesukaan Bapak!" Suara Bu Sugondo mengejutkan lamunan Nur. Hampir saja pamidangan di tangannya terjatuh. Bisa berantakan sulaman bunga pada taplak meja itu.
"Iya, Bu! Mangga!" Ucap Nur pelan. Tubuhnya yang jangkung dengan rambut disanggul ke atas melenggang bak ratu kecantikan yang berjalan di catwalk. Lima menit kemudian paras ayu nan belia itu menghilang di kelokan yang memisahkan antara kamarnya, dapur bersih dan dapur kotor.
Ya, walau statusnya telah naik satu derajat. Kamar Nur di rumah besar itu. Tetap seperti dulu waktu ia pertama kali datang. Diantar Emak, Abah dan Dudung --adik semata wayangnya.
"Nur, ini kamarmu! Ada dipan kecil, cukup untuk dua orang. Ada lemari, tikar dan cermin, kerasan ya!" Kata Mbok Min --kepala pembantu di rumah besar itu.
"Iya, Bu! Hatur nuhun,..." Ucap Nur sambil membungkuk. Perawakan Mbok Min yang besar dan gagah dengan tulang-tulang di badannya yang tampak kokoh dan kuat, membuat Nur takut dan segan.
"Panggil saya, Mbok Min saja! Semua orang disini memanggil saya begitu!" Tawar Mbok Min. Halus tapi tegas.
"Iya, ... Mbok ... Min." Suara Nur terbata.
"Saya titip Si Nur ya, Mbok Min! Dia masih anak-anak, belum bisa bekerja dengan baik. Mohon diarahkan. Kalau ada kesalahan, jangan ragu ditegur saja." Emak memegang tangan Mbok Min erat. Suaranya parau. Ada air mata yang membayang di pipinya. Mbok Min merengkuh Emak ke dalam pelukannya.
"Euceu tenang saja! Nur sekarang menjadi tanggung jawab saya." Ucap Mbok Min menenangkan. Tangan kokohnya menepuk bahu Emak perlahan. Emak terlihat sesenggukan. Bahunya terguncang. Begitu juga Abah dan Dudung. Mereka terdiam. Menikmati perih yang menjalari hatinya.
"Maapkan Emak ya, Nur! Membuatmu harus bekerja di usia sekecil ini!" Emak merengkuh wajah Nur yang polos, menciuminya berkali-kali.
Nur terdiam. Dia tidak menangis. Itu drama perpisahan tragis yang masih ia kenang. Semenjak Nur bekerja jadi babu di rumah Pak Sugondo. Hampir tiga tahun. Belum sekali pun ia pulang. Juragan Sugondo tidak mengijinkan. Alasannya, entahlah Nur juga tidak paham.
Pembantu di rumah besar itu semuanya ada tiga belas orang. Ditambah satu kepala pembantu, jadi empat belas. Di kala lebaran, baik puasa atau haji, para pembantu itu tidak pernah terlihat pulang.Â
Bahkan, Nur merasa mereka itu tidak punya keluarga. Seperti Mbok Min, tiap hari bekerja. Selama tiga tahun bergaul bersamanya. Nur belum sekali pun mendengar Mbok Min bercakap tentang keluarga, entah itu suami, anak atau kerabat lainnya.
Aneh.
***
Kadang dikala malam bertandang ke kamarnya yang kecil dan sunyi. Nur suka merenung.
Ia merasa ada yang ganjil dengan keluarga besar ini. Juragan Sugondo dan Ibu Sugondo. Pasangan suami-istri kaya raya. Hartanya berlimpah. Mobil yang terparkir di garasi saja ada empat. Itu semua mobil pribadi, yang mewah dan elegan. Belum lagi truk, mobil box dan mobil-mobil yang lainnya. Entah.Â
 Nur kadang tidak mengerti. Kehidupan ini memang aneh. Ada orang miskin, anaknya banyak. Untuk makan saja susah. Harus mengais di tanah dan kebun orang seperti Abah. Tapi, orang kaya hartanya berlimpah. Bahkan hartanya itu tidak terhitung saking banyaknya. Tanpa anak pula. Untuk apa ya? Harta sebanyak itu?
Sejak Nur bekerja. Abah dan Emak tidak lagi menjadi buruh di tanah orang. Sedikit demi sedikit gaji Nur yang terkumpul dibelikan tanah. Nur tahu itu dari Mbok Min. Karena melalui Mbok Min lah Nur menitipkan gajinya untuk Abah dan Emak. Nur ingin agar Emak dan Abah tidak lagi bermandi keringat di kebun orang.
"Nur! Gajimu selama tiga tahun ini sudah dibelikan tanah. Abahmu menanaminya dengan padi dan talas. Lumayan sudah dua kali panen. Ini talasnya, Mbok bawa! Emakmu titip salam." Itu kabar dari Mbok Min kemarin.
"Adikmu Si Dudung, sekarang sudah SMP. Pintar, rangking terus." Ucap Mbok Min lagi. Suaranya terdengar sumringah.
"Mbok Min bertemu siapa saja di kampung?" Penasaran Nur bertanya. Ia ingin menghapus kebosananya terkungkung di rumah besar itu, dengan mendengar kabar dari luar.
"Banyak orang, Nur termasuk temanmu siapa namanya?" Mbok Min memegang jidatnya. Uban memutih satu-persatu menyembul di balik ciput hitamnya. Yah, Mbok Min sudah tua. Usianya pasti sudah melebihi Emak. Mungkin juga lebih tua dari Juragan Sugondo.
"Mimi!" Nur menjerit. Ia teringat teman sebangkunya yang jahil itu.
"Bukan, lelaki!" Mbok Min mengernyitkan dahinya.
"Siapa?" Nur ikut bertanya. Ia pun mengerutkan kening. Alisnya yang panjang bagai ikan jelr itu beradu.
"Entahlah, Mbok Min lupa, ... " Mbok Min menyerah.
"Yang jelas lelaki itu menanyakan kabarmu, dia juga titip salam." Ucap Mbok Min sambil berlalu. Badan gempalnya yang dibungkus seragam dan rok warna abu tua itu menghilang ditelan pintu dapur.Â
Nur menghela napas. Ada setitik rindu menyelinap di hatinya. "Ah, Musa, aku tahu itu pasti kamu!" Keluh Nur. Wajah Musa yang polos dan kekanakkan menari di benaknya.
"Apa kabar Musa, aku lupa tidak bertanya pada Mbok Min bagaimana perawakannya! Tampankah Musa sekarang?" Nur mengerjapkan matanya. Hatinya terasa mekar.Â
Nama lelaki itu tiba-tiba saja terukir dengan jelas di hatinya. Tidak lagi sebatas garis-garis atau sketsa. Wajah Musa sekarang tampak jelas. Rahang dan dagunya yang kuat cerminan lelaki sejati yang diidamkan Nur.
****
Bila malam menjelang. Rumah besar Juragan Sugondo tampak bagai raksasa besar yang siap memangsa. Tinggi menjulang, dibawah naungan pohon beringin yang lebat. Bambu kuning berbaris rapat memagari sekeliling rumah. Ada aura magis yang kental yang menghantui Nur tiap kali ia mencoba keluar dari kungkungan pagar itu.
Bukan sekali dua kali Nur mencoba lari. Jiwa muda Nur yang bergejolak, terkadang mengalahkan nalarnya. Nur ingin bebas menikmati masa remajanya yang indah. Ia capek hidup mengabdi. Ada kerinduan yang mengetuk-ngetuk hatinya. Apakah seorang pembantu itu tidak boleh memiliki kebebasan?Â
Selama tiga tahun ini. Nur hampir tidak sekali pun keluar dari rumah. Dari ketiga belas pembantu. Hanya Mbok Min-lah yang bebas keluar. Itu pun di waktu-waktu tertentu. Umpamanya di awal bulan untuk belanja bulanan. Tiap tanggal sepuluh membayar tagihan listrik, telepon dan transfer gaji pegawai atau mengirimkannya langsung seperti gaji Nur.
Selama itu Nur selalu titip pada Mbok Min. Entah itu membeli pakaian dalam, buku tulis dan pensil untuk membuat surat pada Emak. Terkadang juga Nur titip dibelikan kue pukis kesukaannya. Pukis yang masih hangat dengan topping pisang atau nangka.
*****
Hari itu tanggal sepuluh.
Nur menunggu di depan kamar Mbok Min. Dua pucuk surat dan satu amplop tebal sudah ia siapkan di sakunya.
"Titip buat laki-laki yang waktu itu bertanya tentang kabar aku, ya!" pinta Nur.
Mbok Min mengangguk. Tatapan maklum dan bijaksana terlintas di matanya. Teduh terasa oleh Nur.
Ya, Mbok Min juga pernah muda. Tahulah ia bagaimana rasanya dimabuk cinta.
Dan sejak tanggal sepuluh itu. Surat Nur dan Musa pun berhamburan. Di bawah kasur, di dalam peti, di kotak baju, bahkan diantara selipan pagar bambu kuning yang rapat. Cinta Nur menggelora.Â
Beberapa kali Nur dan Musa berjumpa di pasar. Memadu kasih diantara kepulan asap rokok para pengepul dan kuli angkut. Nur bahagia. Jiwa mudanya terasa bergejolak.Â
******
Hingga di suatu sore yang kelabu. Angin terasa nyinyir. Langit di sana tampak bermuram. Mbok Mien datang ke kamar.
"Nur! Juragan memanggilmu!"
Bagai kerbau dicocok hidung, Nur mengekor di belakang Mbok Mien. Di ruang keluarga yang megah, tampak anggun dan temaram. Juragan Sugondo yang gagah dan kharismatik dengan setelan batik warna emas, dipadu pantalon hitam gaya Jawa. Duduk santai. Air mukanya lembut. Nur terpana. Tiga tahun ia berada di rumah itu. Baru kali ini, Nur bisa bersua dengan juragannya.
"Nur! Kamu kupanggil kesini karena suatu hal yang sangat penting! Ibuku yang sudah sepuh menginginkan cucu dariku. Namun, apa daya Juragan Istri tidak bisa memberiku anak. Sudah beberapa tahun ini Juragan Istri mengidap kelainan di rahimnya. Maukah Kamu menjadi bojoku?" Juragan Sugondo menatap mata Nur lekat-lekat. Seakan hendak mencari jawaban yang paling jujur dari lubuk hati Nur.
Nur terkesima. Tidak terbayang sedikit pun dalam otaknya. Jika Juragannya yang ganteng dan berwibawa, meskipun sudah berumur itu bermaksud hendak memperistrinya.
"Tapi, .... jur ... juragan ... say ... saya!" Ucap Nur terbata. Ia teringat Musa. Cinta Musa yang menggelegak menahannya untuk menerima begitu saja tawaran itu.
"Saya mengerti! Dua hari ini kamu boleh berpikir." Ucap Juragan Sugondo tegas. Nur dan Mbok Mien pun mundur. Nyonya Sugondo yang duduk di kursi sebelah suaminya tampak menyeringai. Ada kilat tidak bersahabat di matanya. Nur bergidik. Rasa takut mulai menyelimuti jiwanya.
"Mbok, Juragan Sugondo itu tampan ya?" Ucap Nur seperti pada dirinya sendiri.
"Iya, kamu menerima tawaran Juragan?" Mbok Mien terperanjat. Ada rasa bahagia terdengar di balik rasa terkejutnya.
"Aku bosan miskin, Mbok! Aku juga ingin agar anakku nanti derajatnya naik, tidak lagi seperti aku, hanya seorang pembantu." Nur menerawang. Angan-angannya melambung tinggi. Menembus jomantara yang bertatahkan beribu berlian. Terlihat di atas awan itu, Juragan sugondo yang gagah, Nur yang cantik dengan baju berkilaun dan seorang bocah tampan. Paras bocah itu tampak bersinar, putih, gemuk dan ningrat.
"Musa-mu?" Mbok Mien bertanya.
"Musa hanyalah cinta monyetku, Mbok! Tidak ada masa depan bila aku hidup bersamanya. Meskipun Bapaknya mantan kepala desa. Tetap saja sekarang mereka rakyat biasa. Sama-sama miskin seperti kita."
"Terserah kamu, Nur! Akan Mbok utarakan jawabanmu itu pada Juragan." Tukas Mbok Mien. Ia pun berlalu dari kamar Nur yang sempit dan pengap.
*******
"Nur, kopi buat Juragan mana? Kamu ini dasar pembantu! Otakmu di dengkul." Teriakan Nyonya Sugondo memecahkan lamunan Nur hingga berkeping-keping.Â
Gula dua sendok dan kopi satu sendok yang dipesan Juragan belum ia tuang. Pikiran Nur kacau. Juragan sugondo marah-marah. Sudah setahun nikah siri. Belum ada satu tanda pun yang menyatakan bahwa rahim Nur berisi janin.
Nyonya Sugondo mulai meragukan kesuburan Nur. Dia bilang sia-sia saja menikah dengan perawan gabug. Hati Nur sakit. Ia tidak terima dengan umpatan pedas seperti itu. Nur yakin dia subur. Mungkin, Juragan Sugondo-lah yang mandul atau sudah tidak tokcer lagi?
Secepat kilat, Nur teringat Musa. Ide liar dan jalang berkeriap di otaknya. Ya, Musa! Bukankah hingga detik ini Musa masih setia menunggunya. Surat-surat cinta diantara mereka masih bertebaran dimana-mana. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!