"O,iya. Tadi sekilas seperti nya sempat membaca dawet Ireng juga!"
Tak lama Mas Jono melayani kami dengan mangkok dawet nya. Dawet yang dibandrol 7 ribu /mangkok ini tampilannya cantik, dengan cendol pendek agak bulat berwarna hitam. Sirupnya coklat pekat, dari gula aren asli, sehingga rasa dan aromanya unik dan khas.Â
Sebenarnya, ada dawet Purworejo sangat khas yang sekarang susah ditemui. Waktu saya masih kecil, ada penjual dawet pikul, namanya Lek Girun. Datangnya kalau pas panen padi saja, beli dawetnya dengan cara ngurup.Â
Ngurup adalah membeli tapi dengan menukar atau barter dawet dengan seikat kecil padi. Di samping cara membeli yang unik, dawet yang ditawarkan juga unik dan khas.Â
Dawet ini dijual tanpa es, sehingga rasanya tetap tidak berubah oleh tambahan air es. Dawetnya tanpa santan, tapi terdiri dari cendol putih dari tepung Garut,atau bisa juga tepung kanji.Â
Sirupnya dari nira yang baru saja disadap dari pohon aren atau pohon kelapa, kemudian dimasak sampai mendidih dan berwarna coklat, kemudian dicampur dengan cendol, dan ditambah air matang sesuai rasa manis yang diinginkan. Jadi dawetnya tidak diracik per mangkok, tapi sudah bisa langsung diciduk ke mangkok dan siap dinikmati. Biasanya dibawa dalam 2 kuali besar yang dipikul.
Sayangnya dawet seperti ini sudah sulit, bahkan tidak bisa ditemukan di masa sekarang. Padahal masih terbayang keunikan rasa dawet ini, yang dulu terkenal sebagai dawet Semagung, Lek Girun.
"Sudah, Mas!" Ayah mengagetkan aku yang sedang asyik bernostalgia dengan perdawetan.
Aku cepat-cepat menghabiskan dawet yang masih tersisa. Ternyata Mas Jono berasal dari Grantung, kecamatan Bayan. Lumayan jauh dari sini. Tapi tentunya menyenangkan karena dawetnya laris diminati pembeli.
Terima kasih.
Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada salah.