Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan HitamÂ
Penulis: Dian PurnomoÂ
Penerbit: Gramedia Pustaka UtamaÂ
Jumlah halaman: 324 halaman
Apa jadinya jika sebuah tradisi justru merampas kebebasan seseorang?Â
Lewat Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, Dian Purnomo menggambarkan sisi kelam dari adat kawin tangkap yang masih terjadi di Sumba. Novel ini tidak hanya menyentuh isu kesetaraan gender tetapi juga perjuangan perempuan untuk melawan tradisi yang menindas. Membaca novel ini membuat saya merasakan berbagai emosi marah, sedih, hingga terinspirasi oleh keberanian tokoh utamanya, Magi Diela.
Magi Diela, seorang sarjana pertanian, bercita-cita memakmurkan tanah kelahirannya di Sumba. Namun, mimpinya hancur ketika ia menjadi korban tradisi kawin tangkap. Diculik, dilecehkan, dan dipaksa menikah dengan Leba Ali, seorang pria yang jauh lebih tua, Magi harus melawan keluarganya sendiri, tradisi leluhur, dan tekanan lingkungan yang menganggapnya pembawa sial.
Magi berusaha melarikan diri dengan bantuan organisasi perempuan, tetapi keadaan memaksanya kembali ke Sumba demi keluarganya. Bahkan, ia harus menyerahkan diri untuk kedua kalinya kepada Leba Ali demi membiayai pengobatan ayahnya. Kisah Magi menunjukkan betapa tradisi yang tidak adil dapat menghancurkan hidup perempuan.
Hal yang paling membuat saya marah adalah bagaimana lingkungan Magi menyalahkannya sebagai korban. Dia digosipkan tidak bisa menikah lagi karena dianggap "tidak suci," sementara Leba Ali, pelaku utama, hidup bebas tanpa hukuman. Fenomena ini terasa begitu nyata dan menyadarkan kita bahwa korban sering kali tidak mendapatkan keadilan, bahkan di zaman sekarang.
Membaca novel ini membuat saya marah sekaligus sedih. Adegan Magi yang nyaris mengakhiri hidupnya dengan menggigit nadi terasa begitu mencekam dan menyakitkan. Namun, novel ini ditulis dengan tempo cepat yang membuat saya terus terpikat hingga akhir. Meski awalnya saya sempat mengira ceritanya akan bertele-tele, ternyata setiap bab memiliki daya tarik tersendiri.