Kemasan sederhana, milik rakyat dan boleh dibeli sebanyak 10 kg dari pengecer ke konsumen adalah minyak kita. Yang digadang-gadang bisa menyelesaikan solusi harga minyak untuk rakyat saat ini. Beberapa waktu lalu muncul surat edaran yang berbunyi
"Penjualan Minyak Goreng Rakyat, mulai dari tingkat Produsen, Distributor, sampai dengan Pengecer harus mematuhi harga penjualan dalam negeri (domestic price obligation) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan," demikian isi surat edaran butir 5 huruf (a)
Surat edaran yang dikeluarkan pada 6 Februari 2023 ini menyebutkan bahwa penjualan minyak goreng rakyat harus mematuhi harga Domestic Price Obligation (DPO) dan harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp14.000 per liter dan minyak curah Rp15.500 per kilogram.
Namun, baru-baru ini muncul harga minyak kita yang dijual pasar tradisional Jakarta dengan harga 16.000 perliter . Harga ini melebihi Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkann yaitu 14. 000 perliter plus membeli dengan produk lain. Istilah lainnya adalah bundling.
Usut punya usut, system bundling ini untuk menekan angka kerugian distributor ke perusahaan penyedia minyak kita. Karena pemerintah masih memiliki utang, so pengusaha memutar otak agar mendapat untung dan bagaimana pemerintah menutupi tunggakan utang.
Gini deh, drama perminyakan ini jauh dari kata solusi. Mengapa? Karena memang solusi untuk rakyat mengenai harga pokok dari kemaren-kemaren memang begitu. Contohnya naiknya harga cabai, pemerintah mengusulkan untuk tanam sendiri, harga pokok naik rakyat diusulkan diet. Aduh gusti… apalagi harga minyak! Makan yang rebus-rebus saja. Nonsense!
Menurut pakar Kanti Rahmillah, M.Si kebijakan migor ini penuh dengan tambal sulam dan pencitraan. Pasalnya, “Dikatakan tambal sulam karena kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan mahal dan langkanya minyak di masyarakat. Jika distribusi masih bertumpu pada swasta, aliran barang tentu bermuara pada individu kaya saja dan kendali harga bisa dimainkan oleh swasta” begitu tuturnya dalam satu tulisan berjudul “Distribusi MinyaKita oleh Swasta, Siapa Teperdaya?”
Hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati hasilnya, yang kaya makin kaya yang miskin gigit jari menemukan cara hidup hemat memenuhi kebutuhan hari-hari. Dalam ruang lingkup materialistic kapitalistik saat ini, mekanisme ekonomi hanya membaca peluang pasar saja, Negara hanya pembuat aturan rakyat bertemu dengan pedagang. Indikasi ini akan berdampak dengan distribusi harta yang mengalir ke orang-orang kaya. Absennya peran negara dalam mengurusi hal ini akan berdampak pada kebutuhan pokok. Terbukti, belum ada solusi tuntas dalam perekonomian yang menyejahterakan.
Sementara kebutuhan itu dicampuri oleh pihak swasta yang mementingkan untung rugi. Maka, bisa dipastikan praktik-praktik yang tidak diiinginkan akan terjadi. Semisal korupsi, monopoli dan penimbunan barang. Fyi, dengan serangkaian permasalahan bangsa ini ada satu kekuatan yang bisa memberi solusi yang solutif. Solusi ini sudah bisa dipastikan baik dan dapat diperuntukkan oleh semua pihak.
Setelah melihat dengan kacamata kapitalis yang tak berdaya membangun ekonomi sejahtera. Maka pembandingnya ekonomi berskala universal. Ekonomi Islam yang berkekuatan utuh akan menjamin, pasalnya paradigma yg dibangun bukan saja untung rugi. Melainkan upaya yang sungguh-sungguh mementingkan semua kebutuhan umat. Islam mengatur agar Negara mengurusi rakyatnya dengan adil. Kalau sudah begini semua orang dimonitor oleh pihak yang tepat.
Tanpa memandang bulu, siapa yang melanggar aturan maka akan terkena pidana. Kemudian distribusi dilakukan oleh Negara tanpa dicampuri oleh pihak swasta. Ini diperlukan untuk mencegah kecurangan pasar. Swasta hadir hanya untuk membantu tanpa ikut andil seutuhnya. Kunci keberhasilan ada dipihak negara yang menciptakan kesejahteraan yang pasti dengan aturan buatan Illahi.