"Dek, ada undangan manten," suamiku berkata sambil menyisir klimis rambutnya. Dengan baju batik terbaik dan bau parfum yang menyengat membuat penampilannya terlihat istimewa.
"Kok tidak bilang dari tadi," aku bergegas untuk berganti baju. Untung saja aku sudah mandi, tinggal ganti baju. Kupilih baju yang pantas untuk menghadiri undangan dengan kerudung yang senada.
"Kamu mau ke mana?" suamiku memandangku tajam.
"Katanya kita dapat undangan manten?" tanyaku tak mengerti.
"Tidak usah, aku mau berangkat sama Dek Reny. Aku sudah berjanji mau memboncengnya. Kamu di rumah saja, aku sudah ditunggu Dek Reny, sudah terlambat nih," suamiku mengulurkan tangannya untuk kucium.
"Assalamu'alaikum," katanya dan bergegas menstarter motornya.Â
"Wa'alaikumsalam," balasku mengambang.
Aku terpana. Sejenak aku bingung. Apa maksud semua ini? Bukankah aku istrinya?Kenapa aku malah disisihkan dan menggandeng perempuan lain? Mungkin bagi orang awam, atau orang di kantornya hal seperti itu biasa.Â
Tapi mas Rizal? Benarkah apa yang telah dilakukannya? Sedang kalau ada temannya laki-laki yang datang aku dilarang menemuinya. Kalau Mas Rizal tak ada di rumah tak boleh ada tamu yang masuk, tidak boleh diterima apalagi disuruh masuk rumah. Mas Rizal, suamiku yang bisa mengamuk kalau aku sampai naik ojek dan tukang ojeknya laki-laki. Mas Rizal juga berkali-kali memintaku untuk berniqab meski tak memaksa. Lalu kenapa dia sendiri bebas bergaul dengan perempuan yang bukan muhrimnya dan menboncengnya ke mana-mana? Logikaku sukar menerima.
Dek Reny adalah teman sekantor suamiku. Aku mengenalnya. Kami sama-sama sudah punya suami dan anak. Suamiku memang akrab dengannya. Karena Dek Reny mengurusi keuangan,suamiku sering meminjam uang dari perusahaan.Â
Aku tak sengaja menemukan kuitansi pembayaran angsuran hutang. Suamiku meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Seperti baju, sepatu dan hal-hal yang berkaitan dengan hobinya. Mengangsurnyapun dari uang bonus yang kadang lebih besar dari gaji pokok, tapi diterimakan beberapa bulan sekali, atau pendapatan selain gaji bulanan. Sedang gaji bulanannya semua diserahkan padaku. Mungkin dia tak tega mengganggu jatah bulananku yang dari 10% kini bisa utuh karena keinginan kerasku untuk bebas dari hutang. Padahal kalau Mas Rizal mau menabung uang bonusnya dan baru digunakan saat membutuhkan, dia tak perlu berhutang. Saat-saat yang berat harus kulalui, meski tak pernah ada yang tahu keadaanku sesungguhnya, bagaimana susahnya melepaskan diri dari jeratan hutang. Berhutang tak akan pernah berhenti. Berhutang atau kredit dari satu kebutuhan ke kebutuhan lain dan gali lobang tutup lobang.Betapa sulitnya melepaskan diri dari jeratan hutang, karena kalau memperturutkan nafsu konsumtif, jiwa berhutang tak kan pernah hilang. Tapi alhamdulillah, aku saat itu kekeuh tak membeli barang secara kredit kalau belum mampu membelinya. Hidup sangat sederhana sesuai kemampuan sampai sekian lama hutang-hutang itu lunas, dan gaji bulanan bisa kami terima secara utuh, sehingga suamikupun tak ragu-ragu bercerita pada kenalan dan saudara-saudaranya, bahwa selama jadi istrinya aku tak pernah hidup susah, sementara aku hanya tersenyum.