Mohon tunggu...
Istiqomah
Istiqomah Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

fokus setajam sorot lensa

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Persepsi Soal Menikah, Mapan Dulu atau Mental Dulu?

28 Juli 2024   05:55 Diperbarui: 28 Juli 2024   06:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/fathinimatakhir/ Pasangan menikah


Sejak kemarin sore saya menyempatkan membaca sebuah buku berjudul Psikologi Pernikahan. Beragam kronologi permasalahan rumah tangga dan beberapa pandangan tokoh-tokoh barat. Pun beberapa saat sebelum kelahiran putri pertama saya, juga sempat berbincang hangat dengan ibu mertua. Beliau bilang seharusnya di zaman masak pakai rice cooker dan mencuci pakai mesin kita tak takut banyak anak. Menariknya disaat yang sama saya juga membaca isu terkait dengan  free child. Ada dua preposisi yang bertabrakan tapi hidup di zaman yang berbeda. Selintas, zaman analog yang serba manual orang-orang menikah dan punya anak, bahkan orang tua banting tulang secara “ugal-ugalan” yang nota bene nya bahkan hanya seorang ayah saja yang bekerja. Ada sejumlah fakta yang lainnya yang ibu ayahnya bekerja, tapi segelintir saja. Hari ini semua elemen turut serta mengerahkan tenaga banting tulang demi anak. Banyak juga single mom tak mau kalah.

Pernikahan di Indonesia telah mengalami penurunan sejak 10 tahun terakhir terhitung dari tahun 2013-2023 tercatat pernikahan di  Indonesia terendah. Pada tahun 2018 dari 2,01 juta pasangan menjadi 1,96 juta di tahun 2019. Lanjut di tahun berikutnya jumlah pernikahan di tahun 2020 -2022 juga mengalami penurunan berturut turut di angka 1,7 jutaan dan juga belum menampakan angka yang berarti setahun setelahnya malah turun menjadi 1,58 juta pasangan pada tahun 2023. Melihat sudut pandang generasi hari ini yang juga melihat sisi lain pernikahan sepertinya mempengaruhi tren penurunan ini. Terutama trend sosial media yang menjadi pemicu fomo atau istilah yang dikenal sebagai Fear Of Missing Out memuncak untuk timbul perasaan cemas dan penyeselan setelah menikah. Beramai-ramai mengumpulkan cara pikir yang jika nantinya menikah adalah momok dengan mertua atau pasangan yang selingkuh, kesulitan ekonomi, judi online dan lain lain yang akhirnya si ibulah yang harus menafkahi segalanya. Semua resepsi pernikahan yang sudah kita siapkan saat cinta menggebu gebu berakhir dengan begitu saja. Model inilah yang di anggap zaman modern, akhirnya lebih memilih berpuas diri demi karir.

Di buku psikologi pernikahan akhirnya saya jumpai, bahwa menikah tidak lain peran yang sangat besar agama menjadi dasar. Mempersiapkannya juga perlu ilmu yang tak sebentar. Segalanya perlu seni yang luar biasa indahnya. Karena akhir pernikahan adalah surga yang didambakan. Seni untuk ikhlas, seni untuk berkorban, seni mengatur jiwa, seni mengatasi konflik dan seni beradaptasi dengan pasangan. Ikhlas yang kita jalani pada akhirnya bukanlah kesia siaan. Bayangkan seorang ibu bangun di awal fajar, menyiapkan kehidupan agar segalanya berjalan lancar bukanlah kesia siaan. Seorang ayah banting tulang menafkahi juga bukan kesia siaan, berpasangan bersinergi membangun kehidupan meski beda peran. Tidak ada yang lebih berperan dalam rumah tangga semuanya saling bahu membahu bekerja sama layaknya sahabat kompak menuju surga yang dirindukan.

Benar realistis saja hari ini siapa yang tidak butuh makan. Tapi kalau berumah tangga hanya soal makan monyet di hutan juga makan. Saya sangat senang jika berbual dengan ibu tak jarang juga berkelahi kecil dengannya, begitupun ayah dan semua saudara yang kita sayangi. Selamanya akan tetap bersemayam di hati meski jarak memisahkan, kita adalah keluarga. Riak-riak kecil dalam rumah bukan saja disebut kegaduhan tapi terkadang juga disebut kehangatan. Bagaimana ibu mencintai ayah ataupun sebaliknya potret itu terekam dalam mata sanubari anak anaknya. Esok kitapun akan meniru gaya ayah ibu kita. Bicara cinta sejati dan penggalan kalimat ikhlas di buku itu terkesan sederhana. “Cinta sejati sangat mungkin terjadi jika pasangan suami istri berusaha untuk mewujudkannya.” Saya suka kalimat kecil di buku ini, persepsi saling mencintai tak jauh jauh dari rasa tanggung jawab penuh kewibawan baik suami dan istri.

Perbedaan bukan dasar perpisahan, adapun di persimpangan jalan jika mendapati masalah maka tugas kita adalah mencari cara menuntaskannya. Sebagaimana kisah menarik Asiyah yang berpasangan Firaun yang kejam dan zhalim. Mereka tetaplah pasangan meski salah satunya mengaku Tuhan. Ajaibnya, ia mendapat istana indah di surga. Itu artinya berbuat baiklah karena menyembah Allah bukan karena yang lain. Asiyah tidak kecewa dengan Firaun, mungkin ini yang dinamakan Cinta bukanlah satu-satunya alasan untuk mewujudkan pernikahan. Kecewa marah dan sedih adalah sifat manusiawi, masih di buku yang saya baca bahwa setiap manusia tidak sempurna segala kekecawaan setelah menikah harus diterima dengan keikhlasan.

Meski konteks yang saya tulis adalah pernikahan, tapi bukan pernikahan sajalah yang memiliki beban mental. Dalam dunia pekerjaan juga ada beban mental yang harus dirasakan saat bekerja di dalam tekanan pun demikian dalam rumah tangga. Menghadapi makhluk seisi rumah bertahun-tahun lamanya. Namun, dibalik semua yang kita tapaki dalam berumah tangga adalah menuju sakinnah mawaaddah warohmah seutuhnya. Jika kita maknai hati akan seluas samudera menjadi orang yang ikhlas….

Ah lagi lagi ikhlas. Kita hanyalah manusia biasa kita makhluk sosial yang bergerak kenyataan bukan makhluk sosial media tanpa batasan jarak dan waktu semu. Walau memahami pasangan harus banyak belajarnya dan tekanan batin. Tapi seiiring waktu cinta tumbuh sepanjang hidup. Bukan menuntut untuk seidealnya tapi bisa sejalan sudah sangat berarti rasanya.

Akhirnya kita tahu, menyiapkan mental tak lepas dari peran agama yang kita emban. Siap atau tidaknya menghadapi rumah tangga adalah tergantung kualitas diri sendiri. Bukan orang lain yang menjadi pasangan kita. Tidak ada kuasa penuh bagi kita atas diri orang lain yang ada hanya menasihati dalam kebaikan menuju ke sakinnahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun