Mohon tunggu...
Isti Anindya
Isti Anindya Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lukisan Hati dari Anak-Anak Merapi

13 Februari 2014   19:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lukisan Hati dari Anak-Anak Merapi

satu pekan aku sudah tidak naik ke ‘atas’. Selain karena cuaca yang memburuk, infeksi saluran pernapasan akut yang aku derita sangat mengganggu. Minggu lalu aku terkapar tak berdaya di kos. Kepala sudah tak dapat diangkat dari pembaringan. Badanku lemas, sangat lemas. Untung saja salah satu adik angkatanku yang juga relawan mau membantu membawaku ke Gadjah Mada Medical Center.

Tekanan darah saat itu benar-benar rendah 50/60 dengan diagnosa ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)—seperti yang acap kali diberitakan di televisi, penyakit yang umumnya diderita penduduk kaki Gunung Merapi. Aku pikir ISPA itu penyakitnya tiba-tiba sesak napas, tapi bisa juga terakumulasi dan akhirnya menjadi akut. Karena diagnosa dan perintah dokter untuk istirahat total aku harus menahan kerinduan satu minggu dengan anak-anak di Rumah Pintar yang baru kamu dirikan seminggu lalu.

***

Ahad ceria

Hari pertama diresmikannya Rumah Pintar Sang Fajar di Dusun Baratan, Desa Candibinangun, Yogyakarta

Persiapan sudah kami ramu sedemikian rupa. Dari training singkat tentang bagaimana menangani anak secara psikologis sampai menyebarkan pengumuman ke seantero dusun agar anak-anak dapat berkumpul dalam peresmian Rumah Pintar. Beberapa anak dari dusun lain aku jemput sendiri. Ada Adit, Wanda, Haan, Dika, dan kawan-kawannya. Hari ini akan menjadi hari paling menyenangkan untuk mereka dan kami para relawan. Kawan-kawan relawanku telah berupaya sebaik mungkin dari beberapa hari kemarin. Bahkan semalam kami rela hujan-hujanan hanya untuk sekadar mengantar barang-barang yang dibutuhkan ke dusun ini. Walhasil malam itu hampir saja aku dan Erly kecelakaan karena jalanan licin dan berlubang. Alhamdulillah, Allah masih merestui niat kami untuk membangun sebagian kecil peradaban keilmuan di sana.

Kelelahan masih tampak jelas dari raut relawan-relawan pagi itu. Begitu juga aku. Tapi demi tawa mereka aku upayakan tetap selalu bersemangat dan tersenyum—saatnya bersandiwara lagi! Apalagi saat itu akulah koordinator yang hadir. Partnerku yang juga koordinator memohon izin datang ba’da Dzuhur. Mau tidak mau, sanggup tidak sanggup akulah yang harus bertanggung jawab pada acara ini sampai nanti siang.

Dalam kelelahan yang sangat aku kuat-kuatkan diri untuk bersandiwara di depan semua orang. Untuk tetap tertawa dan berbagi canda dengan anak-anak. Entah sampai kapan aku mampu menahannya. Rasanya sudah sangat sesak, apalagi sebagai yang bertanggung jawab seringkali kawan relawan lain membebaniku seorang diri. Memang seharusnya aku mampu memberikan komando dan memikirkan apa yang harus dilakukan. Tapi saat itu kondisi fisik dan psikisku kurang baik. Jika aku menyerah, hanya akan menyusahkan banyak orang.

Siang pun menjelang, kepalaku sudah berulah dan sandiwara ini harus segera aku sudahi. Dengan sisa tenaga aku berjalan ke teras rumah bagian samping. Di atas tikar yang sengaja diletakkan di sana aku tekuk kakiku dan kupeluk erat. Tiba-tiba aku menangis begitu saja. Aku pun bingung, mengapa aku menangis? Apakah hanya sekadar melepas rasa lelah dan ketidaksanggupanku? Apakah penyakit yang divoniskan 8 bulan lalu itu semakin mengganas? Apakah aku bisa bertahan lebih lama? Semuanya berkecamuk begitu saja, menghantam, dan merapuhkanku. Aku benar-benar sudah lelah dengan semua ini. Lelah menunjukkan kepada banyak orang betapa tegar dan kuatnya aku. Padahal dalam ketegaran itu ada ketidaksanggupan yang nyata, sangat nyata!

Menyadari hilangnya aku dalam rombongan, seorang relawan mendapatiku menangis. Betapa terkejutnya ia, namun aku memohon cukup dia saja yang melihatnya. Karena jika semua orang tahu, acara tidak akan berjalan baik. Dan aku tidak ingin menjadi pengacau di sini.

“Mbak, Mbak kenapa Mbak?” Mila mencoba menenangkanku dalam kebingungannya. Saat itu ada juga Mbak Pipit, kakak kandung Mila.

“Isti, jika ada sesuatu katakana saja! Jangan dipendam, mungkin ada sesuatu yang kamu perlukan?” tanya Mbak Pipit. Lirih aku memintanya mengambilkan obat di dalam tas dan segelas air. Aku benar-benar membutuhkan obat sakit kepala itu. Jika tidak bisa-bisa aku pingsan di sini.

Segera mereka mengambilkannya untukku. Setelah itu tangis pun mulai berhenti perlahan. Mila dan kakaknya masih berusaha menenangkan sambil mengelus-elus pundakku. Beberapa anak mulai bermunculan mengintip kami. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi. Lalu Erly meminta adik-adik masuk dan melanjutkan kegiatan, meskipun sebenarnya ia pun bertanya-tanya, “Apa yang terjadi dengan Mbak Isti?”

“Mbak, sebenarnya kamu sakit apa?” pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak.

“Ada sesuatu yang mungkin tidak akan Mbak beritahu secara detail sekarang. Ada penyakit yang sangat mengganggu Mbak untuk saat ini. Dan sekarang Mila, Mbak hanya merasa sangaaat lelah dengan semua ini. Mbak tidak bisa melakukannya sendiri. Maka dari itu Mbak sangat berharap dengan kalian semua. Jangan sampai ini hanya semangat Mbak saja, karena sebenarnya ini adalah semangat kita semua, Relawan Cerdas! Bukan begitu Mila?” jelasku dengan air mata yang mulai surut.

“Oh, Mbak Isti ndak bisa bekerja sendiri ya? Kami selalu bantu kok Mbak. Laah, pasti ini karena Mas Ramdhan izin ya? Jadi semua beban bertumpu di kamu Mbak, gitu kan Mbak? Woalaah, Mas Ramdhan iki piye toh!” celoteh Mila mulai membuatku lebih baik.

“Bukan gitu juga Dek, Mas Ramdhan dan aku itu kan memang bertugas sebagai Koordinator Relawan Cerdas. Ketika aku tidak bisa ya diganti beliau, begitu juga sebaliknya. Hanya sajaa…” Mila memotongku, “Hanya saja Mbak Isti pura-pura kuat toh? Seandainya Mbak bilang ke Mas Ramdhan kalau Mbak sakit, pasti beliau juga ndak bakal izin dan ada di sini menangani semuanya. Mbak Isti, kalau memang tidak kuat sampaikan saja. Atau serahkan kepada kami di sini. InsyaAllah kami akan bantu sebisanya. Mungkin Adit, Ihlas, Erly, dan yang lain bisa bantu. Mbak ndak sendirian kok!” mataku berkaca-kaca haru. Begitu luar biasa adik-adik ini!

Tiba-tiba beberapa anak mendatangiku, mereka adalah Adit dan Wanda. Dua anak yang berkesan saat kami dulu mengampu posko anak di Pogung Rejo. Mereka mendekatiku dan memberikan gambar yang mereka buat sendiri. Dalam gambar itu ada gunung, ada aku, dan ada kata-kata ‘Adit, Wanda dan teman-teman sayang Mbak Isti, Mbak cepat sembuh ya? Nanti biar bermain lagi bersama kami.’ Setelah membaca itu mereka mencium pipiku. Maka saat itu juga melelehlah air mata haru yang sudah tak terbendung. Ya Allah, rasa sakit yang ada seakan runtuh seketika. Ketulusan mereka sangat menyentuh batinku. Aku pandangi lukisan sederhana itu, ada makna luar biasa tersimpan di dalamnya. Makna yang membuatku bangkit dan semangat lagi! Mereka adalah obat terindah yang pernah menyembuhkanku. Terima kasih adik-adik kecilku!

***

ISPA yang aku derita mulai membaik. Hari ini aku akan naik ke atas sendirian, karena aku harus menyusul yang sudah berangkat lebih awal. Ceritanya ingin memberi kejutan. Kondisi badan sudah mulai fit. Dengan senyum bahagia aku tak sabar ingin segera sampai. Apa kabar mereka di sana sekarang? Masihkah semangat belajar selama aku tak ada? Atau jangan-jangan mereka lupa padaku karena anak-anak yang baru kenal denganku, pastilah belum merasa dekat seperti anak-anak yang ada di posko. Ahh—aku tidak peduli!

Langit Baratan saat itu mendung, tapi ada kehangatan dan keceriaan dari balik pintu Rumah Pintar. Tawa dan suara bahagia mereka membuatku tak sabar untuk segera menampakkan diri. Belum aku selesai melepas helm, anak-anak berhamburan keluar sambil berteriak, “Ibu Isti datang, Ibu Isti dataang!!” aku terperangah. Mereka semua datang menyalamiku bergantian. Padahal belum sempat aku turun dari motor. Hatiku tersentuh saat itu, mereka tidak melupakanku.

“Bu Isti, aku punya sesuatu!” seorang anak berbadan besar mendekatiku. Sedangkan yang lain sudah bersegera masuk ke dalam rumah.

“Apa itu Iqbal?” tanyaku lembut merangkul pundaknya.

“Ini bu! Lukisan ini aku gambar tadi malam setelah menyelesaikan membuat PR. Semoga ibu suka!” dia tersenyum dan menyerahkan secarik kertas.

Mataku tertembak petir haru. Iqbal memberiku selembar kertas dengan lukisan yang indah. Seperti Adit dan Wanda seminggu yang lalu, namun ini lebih luar biasa. Selain ada gunung, Iqbal menggambarku sangat ditail dan yang membuatku menitikkan air mata adalah ketika ada tulisan seperti ini, ‘Ibu Isti yang cantik dan baik, Iqbal berdoa semoga ibu cepat sembuh dan bisa bermain dan belajar bersama kita semua. Iqbal selalu rindu dan sayang Ibu Isti.’

Aku memeluk anak itu dan mengatakan kata yang sebenarnya tidak setimpal dengan apa yang telah dia berikan. “Terima kasih Iqbal, ini sangat bagus dan akan ibu simpan dengan baik. Sekali lagi terima kasih ya.”

***

Sekali lagi, Merapi mengajarkanku banyak hal. Tentang berbagi dan sebuah ketulusan. Ketika kita melakukan sesuatu karena cinta, maka ketulusan yang akan tercipta. Jika kita mencintai apa pun di muka bumi ini karena Allah, maka Allah akan melimpahkan cinta yang hakiki. Ketika kita memberi satu, maka kita akan mendapatkan lebih dari itu. Maka dalam hidup ini berpikirlah untuk selalu memberi dan berbagi, dan tak usah hitung berapa banyak yang akan kembali karena sampai kapan pun kita takkan sanggup menghitung nikmat Sang Illahi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun