Mohon tunggu...
Isti Anindya
Isti Anindya Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Catatan

TAK SEKADAR JALAN

13 Februari 2014   19:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak Sekadar Jalan

Part Satu

Y

ogyakarta sore itu melepaskan langkahku dan seakan memberi restu atas perjalanan ini. Sudah aku putuskan untuk berangkat ke Jakarta, memastikan apa yang didiagnosa 9 bulan lalu. Ibu memintaku karena beliau berharap diagnosa itu salah. Dan setelah ini aku akan mendapatkan jawaban bahwa sebenarnya aku tidak apa-apa. Ya, aku mengharapkan itu.

Sesungguhnya ini adalah perjalanan yang sangat berat. Ada satu harapan dan ada pula satu kekhawatiran. Jika memang salah diagnosa, jika tidak? Ya Allah, akankah aku bisa menghadapinya? Aku lelah untuk terus bersandiwara. Apakah aku harus selalu terlihat tegar? Apakah memang aku tidak boleh mengeluh atas semua ini?

Beberapa waktu sebelum kepergian ini aku mengalami tamparan yang sangat hebat dari seseorang yang sangat mengenalku. Mungkin ini adalah wujud cintanya padaku, karena dia begitu khawatir denganku. Namun, hal itu sungguh sangat mencabik-cabikku. Sekaligus menyadarkan apa yang telah aku lakukan selama ini.

***

Satu pekan sebelum keberangkatan

Aku mendapatkan ikon Yahoo Messenger berbunyi, ada seseorang yang ingin mengajakku bercakap malam itu. Seseorang itu adalah sepupu terbaikku, seorang kakak yang sangat mengenalku dari kecil. Aku pun segera menyambut percakapannya yang diawali dengan bertukar kabar. Secara mendadak aku tersentak, ketika tanpa basa-basi dia mengingatkanku tentang ‘keluhan’ yang banyak aku sampaikan di jejaring sosial ataupun media umum. Baginya itu bukanlah hal yang patut aku lakukan, harusnya aku lebih tegar dan cukup menyimpan rasa sakit itu sendiri.

“Apakah kamu sadar? Kalau selama ini kamu hanya bisa mengeluh dan mengeluh, masih banyak di luar sana yang lebih sakit dari kamu. Banyak di luar sana yang lebih ganas penyakitnya dari kamu. Apa yang kamu rasakan bukanlah apa-apa Dek! Kamu terlalu banyak mengeluh dengan kehidupan ini. Apa kamu sadar bahwa kamu telah menyusahkan orang tuamu? Ibu dan Bapakmu pontang-panting cari uang untuk pengobatanmu. Apakah kamu tidak kasihan dengan mereka yang sampai berhutang untuk pengobatanmu? Janganlah menyusahkan banyak orang Dek!”

Air mataku tak sanggup terbendung. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di pikiranku, Ibu dan Bapakmu pontang panting cari uang untuk pengobatanmu. Apakah kamu tidak kasihan dengan mereka yang sampai berhutang untuk pengobatanmu? Janganlah menyusahkan banyak orang dek! Ya Allah, selama ini aku telah menjadi benalu di keluargaku sendiri. Aku telah menyusahkan banyak orang dengan sakit ini. Memang seharusnya aku tahan saja sakit ini dari awal. Memang seharusnya tidak usah ada yang tahu tentang sakit ini. Memang seharusnya aku simpan semuanya untuk diriku sendiri. Aku terlalu egois memikirkan diriku sendiri. Ya Allah, aku benar-benar telah menyusahkan banyak orang.

Saat itu juga aku meraung tak terkendali. Aku memarahi diriku sendiri. Aku kalut dan tak tahu apa yang harus aku perbuat. Rasanya aku ingin menghentikan waktu dan mengganggap kalau aku baik-baik saja. Dan saat itu, rasanya runtuh semua ketegaran yang berusaha kujaga selama ini. Aku sadar bahwa sebenarnya aku adalah orang yang suka mengeluh. Seorang pengeluh yang hanya bisa menyusahkan orang lain!—ya itu sebutan yang pantas untukku.

Aku tenggelamkan wajah dalam-dalam agar cermin tak lagi tega menolak. Air mata terus menghantam pipiku tanpa mampu dikendalikan lagi. Dalam kehidupan ini pahit dan manis harus kita nikmati dengan rasa yang sama. Jangan sampai ada perbedaan di antara keduanya, karena apa pun yang terjadi di atas bumi ini harus kita nikmati. Bahagia, derita, sakit, sehat semuanya adalah rasa yang sama. Namun ada beberapa hal yang mungkin membuat rasa itu tak lagi sama. Salah satunya adalah hal yang sedang aku rasakan. Susunan kalimat yang paling takut untuk kudengar. Susunan kalimat yang mampu membunuhku, yang mampu merapuhkanku. Susunan kalimat itu baru saja kudapat dari seseorang yang sangat mengenalku, dan itu benar-benar menamparku dengan tamparan tersakit yang pernah kurasa.

‘Dengan kamu sakit, maka banyak orang yang susah karenanya. Kamu harusnya berpikir bagaimana orang itu bahagia di dekatmu, bukannya selalu menjadi beban.’

atau

‘Makanya jangan sakit-sakitan, selama ini kamulah yang paling menghabiskan uang orang tua. Gara-gara kamu sakit semua orang susah!’

Susunan kalimat itu akan menjadi lebih menyakitkan jika disampaikan oleh orang yang sangat kita sayangi. Seakan langit runtuh tepat di atas kepala saat kita tahu bahwa kita telah membuat susah orang yang kita cintai. Aku takut jika suatu saat aku mendengar kalimat itu lagi dari mulut orang yang aku cintai. Aku takut jika harus tahu bahwa sebenarnya aku adalah beban bagi mereka.

Entah mengapa aku merasa pilu ketika harus menerima kenyataan bahwa orang-orang yang aku sayangi hanya menganggapku sebagai beban mereka. Membuatku tak pantas untuk diingat dan dikenang. Atau bahkan sebenarnya mereka ingin membuangku? Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu ketika aku benar-benar merasa dibuang oleh kawan-kawan yang sangat aku cintai. Mungkin memang belum saatnya cinta itu berbalas dan saat itu memang sebaiknya aku pergi. Meskipun ada sebongkah harapan yang tersisa. Berharap jika suatu saat aku kembali mereka sudi untuk mengingat siapa diriku di masa lalu. Jika tidak, maka itulah kepedihan yang amat sangat. Kepedihan ketika ditinggalkan orang-orang yang dulu adalah penguatku.

***

“Anin, kapan jadinya berangkat ke Jakarta? Berapa kira-kira biaya untuk periksa di RSCM?” suara Ibu mengacaukan perasaanku. Air mata harus tetap pada tempat asalnya. Jangan sampai ada satu tetes pun yang tertumpah.

“Ibu, Anin ndak usah periksa aja ya? Alhamdulillah sekarang Anin sehat-sehat saja. Tidak ada yang perlu diperiksakan lagi. Semua baik-baik saja kok! Terus untuk obat-obatan ibu ndak usah kirim lagi. Semua sudah cukup dan Anin mau berhenti mengkonsumsinya karena memang sudah lebih baik. Uang yang biasanya keluar untuk pengobatan Anin mungkin bisa dialihkan kepada adik-adik yang masih sangat membutuhkan asupan dana. Begitu ya Bu?" aku atur sedemikian rupa nada bicaraku agar ibu tak membaca apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.

Ibu hanya terdiam dalam kebingungannya. Tapi itu lebih baik karena aku merasa lega. Kelegaan yang membuatku lebih tenang menghadapi hari-hari setelah ini. Setidaknya aku pernah melakukan ini seumur hidupku. Tidak masalah bagiku ketika harus mengorbankan diri ini untuk kebahagiaan banyak orang. Karena bagiku kebahagian mereka yang kusayangi lebih berarti dari kebahagiaanku saja. Mungkin memang benar selama ini aku terlalu egois, memikirkan apa yang aku rasakan saja. Tanpa melihat bahwa banyak yang dirugikan karena keberadaanku.

Mulai saat itu aku harus benar-benar menguatkan diri. Karena perjalanan ke depan tidaklah mudah. Banyak hal yang harus aku hadapi setelah ini. Hidup memang tak sekadar jalan, terkadang kita harus jatuh, tersungkur, bahkan tergeletak tak berdaya. Namun setelah itu kita harus kembali bangkit, duduk, bediri, bahkan harus segera berlari dan melompat. Hidup bukanlah untuk dijalani hanya dengan ‘jalan’ saja. Tapi banyak hal yang harus kita lakukan agar mampu bertahan.

***

Yogyakarta masih tersenyum padaku. Perjalanan sebentar lagi akan dimulai. Stasiun Tugu telah kupijak beberapa menit yang lalu bersama Dian, adik kelas yang mengantarkanku. Setelah aku menemukan gerbong yang harus aku naiki, sebuah pesan singkat masuk dari seorang sahabat yang menanyakan tentang keberadaanku. Belum sempat aku membalasnya, dari ujung jalan aku melihat dua orang perempuan yang berlari menujuku. Belum sempat aku menyapa mereka, segera pelukan mendekapku.

“Isti, lo kenapa sih nggak bilang ke kita kalo lo…,” Ayu memelukku lebih erat. Begitupun Lia. Mereka adalah sahabatku yang tak kuberi tahu perihal keberangkatan ini.

“Gue baik-baik aja kok Yu, Lia! Mohon doanya, semua akan baik-baik aja. Makasih ya kalian udah mau bela-belain susul gue ke sini. Salam buat yang lain, gue mohon doanya.” Aku tahan-tahan  haru yang sudah mulai meleleh. Peluit kereta segera berhembus, kereta akan berangkat beberapa menit lagi. Mereka pun mengantarkanku sampai ke tempat duduk. Dian, Ayu, dan Lia mereka yang mengantarkanku mengawali perjalanan ini.

Kereta Taksaka Malam pun meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Dalam gelapnya gerbong aku duduk menyisakan tangis yang dari tadi terbendung. Aku pun mengirim pesan singkat kepada kawan-kawan relawan. Berharap doa yang terbaik dari mereka. Dan memang ada beberapa orang yang mengirim pesan padaku tanpa kuberitahu tentang keberangkatan ini. Dan perjalanan pun kuawali dengan simpati banyak orang yang mengasihiku. Sampai pada satu pesan yang membuatku benar-benar terisak haru.

“Mbak Isti, apa kabar? Mbak, katanya Mbak mau berobat ya ke Jakarta? Mbak ndak dioperasi kan? Mbak Isti, Dani dan Rani selalu mendoakan Mbak Isti supaya sehat lagi dan ndak udah dioperasi. Mbak Isti cepat balik ya, kami sayang Mbak Isti.”

Sesaat gelapnya gerbong pun menjadi milikku seorang yang telah hanyut dengan haru yang takkan habis. Haru yang mengantarkanku pada satu perjalanan. Perjalanan yang akan membawa cerita luar biasa di masa depan. Semoga!

***

Tak Sekadar Jalan

Part Dua

E

mbun teroles tak teratur menghiasi kaca-kaca gerbong kereta api.  Lorong-lorong antar gerbong masih sepi. Beberapa karyawan kereta tampak sedang patroli. Sedangkan aku hanya termenung sambil menatap apa yang tersajikan di balik kaca. Pukul empat waktu Jakarta. Pemandangan menjelang subuh yang sunyi. Rumah-rumah masih menyalakan lampu. Terjadi persatuan harmoni antara terang dan gelap. Seperti bintang yang bertaburan di muka bumi.

Sayup-sayup terdengar adzan menggema, membangunkan penghuni bumi. Aku pun bersegera membereskan barang-barang karena memang setelah ini Stasiun Gambir akan menyambut kereta yang aku tumpangi. Ah—Jakarta, kota sesak tempat aku mengawali perjalanan ini.

Tiara sudah kuhubungi beberapa kali. Tidak ingin menyusahkan adik yang baik hati itu, aku pun memutuskan nekat naik taksi subuh buta ke kosnya yang belum pernah aku kunjungi. Berbekal denah singkat yang ia sampaikan aku beranikan diri!

Satu minggu aku berniat untuk menumpang di kos Tiara—adik kelasku sewaktu SMA dulu. Kebetulan dia kuliah di Kedokteran UI yang lokasinya persis di sebelah RSCM. Alhamdulillah dengan senang hati dia menyambutku. Salemba akan memberikan sebuah jawaban untukku. Apakah itu sebuah jawaban baru atau penegasan apa yang terjadi 9 bulan lalu, entahlah!

***

Salemba di awal tahun

Pagi ini Tiara bersedia menemaniku untuk memeriksakan diri di RSCM, tepatnya poliklinik syaraf. Kami pun berangkat agak pagi dengan menaiki bajaj. Bonus menaiki bajaj pagi itu adalah ‘macet’. Padahal sebenarnya jika ditempuh jalan kaki tidak seberapa jauh, hanya saja waktu itu alasannya malas! Di Jakarta malas-malasan? Adanya akan tergilas dengan peradaban metropolitan.

Poliklinik Syaraf pagi itu cukup ramai. Prosedur di sini tidak se-ribet di Sardjito Yogyakarta. Cukup langsung datang ke Poliklinik dan mendaftar. Namun, di sini lebih ‘ganas’ daripada di Yogyakarta. Mungkin karena dialek bahasa yang berbeda.

“Mau daftar?” tanya ketus seorang petugas kesehatan dari balik loket pendaftaran.

“Iya Pak!” jawabku berhati-hati.

“Mane KTP nya?”

“Ini pak!”

“Dari Jogja ya? Kenape berobat sampe di mari, ada-ada aja!” aku terkejut dengan pernyataan yang disampaikan petugas itu. Dalam hati aku menjawab, “Suka-suka saya dong Pak, yang penting kan saya bayar!”

Rautku mulai kesal dibuatnya. Ah—apakah ini gambaran pelayanan kesehatan di Indonesia? Setelah mendaftar aku diminta untuk menunggu di ruang tunggu tanpa ada kepastian yang jelas. Hanya disuruh menunggu, itu tok! Tiara yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara tentang keperihatinannya tentang gambaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tempat dia koas nanti.

“Perawatnya kurang ramah ya Kak? Masa ibu tua itu dibentak-bentak!”

“Iya ya, kok kayaknya memperlakukan pasien semena-mena. Udah mereka menderita, dibentak pula! Seharusnya tenaga kesehatan itu mendukung pasien secara psikis untuk nyaman melakukan pengobatan. Kalau kayak gini adanya pasien bisa stres setiap berobat! Iya Nggak?” Tiara pun mengangguk. Dan kami kembali pada penantian yang tidak jelas. Tidak ada nomor antrian ataupun perawat yang mendekati. Masuk ke ruangan yang mana juga aku tak tahu. Serba tidak jelas!

Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Akhirnya perawat judes itu memanggil namaku. Dan ditambah ucapan cukup pedas, “Yaelah Mbak, muda-muda kok udah sakit-sakitan sih! Masuk sana ke ruang nomor dua!” hatiku menggelagar panas. Ih—perawat itu nggak punya perasaan kali ya! Ampun deh berobat di sini malah bikin sakit hati. Katanya aja Rumah Sakit nasional, tapi pelayanannya?

Tanpa menghiraukan perawat judes itu aku pun segera masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk. Aku dapati seorang dokter berkerudung dan 3 orang residen yang sedang bertugas di sana. Seperti biasa, dimulai dengan pembacaan catatan medisku. Hal yang tidak biasa adalah setelah itu, karena dokter ini tidak ada simpati sedikit pun!

“Alaaah! Ini yang positif IgG CMV? Aduh gimana sih dokter di Jogja. Masa IgG positif didiagnosa CMV. Ada-ada aja! Asal kamu tahu ya, kalo kamu itu penderita CMV berarti kamu juga penderita HIV!” kata-kata lugas nan menohok hati itu benar-benar tak bisa aku terima. Jungkir balik aku mendalami tentang CMV dan TORCH dengan sombongnya dokter di depanku ini menyalahi teori itu. Apakah dokter ini langsung terjun ke lapangan? Bahwa banyak penderita IgG positif CMV tetap mengalami penyakit yang berakibat fatal. Ah—aku ingin sekali membantah. Hanya saja 4 lawan 1 sepertinya kurang memungkinkan. Apalagi ini di kota orang. Akhirnya aku memilih diam dan duduk manis berlagak seperti pasien bodoh.

Tidak ingin membantah dokter songong itu aku pun dengan senang hati mengikuti permintaanya tes neuroontologi untuk membuktikan adakah gangguan keseimbangan pada diriku yang mengakibatkan seringnya sakit kepala. Aku pun menyambutnya dengan biasa saja dan berharap konsultasinya segera selesai karena jujur saja aku tidak betah berdiskusi dengan dokter yang sombong seperti itu. Serasa hanya dia yang paling mengerti. Padahal dia lupa ada langit di atas langit. Untung yang datang hanyalah seorang mahasiswa biasa. Jika yang datang padanya seorang professor ahli TORCH, lantas dia berkata seperti itu dengan sombongnya, bisa-bisa KO dokter itu!

Kadang aku bingung dengan budaya bangsa ini. Terlalu berlebihan memandang sebuah profesi bernama ‘dokter’. Padahal dokter jugalah manusia biasa. Mendewa-dewakan dokter bukanlah sikap yang tepat. Saat ini kita harus bisa menjadi pasien yang cerdas karena kita tidak bermain-main dengan masalah sepele. Tubuh yang Allah berikan adalah amanah utama yang harus kita jaga sebaik-baiknya. Jika ada kerusakan harusnya kita yang pertama kali menyadarinya, bukanlah dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya. Tapi ini Indonesia, dimana semua yang ajaib bisa bermunculan bagaikan diorama.

***

Pemeriksaan Neuroontologi

Asing bagiku mendengar nama pemeriksaan yang akan aku jalani. Tapi aku adalah seorang petualang kesehatan, tidak akan pantang menyerah begitu saja untuk sebuah jawaban. Dengan wajah yang mantap aku masuki ruangan itu. Tiba-tiba seorang dokter yang berkulit agak gelap dan berbadan gempal memintaku duduk di depan meja. Seperti biasa, sekali lagi tak bosan aku mengulang, konsultasi ini diawali dengan membacakan riwayat kesehatanku.

Namun ada hal yang berbeda. Aku berhadapan dengan dokter yang ramah dan saat itu aku diminta untuk menceritakan riwayat penyakit ini dari awal dan serinci-rincinya. Seperti menulis sebuah cerita pendek kurasa!

Setelah si dokter menuliskan semuanya, dimulailah beberapa tes secara manual. Karena Indonesia belum memiliki alat canggih untuk pemeriksaan ini, jadi semua dilaksanakan manual. Tiba-tiba dari balik tirai muncul dua orang dokter lagi, satu perempuan dan satunya laki-laki yang cukup tampan. Mereka bertiga yang akan melakukan tes terhadapku pagi itu.

Pemeriksaan ini cukup menyenangkan, meskipun cukup tak nyaman berada dalam ruangan itu. Gelap dan penuh dengan buku-buku. Hanya ada beberapa alat pemeriksaan saja. Sepertinya ruangan itu lebih cocok menjadi ruang kerja bersama daripada ruang pemeriksaan. Dimulai dari tes keseimbangan. Aku diminta berdiri dengan kaki merapat, ada sesi membuka dan menutup mata. Setelah itu pemeriksaan indera pembau, pendengaran, dan penglihatan. Serta beberapa pemeriksaan ‘aneh’ lainnya. Ini benar-benar sesuatu yang baru untukku.

“Mbak Isti, kami sudah melakukan seluruh pemeriksaan neuroontologi. Dari hasil pemeriksaan ada beberapa diagnosa. Nanti mungkin bisa dievaluasi lagi dengan dokter sebelumnya. Pada intinya hasil CT-Scan mbak ini kurang tepat, menurut kami di sini tidak ada edema dan penyumbatan. Kondisi otak dan syaraf sangat baik sampai saat ini. Sakit kepala yang Mbak rasakan selama ini dikarenakan Mbak menderita Vertigo Perifer. Selain itu otot leher yang keras dan dari beberapa pemeriksaan otot, Mbak juga menderita spasmofilia tapi hal itu mohon ditindaklanjuti lagi untuk memastikan. Dan satu lagi ada gangguan pada saraf vestibular. Bukan berarti gangguan pendengaran tapi hanya terjadi gangguan syaraf sehingga Mbak sulit menjaga keseimbangan tubuh. Begitu ya Mbak, semuanya sejauh ini baik-baik saja. Tapi harus tetap mendiskusikan dengan dokter syaraf.” Dokter kepala residen itu tersenyum manis. Senyumnya menenangkanku. Beberapa residen yang tadi membantuku pun tersenyum. Rasanya aku mendapatkan jawaban terbaik!

Pemeriksaan selesai. Aku menemui Tiara yang setia menunggu dengan senyuman. Dia pasti sudah bosan menanti pemeriksaan yang hampir berjalan 3 jam.

“Sudah Kak?”

“Alhamdulillah udah Dek! Lapar nggak?” tanyaku tersenyum. Tiara mengangguk.

“Bagaimana Kak?”

“Sejauh ini baik-baik saja, hanya saja Kakak diminta menemui dokter syaraf tadi. Tapi, nggak usah aja kali ya? Habis dokternya songong. Jawaban terindah ini cukup sampai sini aja deh!”

“Ah si Kakak! Tapi syukurlah tidak apa-apa Kak.”

“Tapi Dek, Kakak jadi kesel setengah hidup sama dokter yang di Jogja itu! Dengan tega dia memvonis Kakak penyakit parah itu, padahal ternyata hasil CT Scan-nya nggak apa-apa, ada lima dokter RSCM yang menjamin itu. Ihh, kok tega ya tuh dokter mendiganosa kayak gitu. Habis itu salah diagnosa lagi! Padahal diagnosanya udah bikin Kakak stress sembilan bulan lamanya!” penuh semangat aku menumpahkan kedongkolan.

“Iya ya kak, kok sampai hati! Semoga Tiara besok bisa jadi dokter yang bijak!”

“Bijak dan bersahabat dengan pasien!” aku menepuk pundak calon dokter muslimah itu. Kami pun melangkahkan kaki menuju kantin Rumah Sakit. Perjalananku indah hari ini. Dan aku berharap akan ada perjalanan baik setelah ini. Terima kasih ya Allah atas kelegaan hati yang tercurah padaku saat ini. Berikanlah hamba kekuatan untuk melanjutkan perjalanan, agar suatu saat sampai di kerajaan-Mu. Aamin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun