Denting itu mengalun lirih,
Semua gelap, hanya Lara yang terus merebak, perih.
Keping waktu terus berputar,
Sedang denting itu makin keras berbunyi,
Menggema hingga ujung luka,
Memekak telinga.
Tapi siapa peduli?
Hanya ia dan lara itu yang tersisa.
Kepada malam ia bercerita,
Tak perlu tanya mengapa,
Karna hanya itu yang tersisa.
Ah, ya...
Ia hampir terlupa, masih ada seonggok piano usang yang mencoba menghalau sunyinya.
Sambil meringis ia bercerita,
Tentang Lara, sepi dan perihnya.
Tentang rasa yang memberinya nestapa.
Tentang rasa yang membuat hening menghujamnya.
Lalu gelap, hanya kelam yang terus menyapa.
Salahkan saja ia,
Yang bodoh,
Yang memberi cinta pada sebuah dusta.
Ya, cinta..
Cinta yang membawa pergi pelitanya,
Sinar itu, kini hanya membias dalam imaji.
Membuatnya terpenjara dalam dewala.
Apa benar ini cinta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H