Keheningan ini membiusku,Â
suara alam yang perawan, polos tanpa prasangka,
menyambut dan merengkuhku dalam keheningan sempurna,
 membawaku tetirah membelakangi riuhnya keculasan di punggung semesta.
 (Isti Yogi dalam puisi "Tetirah")
Nongko Ijo!
Sekilas bayangan kita akan tertambat pada buah nangka berwarna hijau, atau pohon nangka yang hijau.
Tapi, tidak!Â
Nongko Ijo adalah salah satu tempat wisata yang berlokasi di lereng gunung Wilis. Tepatnya di Desa Kare, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun.
Memasuki gapura bertuliskan "wisata hutan pinus Nongko Ijo", jalan menurun cukup curam.Â
Kondisi jalan juga masih berbatu. Tapi tempat wisata ini bisa dijangkau dengan mobil. Hanya perlu berhati-hati karena turunannya cukup curam, dan kembalinya menanjak cukup tinggi.
Sampai di lokasi, ditandai banyak sepeda motor dan beberapa mobil yang diparkir.
Petugas jaga di lokasi wisata menunggu pengunjung dengan duduk di kursi menghadapi meja berisi mesin counter pengunjung.
Harga tiket masuk 5 ribu, dan retribusi parkir mobil 5 ribu.Â
"Lho, gerbang yang bertuliskan Nongko Ijo kok hilang?" Tanya ayah bingung mencari pintu masuk.
"Sudah dibuang, Pak. Rusak tertabrak tronton yang masuk proyek jalan," salah satu warga yang baru selesai melakukan kerja bakti menjawab.
"Oh, sayang ya. Tidak dibuat yang baru?"
"Tidak, Pak. Sekalian saja dibuat alami, biar terjaga keasliannya."
Ayah hanya manggut-manggut.
"Ini ada acara, apa Pak? Kelihatannya kok ramai?"
"Penghijauan, Pak. Menanam pohon aren dan Pucung di lokasi jalan baru!"
"Oh, begitu. Terima kasih Pak!" Kami turun dulu!" Kata Ayah.
"Monggo,Pak! Silakan!"
Warga sekitar menyambut dengan ramah santun.Â
Kami menuruni tangga yang basah sedikit berlumpur. Harus hati-hati, kalau tidak ingin terpeleset.
Sesekali berpapasan dengan warga yang baru selesai kerja bakti. Kami saling menyapa.
Ada juga yang mengajak bersalaman dan sedikit mengobrol. Ternyata ada yang mengenal orang yang sama, temannya Ayah.
Setelah ngobrol sejenak, Aku dan ayah melanjutkan perjalanan menjelajah hutan pinus Nongko Ijo.
Hutan milik  perhutani ini cukup luas. Suasananya lengang meski hari minggu. Mungkin karena kami datang masih cukup pagi.
Sambil berjalan kami mengamati, sudah banyak tikar yang digelar para penjual makanan dan minuman.
Beberapa keluarga sudah duduk santai menikmati sejuknya alam sambil memesan makanan.Â
Suasananya memang sangat nyaman. Embun pagi masih bertahta, sementara mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya.
Setelah puas menjelajah, kami duduk-duduk di tikar yang disediakan pedagang sambil memesan sate kelinci dan kopi gula aren.
Banyak lapak kuliner yang dibangun di pinggir-pinggir hutan pinus Nongko Ijo dengan menu beragam.
Saat berwisata ke sini, tak perlu membawa bekal. Cukup membawa bekal uang sudah cukup.
"Sekarang banyak pedagang kuliner ya, Bu. Mau pesan makanan apa saja ada!" Aku membuka percakapan dengan Bu Titin, yang menjual sate kelinci dan aneka kuliner lain.
"Iya, Bu. Alhamdulillah."
"Yang berjualan di sini siapa saja, Bu. Warga sekitar?"
"Iya, Bu. Warga. Siapa saja yang mau."
"Ini lapaknya sewa atau bagaimana,Bu?"
"Tidak, Bu. Gratis. Tapi lapaknya dibangun sendiri untuk yang mau berjualan."
Wisata hutan pinus Nongko Ijo ini sepertinya mengadopsi pariwisata berkelanjutan.
Pemilik tempat wisata, dari pihak perhutani menggandeng masyarakat sekitar untuk mengelola dan mengembangkan tempat wisata ini.
Para lelaki mengurusi retribusi parkir dan menarik tiket. Sementara Ibu-ibu dan sebagian yang lain mendirikan lapak-lapak kuliner untuk berjualan.
Menu nasi pecel, penyetan, sate kelinci, mie , nasi goreng. Semua ada tinggal pilih.
Sinergi yang bagus dan saling menguntungkan dalam hubungan simbiosis mutualisme.
Seperti dikutip dari www.britishcouncil.id :
"Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang mengundang semua pihak,terutama masyarakat sekitar untuk terlibat mengelola sumber daya tersedia, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan budaya lokal, ekosistem alam, keanekaragaman hayati, dan sistem lain yang mendukung"
"Bu, tadi kok ada penghijauan apa di sini sering longsor?" Tanyaku pada Ibu penjual sate kelinci.
"Itu penghijauan di jalan baru itu lho, Bu. Jalan tembus Kare ke Kepel, melanjutkan program TNI!"
"Oh, kalau dulu namanya ABRI Masuk Desa ya,Bu?
Pembangunan jalan yang menghubungkan Desa Kare dan Desa Kepel itu merupakan Program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Ke-117.
Jalan itu melalui jalur tempat wisata Nongko Ijo, Gligi, Watu Gedong, dan Rumah Coklat.
"Bu, di sini apa banyak tumbuh pohon aren? Tadi penghijauannya kok menanam Pucung sama aren?"
"Iya,Bu. Di sini orang-orang juga membuat sendiri gula arennya. Itu yang buat menemani kopi juga produksi sendiri!"
"Beli gula arennya saja boleh,Bu?"
"Boleh, tapi saya ambil dulu di rumah," jawab Bu Titin. Nanti biar anak saya yang antar. Biasanya juga banyak yang COD kalau pengin gula aren."
"Wah, ternyata gula arennya sudah ke mana-mana ya,Bu!"
"Iya, Pak!" Kalau butuh tinggal telepon. Nanti bisa COD, atau bisa diantar ke rumah kalau dekat.
Akhirnya kita pesan gula aren. Mencoba setengah saja, sebab di rumah aku juga masih punya gula kelapa. Tidak sama, tapi kalau kebanyakan gula, aku takut jadi terlalu manis. Hehehe...
Sebenarnya masih asyik bersantai di sini. Sekedar menikmati keindahan alam dan Tetirah. Healing. Suasananya hening dan damai. Sangat nyaman untuk sejenak melupakan hiruk pikuk dunia yang penuh kepalsuan. Eh....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H