"Pak, itu siapa? "Â
"Batara Narada sama Janoko, " Jawab Bapak. "
Itu dialog ku sama bapak berpuluh tahun yang lalu. Di sebuah pertunjukan wayang yang diadakan oleh desa. Sebagai salah satu tokoh masyarakat, bapak selalu mendapat undangan setiap kali ada pertunjukan wayang.Â
Di desa, menanggap hiburan wayang adalah acara rutin setiap bulan Rajab ( rajaban). Tak heran pertunjukan wayang itu menjadi sangat akrab dalam kehidupan kami.Â
Sejujurnya, saat aku kecil, saat menonton pertunjukan wayang, bukan wayangnya yang ingin kami lihat, tapi lebih berburu jajanan. Kacang goreng, geblek, kupat tahu, bakso, rujak, aromanis, dan bermacam jajanan lainnya. Setiap kali ada pertunjukan wayang, pasti banyak pula penjual jajanan karena penontonnya membludak. Lahan basah untuk memasarkan dagangan.Â
Sedikit banyak, aku sangat akrab dengan wayang. Kalau cuma Pandawa Lima, aku paham karakternya. Dari Puntadewa(Yudistira), Werkudoro(Bima), Janoko(Arjuno), dan si kembar Nakula Sadewa anak Dewi Madrim. Punakawan Semar, Gareng, Petruk Bagong pun aku paham. Bahkan Batara Narada yang jalannya selalu mendongak, tapi langsung menunduk kalau ada uang tercecer. Hahaha... Itu sih hanya cerita carangan kreatifitas sang dalang.Â
Wayang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat. Masyarakat Jawa khususnya. Â Tak heran, saat ada fatwa wayang haram, banyak yang mati-matian membela dan terusik. Bahkan murka saat ada yang menyarankan seorang dalang untuk tobat nasuha dan membakar wayangnya.Â
Ketua MUI menganggap wayang mubah dan diperbolehkan sebagai media dakwah.
 Gus Miftah bertentangan dengan Ustadz Khalid Basalamah yang menganggap Islam harus dijadikan budaya, tapi Gus Miftah justru menganggap Budaya yang harus diislamkan.Â