Tapi kami belum sempat mencicipi kopinya. Sebab besok harus bangun pagi, takut kalau tidak bisa tidur. Hehehe...
Sementara Pak Sutanto sebagai pengelola kafe menceritakan kalau saat festival kopi di Yogyakarta mendapat skor 84,7. Itu skor yang tinggi.
Beliau berusaha mendirikan kafe untuk hilirisasi kopi lereng Bromo. Sedang para petani bertindak sebagai industri hulu pemasok kopi. Jadi ada sinergi antara petani dan pengusaha kafe.
Acara itu didukung juga oleh koperasi. Kerjasama terpadu semua elemen masyarakat untuk memajukan industri pariwisata dan memviralkan produk ciri khas daerah. Keren!
Ini menunjukkan adanya upaya menciptakan pariwisata berkelanjutan yang menguntungkan pengusaha dan penduduk sekitar.
Pengunjung pun ikut gembira dan diuntungkan, sebab harga yang ditawarkan standar. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu dalam merogoh kocek.
Dinginnya udara Tengger membuat kami senang berada di dekat perapian, karena bisa menghangatkan tubuh.
Tapi sayang, malam semakin larut, dan besok harus bangun pagi, karena Pak Mul, Bu Mul, Pak Kelik dan Mbak Tatik mau turun pagi-pagi sekali.
Aku dan ayah juga harus beristirahat karena Insya Allah besok akan ikut kegiatan Aksi Tanam Bareng yang dipromotori Pelindo.