Mohon tunggu...
Isti Fathmala Yakhmadi
Isti Fathmala Yakhmadi Mohon Tunggu... -

Santri Pondok Pesantren As-Sunnah Cirebon | Pimpinan redaksi Mikrosop As-Sunnah | Sie. Kebersihan Asrama 2 | Hafizhah soon to be =)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bilangnya sih Education for All

24 September 2012   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Cita-cita kamu apa?”

“Aku pengen jadi dokter yang kerja di Rumah Sakit Jiwa.”

Yup, itu jawaban seorang temanku ketika ditanya tentang cita-citanya di masa kecil. Memang ketika itu cita-cita menjadi dokter, insinyur, presiden, professor sangat bergengsi di mata anak-anak usiaku. Tapi menjadi dokter jiwa? Itu bukanlah hal yang wajar diucapkan oleh anak seusia kami saat itu.

Sama halnya dengan cita-cita menjadi guru yang acap kali dianggap tidak bergengsi di mata orang tua dan anak-anak pada masaku. Wajar memang mengingat kondisi guru saat itu yang sangat memprihatinkan di mata setiap orang. Sangat berbeda dengan sekarang, semua orang berebut menjadi guru karena jaminan anggaran hidup yang lumayan. Waktu itu, memang sempat terbersit hasrat untuk menjadi seorang buruh kapur (guru,red), tapi karena gengsiku lebih tinggi daridapa niat baikku itu maka aku malah sesumbar:

"Aku kalau udah gede pengen jadi sayentis (scientist, red) ah..."
Terdengar begitu WOW di telinga anak-anak kampung, bahkan pada saat itu aku sendiri tidak tahu bahwa bahasa inggrisnya ilmuwan itu adalah scientist, bukan sayentis. Tapi aku cukup beruntung karena bahkan teman-temanku tidak tahu apa itu ilmuwan. Aku hanya menjawab, "sayentis itu lebih keren dari dokter tauk. Gajinya lebih gede," dan semakin takjublah anak-anak tetangga tak berdosa itu mendengar bualanku. Coba saja waktu itu ada Einstein, pasti dia begitu bernafsu untuk menikamku menggunakan gunting kuku.

Dan seperti yang sering terjadi pada kebanyakan anak kecil, akupun mulai bergonta-ganti cita-cita. Mulai berkeinginan jadi pemilik restoran padang hingga menjadi istri dari pangeran minyak. Termasuk di dalamnya  berkeinginan menjadi seorang penulis dan guru.
Tulisan ini kubuat berdasarkan pengalaman pribadiku mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun di sekolah formal dari mulai SD hingga sekarang. Jadi kalau memang ada diantara kalian yang merasa kalau tulisanku ini nggak sesuai dengan apa yang terjadi dengan kalian. Ya maaf, namanya juga pengalaman pribadi.
Well..
Aku merasa cukup beruntung karena pernah berada di dua lingkungan sekolah yang berbeda, swasta dan negeri. Yang kemudian membuatku memiliki pandangan tersendiri dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Satu hal yang sangat mencolok di dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah adanya diskriminasi. Disamping banyak hal lain diluar itu. Sangat ironis mengingat target EFA (Education for All) yang merupakan kesepakatan negara-negara di dunia adalah tahun 2015. Oke, aku akan mulai membahas satu per satu masalah pendidikan sesuai kacamataku.
#Orang miskin nggak boleh pinter

Aku heran kenapa biaya pendidikan terus meningkat setiap tahunnya. Belum lagi semua atribut pendidikan di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri (termasuk seragam dan buku pelajaran) terus berubah dari tahun ke tahun, sehingga murid-murid baru terpaksa membeli atribut baru daripada kena hukuman di sekolah. Menurutku ini adalah kekerasan psikologis bagi siswa yang kebetulan berasal dari golongan menengah ke bawah. Banyak dari golongan masyarakat kurang mampu menggunakan atribut pendidikan secara turun temurun. Sehingga hal yang serba ‘baru’ yang diterapkan sekolah sangat menyudutkan mereka. Padahal terkadang 1 buah buku pelajaran harganya bisa sama dengan pendapatan mereka sebulan #itistrue!

Belum lagi iuran-iuran dadakan yang sering terjadi di sekolah-sekolah termasuk sekolah negeri. Memang, untuk masyarakat kurang mampu biaya sekolah ditanggung oleh APBD dan APBN melalui BOS. Namun sebagian masih harus ditanggung oleh orang tua murid. Dan kasus yang juga banyak terjadi belakangan ini adalah ketidakmampuan orang tua murid dalam membayar setengah biaya tersebut sering membuat sekolah sengaja menahan ijazah maupun raport murid itu. Terlihat jelas diskriminasi bagi kaum miskin di sini.

#Ujian Nasional

Entah sudah berapa kasus bunuh diri di kalangan remaja terjadi akibat tidak lulus ujian nasional (lho? Memang sudah berapa banyak?), atau bahkan yang lulus dengan nilai yang begitu tinggi tapi tentu bukan karena usahanya sendiri. Mungkin aku termasuk orang yang tidak setuju dengan diadakannya UN di Indonesia ini. Karena sistem ini tidak sesuai dengan kebutuhan pragmatis di masa depan dan perbedaan masing-masing individu. Kenapa? Karena mana mungkin tiga tahun menjalani sekolah di SMP/SMA hanya dinilai dengan satu kali ujian akhir yang berisi pilihan jawaban yang telah ditentukan: a,b,c, atau d. Dan memiliki satu jawaban yang dianggap benar. Lalu bagaimana jika murid memiliki pandangan lain atau jawaban lain yang lebih masuk akal? Padahal segala hal itu relatif, termasuk ilmu berhitung.

A pernah bertanya pada Bapak Sumantri (guru matematika di As-sunnah), "Pak, matematika itu ilmu pasti ya? Jawabannya pasti begitu kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun