Mohon tunggu...
Iis Siti Aisyah
Iis Siti Aisyah Mohon Tunggu... Freelancer - Teacher | Reader | Freelance Writer

Penikmat buku dan coklat secara bersamaan. Sini nyoklat di jejaksuaraa.blogspot.com :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejak Lama, "Guru Baik" Memang Dinanti

27 Maret 2018   06:25 Diperbarui: 27 Maret 2018   12:35 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: muslimdaily.net)

Jika jelas memang anak didik tersebut bermasalah, pendekatan dan mencari tahu sebab perilakunya tersebut yang harus ditangani. Karena bisa jadi, ucapan guru tersebut menjadi doa yang terjadi dikemudian hari. Ucapkan saja, "Ibu / Bapak doakan, agar kamu jadi ilmuwan, dokter, imam masjid, dll yang positif." Meskipun memang sulit juga dihadapkan anak bandel yang super kuadrat bandel. Apa boleh buat, tugas guru memang berat. 

Kalau pernah membaca novel tetralogi Laskar Pelangi atau menontonnya, kita pasti sepakat bahwa guru berperan penting dalam keberhasilan anak didiknya. Ical kalah pintar dari Lintang, tetapi Ical memiliki motivasi dan kesempatan memiliki guru yang tepat.

Di novel Laskar Pelangi kedua "Sang pemimpi",  ketika  SMA Ical memiliki guru yang selalu memotivasinya dan teman-temannya untuk bermimpi. Mimpi adalah sesuatu yang tidak boleh hilang dari hidup. Bahkan guru tersebut pernah diingatkan kepala sekolah agar tidak memberikan motivasi dan angan-angan terlalu tinggi pada anak didiknya tersebut.

Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah mimpi Ical itu terlaksana bahkan bisa kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Itulah mimpi yang pernah ia cita-citakan ketika ditanya mimpi oleh gurunya.

Baik, itu hanya novel. Hanya cerita imajinasi. Mungkin akan banyak orang yang mencemooh mimpi. Bagaimana jika kita melihat kenyataan. Ingat Hellen Keller? Seorang anak yang mendapat penyakit di usia 19 bulan yang mengakibatkan buta dan tuli, dan menjadi tidak bisa bicara.

Tetapi dengan bantuan gurunya Anne Sullivan, dan ketabahannya mengajari Keller, semua menjadi berubah. Keller tumbuh menjadi pribadi yang cerdas bahkan bisa membuat karya, menjadi dosen, aktivis, dan sederet penghargaan. Lagi-lagi, guru yang tulus.

Bagi saya pribadi, guru bukan hanya yang berpakaian rapi, dan memiliki gelar pendidikan. Guru, bisa saya temui ketika dia memberikan manfaat untuk hidup saya, memberikan jalan keluar, dan memberikan motivasi, dan guru yang paling baik adalah pengalaman.

Maka, siapapun saya bukan berarti menggurui, saya sedang berimajinasi seandainya saya menjadi guru yang saya sendiri ingin memiliki guru seperti itu. Saya berusaha memikirkan cara, tidak seperti guru, tetapi memiliki dampak besar bagi kehidupan seseorang, atau siapapun. Pastinya, guru pertama saya adalah ibu saya, keluarga saya, lingkungan saya.

Seandainya, tulisan ini diikuti banyak orang, saya akan menjadi anak didik orang tersebut dan saya selalu ingin menjadi pembelajar dari guru yang tulus dan ikhlas memberi ilmunya.

Merenungi... pagi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun