Tak lama ada orang yang duduk di sebelahku, memegang karcis dan menghitung uang.Â
Siapa? Pak kondektur tentunya.Â
Lalu yang tadi? Aku mengumpat dalam hati. Ternyata penumpang liar, entah tukang ngamen atau pedagang asongan.Â
Untung tadi aku tidak terprovokasi untuk meladeni ucapannya dengan kata-kata kasar.Â
Saya tidak tahu, apa tujuannya seperti ingin mempermalukan saya.Â
Sok peduli, dengan menjadikan aku sebagai tumbal perlakuan sok mulianya pada penumpang lain, tapi mempermalukan saya di depan banyak orang.Â
Kejengkelan saya pada Pak kondektur berubah menjadi rasa terimakasih.Â
Mungkin beliau duduk di samping saya untuk melindungi kalau saya diincar oleh oknum penumpang liar tersebut.Â
Setelah saya perhatikan, ternyata masih banyak kursi kosong. Termasuk deretan di sebelah saya.Â
Dan penumpang yang berdiri itu, seorang bapak yang berdiri karena ingin berada di samping putranya yang nggak mau jika ayahnya duduk terpisah.Â
Kenapa cuma saya yang diancam? Mungkin oknum penumpang liar itu mempunyai niat jahat.Â