Pernah dihadapkan pada suatu pembelajaran yang membosankan ketika sekolah?Â
Saya, jujur saja, paling tidak suka dengan pelajaran yang satu ini: "Bahasa Indonesia". Alasannya sangat simple, tapi bingung juga kalau ditanya apa yang buat membosankannya.Â
Ngantuk, ga semangat, dan satu lagi, terasa pelajaran yang sangat mudah dan tidak perlu dibuat ribet dengan beberapa kali pertemuan. Materi yang diberikan seperti gampang tapi lihat nilai ko ancur ya. Begitulah kira-kira menggambarkan pelajaran yang satu ini.
Entah ini karma atau bukan, justru saya yang tidak suka pelajaran ini, akhirnya mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika kuliah. Memang, tidak seperti pelajaran di sekolah yang akhirnya menjadi malas belajar, karena perbedaan kelas pendidikan tentu tidak mungkin sama, kuliah lebih banyak dengan diskusi-diskusi dan debat-debat teoritis yang entah kapan pelaksanaannya.Â
Akhirnya saya pun harus merasakan bagaimana mengajar di kelas sebagai guru Bahasa Indonesia. Â
Bagaimanapun, saya tidak mungkin terus memikirkan hal tersebut, justru saya tertantang untuk menghilangkan image, pelajaran ini mudah dan digampangkan.
Bukan berarti mempersulit, tetapi pada kenyataannya, bahasa adalah pelajaran sepanjang hayat yang terus dipakai manusia untuk bersosial, baik itu secara tulis maupun lisan.
Peran guru bahasa pun menurut hemat saya bukan lagi tentang materi dan kemampuan tulis yang baik, tetapi bagaimana fungsi bahasa tersebut bisa bermanfaat untuk kehidupan anak didik tersebut.Â
Maka, pada suatu waktu saya memosisikan diri sebagai kawan anak didik saya dalam berbicara dan tidak jarang mereka curhat tentang kehidupan mereka kepada saya.
Mungkin itulah yang anak didik inginkan sebenarnya, bukan dijejali materi, tetapi mengaitkan materi dengan kehidupan ini. Setidaknya mereka bisa berbagi masalah (yang menurut saya di usia saya sekarang) tentu bukan masalah berat. Namun, di usia mereka jelas perlu pencerahan dan saran yang tidak menyalahkan.Â
Mengapa saya menulis tentang ini? Karena saya terinspirasi dari tulisan Pa Tjip di kompasiana juga, tentang rapuhnya generasi bangsa ini, ketika takut gagal masuk sekolah favorit berakhir dengan gantung diri. Ini bagian menghenyakkan: apakah orang pintar itu harus selalu mendapat nilai yang baik dan selalu sukses dengan instan?Â