Mohon tunggu...
Istiadzah Rohyati
Istiadzah Rohyati Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mom Blogger

Blogger. FlashFictioner. Full Time Mother. www.istiadzah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Sepucuk Surat dari Irak

22 Desember 2013   04:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1387662686129160295

No. Peserta 134

Assalammu’alaikum, Ma.

Maaf, judulnya memang harus pakai “ibu”, tapi kan aku nggak pernah manggil “ibu” ke Mama. Biarin aja, deh, cuman judul doang, kok. Sengaja juga pakai “aku”, soalnya kalau pakai nama panggilanku, aku malu, Ma. Malu karena surat ini sedang dibaca orang-orang.

Apa kabar Mama hari ini? Aku harap, Mama selalu sehat. Ya, meskipun aku tahu, Mama dan Papa sudah paruh baya, dan takmungkin sesehat aku dan adik-adik sekarang.

Aku tahu, tanggal 18 Desember kemarin mama ulang tahu. Maaf, bukannya aku lupa. Bukannya aku taksayang. Tapi aku takmau ikut-ikutan seperti mereka yang merayakan ulang tahun. Meski hanya sekadar ucapan. Aku justru bersedih, mengingat usia Mama sudah berapa dan tinggal berapa. Mungkin Mama taktahu, tapi aku di sini, terus mendoakan Mama. Bukan karena Mama ulang tahun.

Aku sedih. Apa yang sudah aku beri buat Mama? Hingga aku memiliki dua anak yang lucu-lucu, aku merasa belum membanggakan Mama. Aku tak menuruti keinginan Mama ketika kuliah dulu. Malah meminta dinikahkan ketika masih 22 tahun.

Maafkan aku, Ma. Aku tahu bagaimana rasa sakitnya Mama saat itu. Anak perempuan pertamamu ini akan diambil orang lain, yang belum Mama kenal luar-dalam. Aku tahu bagaimana hancurnya hati Mama saat itu ketika angan-anganmu melanglang buana melihatku bekerja di kantor, harus berhenti karena aku menikah muda.

Bukan salah Mama. Bukan salah Papa juga. Aku yang memang ingin menikah begitu cepat. Di saat usiaku kuanggap sudah cukup matang, menurutku, untuk apa berlama-lama menyendiri, sementara aku sudah diberikan cinta oleh Allah. Aku menikah untuk ibadah. Aku menikah karena Allah.

Mama masih ingat, ketika Mama begitu marah padaku, ketika keluarga calon besanmu mendatangi kemudian membicarakan tanggal pernikahan? Padahal Mama dan Papa saat itu masih ingin menolak keinginanku untuk menikah. Aku malu. Aku berdosa. Aku membuatmu menangis malam itu. Dan Mama enggan berbicara padaku.

Ah, anak macam apa aku ini? Sudah diberikan biaya untuk kuliah agar bisa meraih gelar sarjana kemudian bekerja, malah mengkhianati dengan memilih menikah muda.

Kakak macam apa aku yang takbisa memberikan contoh baik pada adik-adiknya? Ketika liburan kuliah, aku pulang malah membawa bencana di rumah. Bahkan Papa enggan berbicara padaku. Papa marah besar saat itu.

Sudahlah, kisah itu sudah berakhir indah, bukan? Aku sangat-sangat beruntung dan bersyukur, karena akhirnya Mama dan Papa luluh dan mau menikahkanku. Aku yakin, kita semua bersuka cita saat itu, di hari itu.

Aku masih meninggalkan janji padamu. Meski sudah menikah, aku tetap meneruskan kuliahku dan akan bekerja. Sesuai keinginanmu. Tapi, apa? Ternyata aku lebih cepat diberi amanat oleh Allah. Aku hamil dua kali dengan jarak yang berdekatan. Aku malu. Jujur, aku takut.

Aku takut Mama marah. Tapi, siapa yang harus disalahkan jika aku hamil? Toh, aku punya suami. Lagipula, Allah yang mengijinkanku untuk hamil. Tetap saja, ketika aku mengabarimu tentang hal ini, Mama malah menangis. Oh, Allah! Aku salah lagi!

Pada akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku, aku sedikit lega. Hutangku terbayar sudah. Tapi, ternyata belum. Aku tahu, Mama menginginkanku untuk bekerja. Supaya aku bisa lebih mandiri. Lagi-lagi, aku minta maaf, Ma. Aku takbisa bekerja karena aku taksanggup anak-anakku diasuh orang lain.

Betapa kecewanya hatimu, pasti. Aku takbisa mengukurnya sendiri. Kedalaman hatimu sungguh takbisa kusentuh. Aku bukan anak yang dengan mudah menuruti semua keinginanmu, Ma. Aku memang pembantah.

Aku tahu, dosaku banyak sekali. Aku tak menuruti semua kemauanmu. Semua. Aku menikah muda ketika masih kuliah, kemudian aku takbisa menjaga dan akhirnya aku hamil di saat masih kuliah, lalu aku takbisa bekerja setalah wisuda. Aku taktahu haru minta maaf berapa kali lagi padamu, Ma.

Ketika semuanya sudah terasa indah. Aku datang memberimu kabar kepindahanku. Ke Irak. Entah petir mana lagi yang menyambarmu saat itu. Aku tahu, Mama langsung menangis mendengarnya. Mungkin Mama membayangkan anak perempuan pertamamu akan dibawa jauh dari hatimu.

Bukan begitu, Ma. Aku memang jauh. Jauh dari jarakmu. Jauh dari dirimu. Namun hati kita tetap dekat. Betapa teknologi jaman sekarang sudah memudahkan kita dalam berkomunikasi. Kita masih bisa tetap menanyakan kabar atau sekadar berkirim foto cucu-cucumu ke dalam handphone-mu.

Takbanyak yang bisa kuberikan untukmu, Ma. Aku tahu, aku sudah membawamu melancong ke Irak tempo hari. Tentu saja dengan biaya dari suamiku. Dan aku bersyukur, suamiku sangat sayang padamu. Mama tahu? Ketika suamiku berkata ingin menerbangkanmu kemari, bukan kepalang senangnya hatiku.

Meski begitu, berlembar-lembar ratusan dolar yang telah dikeluarkan demi mendatangkanmu ke sini, bagiku itu tetap belu mcukup untuk membayar semua pengorbananmu. Sungguh banyak yang telah Mama korbankan sejak aku masih kecil.

Aku masih ingat dengan ceritamu, Ma. Ketika kami masih kecil, Papa berlayar dengan kapal ke luar kota dan negara. Mama mengasuh kami sendirian. Mama berjuang sendirian. Dengan empat anak yang masih kecil-kecil, Mama bertahan tanpa bantuan asisten rumah tangga.

Sementara Papa hanya bisa pulang setahun dua kali saja. Takbisa kubayangkan betapa repotnya dirimu saat itu. Mengasuh dan mendidik kami sendiri. Setiap anak butuh figur Ayah. Tapi Papa justru tak ada saat itu, demi mencari nafkah.

Dan ketika sepulang sekolah TK aku bertanya padamu, “Ma, temen-temen kok ada papanya semua? Papa Iis mana?”

Ya, Allah. Andai saja aku mengerti saat itu, aku tak akan menyakiti hatimu dengan pertanyaan seperti itu. Tapi aku hanyalah anak balita yang merindukan sosok ayah, yang hanya bisa kutemui setiap dua kali setahun.

Dengan pengorbananmu yang begitu besar, belum cukup rasanya bagiku untuk membayarnya. Aku rasa, aku belum bisa membanggakanmu dengan prestasiku. Apa pula yang bisa kubanggakan? Aku takpunya apa-apa untuk kubanggakan. Aku takpunya apa-apa untuk kuberikan. Aku takpunya apa-apa untuk kebagikan.

Materi?

Belum cukup. Meski Mama selalu bilang, Mama bersyukur aku dan suami mau membantu pundi-pundi keluarga, itu hanyalah kewajiban kami sebagai anak, Ma. Kewajiban setiap anak pada orangtuanya. Jadi, kupikir, itu belum cukup untuk menggantikan semua peluhmu di masa lalu.

Ma, aku cuma mau bilang bahwa aku kangen. Aku rindu. Aku rindu omelanmu. Aku rindu kehangantanmu. Maaf, aku takpernah mengatakan secara langsung. Egoku masih terlalu tinggi. Aku malu. Aku segan untuk mengatakan bahwa aku sayang.

Setelah aku jauh kini, baru terasa bahwa rindu itu bisa begitu menyesakkan dada. Pada Mama, pada Papa. Maafkan aku, yang hanya bisa meneleponmu setiap hari Jumat atau Sabtu saja. Maafkan aku, yang terkadang masih suka silih pendapat denganmu. Aku memang selalu merasa prinsip sendiri, tapi aku juga butuh nasihatmu.

Ma, di Hari Ibu ini, aku tak ingin menyesal seumurh hidup. Aku menuliskan ini panjang-panjang hanya supaya Mama tahu isi hatiku. Di antara jarak yang terbentang begitu luas, Irak dan Jakarta. di antara dinginnya udara dan kencangnya angin yang berhembus di musim dingin ini, aku rindu kehangatanmu. Takperlu berbuat apa-apa, asal ada Mama saja sudah cukup membuatku hangat.

Mama tahu? Sepulangnya Mama dari Irak tempo hari, aku menangis setiap hari. Aku merindukanmu, Ma. Rasanya sama seperti ketika aku menitipkan anakku pada Mama mertua di Klaten. Begitulah yang kurasakan ketika Mama pulang ke Indonesia setelah kurang lebih sebulan menemaniku di sini. Aku kehilanganmu, Ma.

Ma, aku cuma ingin melihat Mama bahagia karena melihatku sekarang. Aku hanya ingin melihat Mama tersenyum ketika aku pulang nanti. Aku hanya ingin membuatmu tertawa melihat tingkah lucu cucu-cucumu nanti. Aku hanya ingin ada di sampingmu, Ma.

Sebelum semuanya terlambat dan aku menyesali, melalui surat ini, aku ingin mengucapkan bahwa AKU SAYANG MAMA. AKU KANGEN SAMA MAMA. Jika saja aku menuliskan surat ini di atas kertas, Mama akan melihat tintanya membaur dengan airmataku. Iya, aku menangis, Ma.

SELAMAT HARI IBU, MAMA.

I REALLY, REALLY LOVE YOU, MA.

Suly, 22 Des 13

*****

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun