Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja di Kedung Malem (1)

25 November 2019   21:50 Diperbarui: 30 November 2019   17:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedung Malem adalah misteri kehidupan yang justru menemukan  keindahannya saat sang surya hampir tenggelam.

 Damar Sukmo termenung di pinggir sungai. November ini harusnya sudah mulai banyak hujan, tapi kenyataannya "banyu langit" itu masih enggan turun. Sumber air di kedung malem ini nyaris tak pernah kering, sungainya masih berair dan sejuk, meski di atas panas menyengat. Dihirupnya nafas dalam- dalam dan dihembusnya pelan. Baru sampai pinggir sungai nafasnya sudah tidak beraturan. Perjalanannya tadi cukup menguras tenaga. Meniti trap demi trap berundak  teratur menunjukkan kawasan ini telah mendapat campur tangan manusia, juga pipa-pipa pralon yang membentang dari sumber air dan dialirkan ke rumah-rumah penduduk.      

 "Citcitcit....tiew.tiew.tiew.....wukwukwuk..." entah suara burung atau satwa lain terdengar menghias kesunyian. Damar merasakan kesunyian, sekaligus kedamaian. Suasana yang tak pernah bisa dinikmatinya selama ini karena tempat tinggalnya di pusat kota. Damar merasa kecil, terpuruk sendiri di tengah kerimbunan belukar dan kumpulan pohon-pohon besar. Sejenak ada rasa ngeri jika harus bersua dengan binatang berbahaya atau berbisa. Nyaris diurungkan niatnya untuk mencapai air terjun kedung malem. Tapi tanpa sadar kakinya telah melangkah pelan menapaki bebatuan. Sesekali merasakan dinginnya air sungai yang jernih. Sungai ini mengalir membelah hutan yang terlihat jarang disambangi manusia.Letaknya di bawah seperti di kedalaman jurang. Sementara hamparan tanah yang ditumbuhi pohon dan belukar ada di atasnya, semoga cengkeraman akar-akar pepohon besar di atasnya bisa mencegah tanah longsor. Tetiba dirinya tersentak, ada pohon besar yang sebagian akarnya tercerabut dari atas tanah,tapi masih menggelantung di tepi sungai, tertahan sebagian pohon lain, juga sebagian akarnya yang masih menancap di tanah. Damar beringsut ke tepi sungai yang berlawanan tempat dengan tepi pohon itu menggantung. Langkahnya pelan dan hati-hati sambil memastikan apakah batu-batu itu posisinya kokoh dan tidak licin, sehingga kuat dan aman menyangga beban tubuhnya yang meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Pelan dipanjatnya batu besar yang teronggok di tengah sungai. Dihembuskan nafas lega ketika berhasil melewati batu itu. Tapi, byuuur...kakinya terpeleset dan tergores batu. Untung tangannya masih sempat meraih pohon tumbang yang ada di dekatnya. Tak urung kakinya terasa perih, sepertinya lecet dan berdarah. Tapi diabaikannya. Tekadnya sudah bulat untuk mencapai air terjun yang sepertinya membangkitkan rasa penasaran. Hutan ini memang terlihat masih alami.Banyak pepohon yang tumbang sepanjang sungai karena proses alam, bukan ditebang manusia. Tapi ada beberapa yang posisinya sengaja ditata untuk titian. Damar mencoba menggoyang pohon yang tertata seperti titian. Tapi pohon tumbang itu begitu kokoh dan berat. Bergeming dan tak bergeser sedikitpun. Damar  segera melangkah di atas batang pohon itu, perlahan dan semakin cepat ketika dirasa aman,lalu kembali meloncat di atas batu yang permukaannya datar.  Damar melanjutkan langkahnya. Gemuruh air sudah terdengar, tapi tempat yang ditujunya belum kelihatan. Kakinya mulai ngilu dan kerongkongannya terasa kering.Dipaksa kakinya melangkah meski terasa berat. Matanya mulai berkunang-kunang. Damar meletakkan pantatnya di atas batu besar yang sedikit berlumut. Ia ingin beristirahat sejenak. Matanya nanar mengamati sekitarnya. Bulu kuduknya meremang, menyadari dirinya berada di atas sungai yang asing, dengan kanan kiri pepohon yang cukup rapat, memberikan aura mencekam dan remang. Masih sekitar pukul sepuluh, tp selaksa menjelang senja. Sejalan dengan usianya yang menua. Damar Sukmo  menghela nafas berat. Rasanya  sudah puas dirinya mereguk kepuasan dunia. Hampir semua gemerlap dunia telah dinikmatinya.Ia sudah jenuh, bahkan muak. Ada ruang dalam jiwanya yang hampa. Kemaksiatan telah dirasa semua. Berlaku jadi orang alim juga dilakoninya. Berkali-kali ke tanah suci sudah dilakukannya,  tapi jiwanya tak juga suci. Segala kemaksiatan yang nikmat tetap direguknya, meski dirinya juga tetap rajin shalat,puasa wajib juga puasa sunah. Menjadi donatur berbagai acara dirinya juga tak pelit.Hartanya sangat banyak, tak terasa kalau hanya berkurang beberapa persen.Tapi genggamannya terhadap dunia begitu erat. Perusahaan-perusahaan yang dibangunnya maju pesat. Itu karena kepiawiannya melobi, tidak hanya dengan uang, tapi koleksi perempuan-perempuan cantik yang dengan mudah menundukkan pesaingnya dan memanjakan rekan-rekan bisnisnya. Semua hanya berkutat dengan uang, kemewahan, kenikmatan dan tak peduli berkubang dalam kemaksiatan. Ia ingin keluar dari lingkaran setan itu. Ingin melepaskan diri dari rayuan  gemerlap dunia. Ia ingin menyepi.  Berteman sunyi menikmati kedamaian.

"Arrgggghhhhhh...." Damar Sukmo berteriak lepas sekeras-kerasnya, menimbulkan gema yang membuat merinding. Membuatnya sadar ia hanya sendiri di tengah hutan perawan yang anggun dan mistis. 

Damar menangkubkan kedua tangannya, membasahi kerongkongannya, dan membasuh wajahnya. Air dingin segar seperti  memberi energi baru bagi raganya.

Ia berdiri dari duduknya dan melanjutkan langkahnya. Lebih tenang dan percaya diri. Pelan-pelan ia mulai mengakrabi perjalanannya, membuatnya lebih gesit dan lincah

 Suara gemuruh air terjun yang semakin jelas tertangkap inderanya , melecut semangatnya untuk mencapai tujuan. 

Damar Sukmo memandang takjub air terjun di hadapannya, tumpahan air yang tergenang setinggi pahanya menyalurkan hawa dingin yang nyaman. Diraupnya air yang begitu jernih, direguknya penuh nikmat, membuat dahaganya terusir dari tenggorokan. Damar membenamkan kepalanya dan dipuaskan dirinya berkecimpung dalam genangan air yang melimpah dengan sensasi yang lebih nyaman dari shower di kamar mandi pribadinya. Damar keluar dari air, dan membaringkan tubuhnya di atas batu besar yang terbentang, Rasa nyaman membuatnya terlelap, tanpa sadar ada sosok bayangan hitam yang mendekatinya. Sosok yang dari tadi memperhatikan polah tingkah Damar Sukmo......

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun