"Itu berdua-duaan di kantin. Padahal ini jam pelajaran efektif!" Suara Bu Murni, sejawatku terdengar jengkelÂ
"Siapa,Bu?" Tanyaku tak bisa menyembunyikan pertanyaan yang muncul di benakku.
" Itu, anakku. Kelas XII IPA1. Nggak tahu matpelnya siapa, kok bisa-bisanya malah di kantin. Pacaran lagi!" Kali ini dia melirikku sinis. Bu Murni menyebut anakku, itu artinya kelas tempat beliau menjadi wali kelas.
Ya, Allah. Itu kelasku. Tadi kuberi tugas dan kutinggal sebentar. Ternyata ada yang bandel dan keluar kelas.Â
Kalau hal ini terjadi saat aku masih muda dahulu, pasti sudah kudatangi dan kujotos. Saat-saat  awal menjadi guru 35 tahun yang lalu, darah mudaku gampang mendidih menghadapi siswa yang terkesan kurang ajar dan melecehkan seperti itu, kesabaran ku langsung terbang.
Tapi ini sudah beda masa. Semua memanjakan siswa. Pendidikan berorientasi pada siswa. Pendidikan harus mengakomodasi keinginan siswa. Pendidikan harus berpihak pada siswa. Kalau itu kulakukan, bisa-bisa aku harus berurusan dengan yang berwajib.
 Banyak sejawatku yang menjadi korban di era pendidikan merdeka  sekarang ini.Â
Diketapel sampai hancur matanya oleh wali murid. Bahkan ada yang dibacok siswanya. Entah siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi kasus yang menimpa guru seperti itu. Resiko pekerjaan ???
Gegas aku ke kelas. Benar saja, ada satu bangku yang kosong. Ini pasti anak itu. Kusabarkan hati dan kuurai tanganku yang sudah terkepal.
Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus memberikan pelajaran yang tepat untuk siswaku yang satu ini.