Mohon tunggu...
Lunyka Adelina Pertiwi
Lunyka Adelina Pertiwi Mohon Tunggu... -

I am devoted to global issues because they are always dynamic

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perang Sipil Suriah: Perang "Kekuatan & Identitas" di Timur Tengah

15 April 2014   14:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik di Suriah bisa dikatagorikan sebagai perang sipil terlama dalam sejarah abad 21. Dimulai dari bulan 15 Maret 2011 dan sudah lebih dari tiga tahun jka ditarik ke tahun ini. Banyak masyarakat Suriah harus terkena efek massive dari baku tembak dan serangan rudal yang dilontarkan bergantian oleh kelompok rezim berkuasa Bashar al-Assad dan kelompok oposisi-pemberontak. Sejauh ini menurut website syrianrefugees.eu ada 9 juta rakyat Suriah yang lari dari tanah mereka untuk menghindari perang.

Dunia internasional juga bukan tanpa usaha dalam mereduksi tensi tinggi terkait konflik ini. Contohnya, pada September 2013 Rusia berhasil membujuk pemerintah Suriah untuk memusnahkan semua senjata pemusnah masalnya (yang diduga digunakan untuk menyerang penduduk wilayah Ghouta Agustus 2013) dengan bantuan negara-negara Barat. Bahkan Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons ikut berkontribusi dalam mengawasi kegiatan ini sehingga organisasi ini dianugerahi Nobel Perdamaian Oktober 2013.

Selanjutnya, setidaknya sudah terlaksana dua kali putaran pertemuan damai (Syrian Peace Talks) di Geneva, Swiss yaitu pada Januari-Februari 2014 dan disponsori oleh PBB dengan Lakhdar Brahimi sebagai peace broker atau makelar perdamaian-nya. Sayang, kesemuanya berakhir deadlock. Penyebab utamanya diduga, adalah keenganan Bashar-al Assad untuk mundur dan keyakinan dari pihak oposisi bahwa rezim al-Assad tidak sepenuhnya jujur mengenai senjata pemusnah masal dan masih menyimpan persedian senjata jenis tersebut untuk menyerang pemberontak.

Situasi di Suriah juga semakin membuat frustasi negara-negara Barat karena rezim al-Assad seakan tidak menghormati “bantuan kemanusiaan” yang seharusnya bisa masuk ke Suriah tanpa halangan terutama ke daerah-daerah terpencil di mana masyarakatnya sulit mendapatkan makanan dan kebutuhan dasar. Tentu kita masih ingat bahwa ulama-ulama Islam di negara tersebut sampai “menghalalkan” konsumsi binatang-binatang seperti anjing, ular atau babi untuk mencegah kelaparan yang semakin parah.

Yang jelas, negara-negara Barat terutama Uni Eropa menjadi sangat konsen dengan hal ini karena mereka ingin meminimalisasi kemungkinan bertambahnya jumlah pengungsi Suriah yang masuk mencari suaka ke negara-negara Eropa. Apalagi kondisi ekonomi negara-negara Eropa tidaklah sanggup menanggung beban untuk bantuan dan jaminan sosial pengungsi terus-menerus sementara negara-negara Timur Tengah seperti Turki. Irak dan Lebanon juga sudah mulai kelebihan beban dalam menampung ribuan pengungsi Suriah.

Ironisnya, di sisi lain, terdapat beberapa kolompok yang justru menjadikan perang sipil Suriah sebagai ajang dalam pamer diri atau identitas, atau paling tidak, menganggapnya sebagai lahan untuk “perang kepentingan” satu sama lain.

Pertama, Bashar al-Saad memang seperti memilkisuatu psycho milleu (yangmelingkupipenafsiran pribadi dan emosi) dalam dirinya yang ingin membuktikan pada rakyat dan dunia bahwa dia memiliki ketegasan tangguh yang terselimut di balik penampilannya yang tenang, dalam mempertahankan Suriah untuk tetap berada di lingkaran sistem administrasi yang sudah dia atur. Siapapun kini dapat melihat bagaimana al-Assad dapat bertahan meskipun digoyang oleh  gerakan rakyat yang anti-pemerintah dan berhasil mengkontrol mayoritas anggota militer untuk patuh selama tiga tahun.

Determinasi Bashar al-Assad tersebut sepertinya dipengaruhi oleh kejadian 14 tahun yang lalu saat dia naik ke tahta tertinggi di Suriah pada tanggal 10 Juni 2000 mengantikan ayahnya Hafez al-Saad yang meninggal karena serangan jantung. Diumumkannya Bashar sebagai pemimpin Suriah mendapat kritikan pedas baik dari rakyat Suriah dan negara tetangga karena kedewasaan, pengalaman, kepercayaan diri dan killer instinct sebagai modal vital kepala negara sama sekali tidak tercermin dari sosoknya.  Saat sebuah organisasi non-profit, Middle East Forum bertanya “Kenapa Bashar?, kepada supir taksi, dia menjawab Mi fi ghayru (Karena tidak ada yang lain) dan mengaku meragukan karisma dan kualitas leadership sang Presiden muda. Bahkan, Uri Lubrani, mantan diplomat Israel saat itu pernah berujar “Bashar tidak punya kesempatan memimpin untuk jangka panjang, secara umum militer Suriah tidak akan mau dikuasai oleh seorang “anak kecil”.

Selain itu, Bashar al-Assad dikenal sebagai seorang pemimpin yang tidak ingin terjebak dalam desakan massa yang mengatas namakan demokrasi. Dia ternyata memiliki penafsiran sendiri di mana sangat tidak mungkin untuk menjalankan demokrasi secara terburu-buru. Dalam pidato di tahun 2000, dia berpendapat bahwa demokrasi adalah sebuah alat untuk membawa Suriah ke masa depan, dan banyak masyarakat Suriah dan dunia akan mengharapkannya  menjadi seorang reformer yang hebat untuk hal itu, akan tetapi transisi tidak dapat terjadi dalam satu malam, reformasi harus berjalan secara bertahap untuk mencegah chaos.

Terlebih lagi, Bashar al-Assad tumbuh di lingkungan Alawit. Aliran Alawit sendiri presentasenya hanya sekitar 16 persen dari total penduduk Suriah. Sebelum trah al-Assad berkuasa penuh, 50 tahun lalu aliran ini sulit mendapat pengakuan di dalam masyarakat Suriah yang didominasi Sunni yang juga sering berada di tampuk pemerintahan di banyak negara Arab. Kini Bashar al-sepertinya tahu benar adanya kesempatan untuk semakin membuka mata banyak warga Suriah dan regional Arab bahwa selain Sunni, penganut aliran minoritas seperti Alawit juga memiliki kecerdasan sehingga mampu memegang kursi penting di setiap elemen pemerintahan serta memimpin suatu negara secara berani dan tegas meskipun harus menempuh jalan yang bersenggolan dengan HAM.

Kedua, Hezebollah "menggunakan" perang sipil Suriah untuk menguatkan indentitas diri sebagai Shia, kelompok minoritas di jazirah Timur Tengah dengan membantu rezim Bashar al-Assad untuk memerangi pemberontak. Kelompok pemberontak Suriah memang mayoritas berasal dari Sunni, terutama Jabhat al Nusra. Itu pula mengapa banyak sekali negara seperti Saudi Arabia dan Qatar yang mayoritas dan dipimpin oleh kelompok Sunni membantu kelompok pemberontak secara finansial dan senjata.

Hezebollah juga paham dengan menjaga kepemimpinan al Assad berarti mempertahankan satu negara yang paling tidak disukai Israel. Jika al-Assad sampai lengser, maka kemungkinan besar Suriah akan dipimpin oleh kelompok Sunni yang sering dianggap lunak terhadap Israel.

Selain itu, banyak kelompok pemberontak di Suriah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Dan jadi alasan kuat berikutnya bagi keterlibatan Hezebollah di Suriah. Meskipun sama sama dicap sebagai kelompok teror oleh negara negara Barat, hubungan  Hezebollah dengan Al Qaeda tidaklah akur. Al Qaeda mempresentasikan paham Sunni dan Wahabbi yang kabarnya juga didanai oleh pemerintah Qatar. Sementara Hezebollah terang-terangan Anti-Wahabi.

Ketiga, Iran adalah negara penentang Israel yang tentu memiliki tujuan hampir serupa Hezebollah dimana Iran juga bukanlah negara Sunni melainkan Shia. Membantu mempertahankan rezim Bashar al Assad berarti menguatkan ikatan kelompok minoritas di Timur Tengah. Namun Iran bisa saja menggunakan momen perang sipil Suriah secara elegan untuk memainkan diplomasinya di hadapan negara negara Barat. Seperti yang banyak diberitakan bahwa hubungan Iran-Barat mulai mencair terkait program nuklir Iran setelah mampu bernegosiasi secara lebih 'substansif dan berguna' di Geneva, Swiss Maret lalu (babak berikutnya perundingan nuklir Iran dimulai bulan ini). Dan kemungkinan atmosfer baru ini akan mendorong Barat untuk meminta bantuan Iran sebagai sekutu al Assad untuk berkontribusi menyelesaikan konflik di Suriah. Di sini lah kesempatan Iran untuk menaikkan posisi tawar mereka di hadapan negara Barat, terutama berkaitan dengan peran Iran bagi kelompok Barat dan upaya penghentian embargo ekonomi internasional terhadap Iran.

Kesimpulannya, selama masih terdapat  faksi faksi dan kepentingan tertentu dinegara negara Timur Tengah akan sulit melihat perdamaian di Suriah dalam waktu dekat dimana di saat bersamaan organisasi OKI atau Liga Arab tidak berdaya dalam membangun perdamaian Timur Tengah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun