Mesir dijadwalkan mengadakan pemilu Presiden pada tanggal 26-27 Mei 2014. Diperkirakan, pemilu kali ini tidak akan berlangsung sengit karena hanya ada dua orang kandidat Presiden yaitu, Abdul Fatah al-Sisi dan Hamdeen Sabahi. Dan kondisi ini sendiri sudah dipastikan oleh Komisi Pemilihan Umum Mesir di Kairo. Abdul Fatah al-Sisi sendiri diprediksi akan menang mudah dari pesaingnya yang merupakan politisi sayap kiri sebab mayoritas rakyat Mesir dipastikan akan mendukung dan memilihnya. Profil mengenai al-Sisi menjadi menarik untuk dibahas dalam tulisan kali ini dan masalah apa saja yang otomatis berada dipundaknya jika dia benar-benar memimpin Mesir.
Lahir di Kairo pada 19 November 1954, Abdul Fatah al-Sisi langsung mengabdi pada infantrinya setelah lulus dari Akademi Militer Mesir di tahun 1977. Tidak puas belajar di Mesir, al-Sisi mengikuti latihan di UK Joint Services Command & Staff College pada tahun 1992 dan meraih gelar master dari US Army War Collage di Pennsylvania pada tahun 2006.
Al-Sisi memang minim pengalaman perang akan tetapi dia pernah menjabat sebagai atase pertahanan mewakili Mesir di Saudi Arabia saat rezim Mubarak berkuasa. Dia juga adalah komadan Zona Militer Mesir Utara yang berpusat di Alexanderia tahun 2008. Kelebihan al-Sisi sebenarnya ada di kemampuan intelejennya. Paska Mubarak mundur pada Revolusi Mesir tahun 2011, oleh mentornya Muhammed Husain Tantawi, al-Sisi direkrut sebagai anggota SCAF (Supreme Council of the Armed Forces) dengan jabatan kepala deputi Intelejen Militer. SCAF sendiri bertindak selaku pemerintah sementara Mesir dan bertanggung jawab menjamin stabilitas Mesir sebelum pemilu presiden.
Karir al-Sisi semakin cemerlang sewaktu Muhammad Mursi dari kelompok Muslim Brotherhood yang menjadi presiden atas hasil pemilu yang diselenggarakan 17 Juni 2012, mengutusnya menduduki posisi Menteri Pertahanan. Khusus jabatannya yang ini, ada beberapa alasan mengapa Mursi sampai “jatuh cinta” dengan sosok jenderal satu ini. Pertama, Al-Sisi dikenal sebagai sosok muslim religius yang gemar membaca buku-buku yang ditulis oleh para klerik dari Al-Azhar, sangat cocok dengan paham Muslim Brotherhood yang sangat Islami. Kedua, al-Sisi dikabarkan pernah meyakinkan anggota Muslim Brotherhood bahwa dia selalu menghargai perspektif dari organisasi Islam tersebut dan dia adalah anggota militer yang bisa Muslim Brotherhood selalu percayai.
Sayang, Mursi secara cepat terlihat bagaikan pemimpin ambisius yang mulai memberlakukan dekrit Presiden pada tanggal 22 November 2012 yang bertujuan memberikan kekuasaan sebesar-besarnya kepada Presiden. Dekrit ini seketika dipersepsikan oleh masyarakat Mesir sebagai alat untuk melenggangkan Mursi sebagai diktator baru sedangkan Muslim Brotherhood ditakutkan akan mengkontrol relung pemerintahan, parlemen dan kehidupan masyarakat dengan penerapan hukum Sharia padahal rakyat mesir yang kebanyakan berhaluan liberal-sekuler baru menghirup kebebasan paska rezim Mubarak.
Terkait kondisi itu peran al-Sisi mulai dipertanyakan apakah dia akan berada di garda terdepan bagi masyarakat atau bagi kelompok Muslim Brotherhood. Dan al-Sisi yang merupakan penggemar tokoh nasionalis, Gammal Abdul Nasser, akhirnya membuktikan bahwa “militer adalah pelindung kehendak masyarakat” saat protes anti-Mursi pada tahun 2013 menyerebak seantero Mesir untuk menentang dekrit Presiden Mursi. Kekhawatiran kelompok sekuler dan anti-Mursi hilang seketika saat al-Sisi berhasil “menumbangkan” Mursi Juli 2013 dari kursi kepresidenan dan mengambil alih sementara pemerintahan Mesir. Di bawah al-Sisi pulalah Muslim Brotherhood yang dulunya kokoh berubah menjadi pesakitan karena organisasi ini telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang dimana banyak anggotanya dijebloskan ke penjara dan diadili (termasuk Mursi) serta aset-aset Muslim Brotherhood juga dibekukan.
Kebijakan ini membuat masyarakat Mesir khususnya elemen liberal-sekular selalu mengelu-elukan dan berusaha “menggoda” al-Sisi untuk maju pada pemilihan presiden. Dan Maret 2014, al-Sisi resmi mundur dari jabatannya demi menjawab tantangan rakyat Mesir.
Dukungan bagi al-Sisi mencerminkan kerinduan masyarakat Mesir akan pemimpin berkarakter kuat tegas dan leadership tinggi demi keberlanjutan tujuan perjuangan Revolusi Mesir 2011.
Namun mewujudkan itu semua tidaklah mudah bagi siapapun yang memimpin Mesir dan jika al-Sisi berhasil menang di pemilu, setidaknya dia harus mengatasi kompleksitas masalah krusial berikut ini:
Yang jelas ekonomi Mesir terpuruk tajam paska revolusi dan jatuhnya Husni Mubarak. Bursa efek Mesir turun sekitar 60 persen dan investor asing menarik modalnya. Belum lagi pertumbuhan ekonomi Mesir dibawah 4 persen di saat inflasi justru menembus 11.4 persen dan harga pangan melonjak. Nilai tukar mata uang pound Mesir tertekan 12 persen. Makin banyak masyarakat Mesir yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara pengangguran menembus 13.4 persen dari total penduduk dan tiga perempatnya didominasi kelompok usia muda. Defisit juga semakin menghantui pemerintah hingga harus memotong subsidi bahan bakar. Di sisi lain, sektor pariwisata Mesir juga berada di zona merah karena jumlah wisatawan asing yang terus menurun.
Kondisi ekonomi seperti ini jelas harus diatasi dengan formulasi kebijakan ekonomi yang benar benar tepat sasaran dan strategi marketing jitu untuk menarik investor dan turis asing untuk kembali melirik Mesir. Tetapi sebagus apapun kebijakan, sektor ekonomi tidak akan berjalan mulus di relnya jika tidak dibarengi dengan stabilitas keamanan yang menyakinkan.
Pemerintahan baru Mesir nantinya harus bisa menyatukan masyarakat yang kini terbelah antara pro- Muslim Brotherhood dan liberal-sekuler. Meskipun organisasi ini telah dibekukan dan banyak anggotanya ditangkap, jumlah simpatisannya diperkirakan tidaklah lenyap begitu saja. Terlebih lagi penetapan hukuman mati pada ratusan anggota dan petinggi organisasi ini akan menjadi duri tajam bagi persatuan masyarakat Mesir.
Selain itu, pemerintahan baru Mesir diharapkan mampu menekan atau bahkan meniadakan banyak gerakan militan khususnya yang berbasis di daerah Sinai yang paska tergulingnya Morsi terus menyebarkan teror dan serangan.
Salah satu kelompok yang dianggap paling berbahaya adalah Ansar Bait al Maqdis. Kelompok ini mulai awal tengah tahun 2012 mengegerkan Mesir saat mengaku bertanggung jawab telah mengebom pipa gas yang mengarah dari Mesir Utara ke Israel dan Yordania. al Maqdis juga meluncurkan roket ke arah resort Eliat di Israel Selatan dan menyerang patroli Israel di perbatasan Israel- Mesir.
Seperti kebanyakan kelompok militan Sinai, al Maqdis terinspirasi dengan perjuangan al Qaeda yang ingin menegakan negara Islam dan memerangi Israel. Belum lagi mereka juga dilengkapi senjata, meriam dan peralatan anti ledak yang diselundupkan dari Libya. Meskipun pada awalnya Mursi berniat memerangi terorisme di Sinai, dekrit Presidennya dan kedekatannya dengan Hamas Palestina membawa harapan bagi al Maqdis dan kelompok militan lain di Sinai untuk berdirinya hukum Sharia di Mesir. Karena itu pulalah saat Morsi terdepak dari kursi presiden, al Maqdis mengubah target utama terornya ke militer yang dianggap telah "mengkudeta" Mursi.
Sosok al- Sisi bisa jadi mempunyai dua pilihan cara untuk mengatasi kelompok-kelompok militan Sinai tersebut yaitu melalui jalan damai dan dialog atau dengan cara offensive military dan memperketat jalur perbatasan dengan negara negara tetangga. Jikalau al- Sisi memilih cara kedua, diperlukan kekuatan intelejen dan militer yang mumpuni. Sayangnya "kudeta" militer terhadap Mursi membuat dunia Barat terutama Amerika mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mesir serta kecewa terhadap tindakan militer mengatasi demonstrasi pro-Mursi yang bergulir setelahnya. Bahkan Gedung Putih yang selama bertahun tahun menjadi penopang militer Mesir disebut sebut membekukan kerja sama militer dan pasokan bantuan alat alat militer ke negeri Pharon ini.
Al Sisi sebetulnya masih mempunyai alternatif yaitu Rusia dimana Vladimir Putin sudah pernah menyampaikan dukungan langsung kepada pencalonan al-Sisi pada pemilu Mesir saat kunjungannya ke Kairo pertengahan Februari 2014 dan mengindikasikan akan menggantikan peran AS sebagai sponsor sektor pertahanan Mesir. Kabarnya dalam pertemuan itu juga terdapat negosiasi militer sebesar 2 milyar dolar Amerika dan pembelian jet dan helikopter. Dan nilai dan kualitas kerja sama tersebut bisa saja terus meningkat di periode mendatang.
Akan tetapi merapatnya Mesir ke Rusia bukan berarti tanpa resiko. AS pastinya akan geram dan melakukan “manuver” tertentu hingga Mesir ditakutkan akan berubah menjadi arena battle of interest antara Rusia dan Barat layaknya yang kini terjadi di Ukraina.
Selain masalah dalam negeri, banyak pertanyaan mengenai komitmen politik luar negeri Mesir terhadap Palestina kedepannya. Mesir sedari dulu dikenal mendukung perjuangan rakyat Palestina (khususnya saat kepemimpinan Gamal Abdul Nasser) bahkan saat rezim Mubarak sekalipun, namun sejak militer berkuasa di Mesir rakyat Palestina mengalami perubahan cukup signifikan terutama di bidang ekonomi. Dengan alasan membatasi gerak militan, militer sudah menghancurkan beberapa terowongan (tunnel) bawah tanah antara Mesir-Palestina yang terbiasa digunakan “menyeludupkan” barang-barang dan komoditas sehari-hari dari Mesir, yang nantinya bisa dijual dengan harga murah di Palestina. Maka al-Sisi yang mempunyai dua karakteristik sekaligus, religius dan nasionalis, tentu didambakan untuk meneruskan semangat pendahulunya untuk tetap memperhatikan kepentingan dan masa depan masyarakat Palestina melalui kebijakan yang proposional.
Pada akhirnya, pemilu dan perkembangan di Mesir memang layak ditunggu tunggu oleh dunia internasional. Bagi Indonesia sendiri stabilitas jangka panjang Mesir tentu sangat menjadi perhatian utama mengingat Mesir adalah salah satu tujuan belajar favorit bagi banyak pemuda pemudi Indonesia dan masih diandalkan sebagai “super power” di wilayah Arab dan Timur Tengah untuk mempersatukan dunia Muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H