Konglomerasi media ialah seorang pengusaha yang menguasai beberapa media. Di Indonesia, segelintir konglomerat media mengendalikan opini 200 juta lebih , jika tanpa ilmu pengetahuan yang dimiliki, sebagian dari 200 juta lebih tersebut langsung menganggung setuju apa yang tersaji di media.
Ambil contoh kasus Partai Demokrat (PD), kader-kader dari partai dengan pendiri Susilo Bambang Yudhoyono tersebut satu persatu dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimulai dengan tertangkapnya mantan Bendahara PD, Muhammad Nazaruddin. Disusul dengan Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Alfian Mallaranggeng, dan yang terbaru Jero Wacik.
Bagaimana cara media memposisikan penyampaian kepada publik, akan mempengaruhi penilaian publik terhadap objek yang bersangkutan. Meskipun tidak sepenuhnya, namun mendominasi, terbukti dengan turunnya rating Demokrat ditahun 2014, PD menempati posisi ke-4 dengan pelorehan suara 10,19% , padahal sebelumnya partai berlogo mercy tersebut unggul dengan perolehan suara 25,39% di tahun 2009.
Hal itu terjadi salahsatu peran media yang memang sering membidik Partai Demokrat. Jika opini yang dibuat diputarbalikan menajdi ‘kesungguhan Partai Demokrat dalam memberantas korupsi’ mungkin akan lain lagi tanggapannya.
Contoh kasus tadi adalah salahsatu peranan media yang berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan. Bahkan, media dengan beritanya akan mampu bersaing dengan keputusan dari rencana-rencana kebijakan dari pemerintah. Terombang ambing dalam keputusan naik atau tidaknya Bahan Bakar Minyak (BBM) sering terjadi di negri ini, belum lagi pembaharuan Undang – Undang yang terkadang diwarnai oleh kepentingan kelompok tertentu, sekalipun mengatasnamakan rakyat, dan lain-lain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H