Mohon tunggu...
Isthiqonita Nuzuluddin
Isthiqonita Nuzuluddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kuda Terbang

3 Mei 2015   07:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua gundukan tanah merah itu masih basah, tak ada taburan bunga, tak ada sambutan dan do’a. Hanya sepi dan tancapan kayu keropos sebagai tanda ada mayat di dalamnya. Angin berdesir pelan ketika satu persatu pelayat meninggalkan area pemakaman. Salah satu dari mereka, yang tak lain adalah ibu dari kedua mayat tersebut meyakini, hembusan angin itu adalah sayap dari kuda terbang yang putih keperakan. Menjemput roh-roh suci yang baru saja meninggalkan jasadnya. Sekilas, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Perempuan itu dikawal dua polisi, mereka menghampiri perempuan itu dan mencekal pergelangan tanggannya, memaksa perempuan itu untuk segera meninggalkan area pemakaman. Dia melangkah pasti, tanpa sendu ataupun malu, dia hanya merasa bahwa dia telah melakukan hal yang benar.

***

Indri menatap kedua putranya yang terlelapterpaut oleh mimpi. Di atas risbang penuh dengan rayap, berbagi kasur lapuk untuk ditempati berdua, anak-anak itu tetapnikmat dalam tidurnya, tidak lagi menghiraukan nyamuk-nyamuk kota yang menggerayam kulit mereka dengan ganas. Tubuh-tubuh kurus itu terlalu terbiasa bersahabat dengan duka, sehingga dalam situasi apapun, sesakit apapun, mereka tak pernah menumpahkan air mata. Bahkan menurut cerita yang beredar, ketika Indri melahirkan anak-anaknya, bayi yang baru lahir tersebut tidak menangis sebagaimana biasanya, seolah-olah kesulitan telah memaksa mereka untuk bungkam semenjak terlahir.

Anak-anak itu tumbuh dalam kebisuan, mereka mampu bersuara namun enggan menggunakannya. Di sekolah, mereka memilih diam ketimbang melawan anak-anak yang mengolok-oloknya. Mereka juga diam ketika guru meracau mengutuk kebodohannya. Bahkan kepada bapaknya sendiri, yang setiap subuh datang membangunkan tidur mereka dengan makian, bapaknya yang datang dalam kesadaran yang hampir hilang, dengan mulut hitam pekat beraroma alkohol, anak-anak itu tak pernah menggubris sama sekali, meskipun pukulan bertubi-tubi menghujani tubuh mereka.

Hanya Indri, Ibu yang selalu mereka andalkan. Indri pandai bercerita, setiap malam menjelang tidur, Indri menjadi pendongeng hebat untuk anak-anak itu. Indri bercerita apa saja, istana, kerajaan, bahkan surga. Anak-anak itu tidak pernah disuguhi cerita yang menuai air mata atau ketakutan, cukup dunia nyata yang menyiksa mereka. Dalam tidurnya, kedua anak itu hidup, menari di atas permadani hijau, berlari-lari di lorong-lorong istana, bahkan terbang ke Surga menaiki kuda bersayap, yang putih keperakan.

Sorot mata Indri belum lepas dari kedua anaknya, semakin malam semakin tajam. Matanya menyimpan rencana besar setelah percakapan menjelang tidur mereka.

“Aku suka cerita itu, Ma”, puji Rian, Indri mengalihkan pandangannya kepada anak sulungnya tersebut. Seketika kening Indri mengerut menyaksikan mata Rian yang mulai basah, bibirnya bergetar menahan butiran air mata yang hendak terjatuh. Di samping kirinya, kedua pipi Eri telah basah. Untuk pertama kali Indri melihat kesedihan dan ketakutan dari kedua anaknya. Mereka menggigil bagaikan  dihujani bongkahan batu es.

“Kenapa kalian?” Indri masih tidak mengerti dengan apa yang disaksikannya.

“Rian ingin ke Surga, Ma.” Indri mencoba memahami  maksud ucapan Rian. “Rian ingin menaiki kuda terbang itu” Rian terus meracau sedangkan Eri tak hentinya menangis bahkan semakin nyaring dan melengking, memecah kaneheningan malam di rumah itu.

“Rian tidak akan bertemu kuda terbang itu, tidak akan mencapai Surga.” ocehannya semakin tidak dimengerti Indri, perempuan itu mendekap anak-anaknya erat, mencoba menghangatkan ketakutan mereka yang semakin menjadi. Namun Indri tak kuasa, dia sendiri menggigil merasakan ketakukan itu, menyusup melewati daster kumal, menggigit sendi-sendi sisa kekuatannya yang melepuh, rapuh.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Indri sela-sela tangisan kedua anaknya yang mulai mereda. Tangan-tangan kering mereka mencoba mengusap matanya yang merah dan basah, Eri masih bisu tak mampu menjelaskan, mulutnya membuka mengantup berusaha berkata namun sia-sia.

“Rian dan Eri tadi lapar,” Rian dengan terbata-bata mulai bicara kembali. “Perut sudah sakit,  selama dua hari hanya diisi air mentah di sekolah.” Indri sendiri terkadang mengusir dahaga dengan meminum air keran majikannya ketika mencuci pakaian. Air di rumah mereka mengeluarkan aroma menyengat yang tidak menyenangkan. “Terpaksa kami mencuri, Ma.” Rian menunduk dan tangannya menutupi muka sendunya. Indri mengangguk pelan, mengerti.

“Mulai besok, kalian tidak akan pernah mencuri lagi, Mama janji.” angin malam menyusup melewati celah-celah dinding, tak ada selimut, mereka terbiasa saling menyelimuti satu sama lain.

***

Perempuan itu digiring menuju sel, yang berisi tahanan perempuan lainnya, raut mukanya masih menyiratkan kemenangan besar. Perempuan-perempuan lainnya di buat heran oleh narapidana dengan kasus pembunuhan itu.

“Apa yang membuatmu terus tersenyum?” perempuan berbadan gempal, berambut ikal, bertubuh kumal bertanya penasaran “Tubuh kurusmu ternyata buas.” ejeknya.

“Anak-anakku sudah berada di Surga.” jawabnya puas

“Bagaimana kau yakin?” tanya perempuan lain yang sama kumalnya.

“Mereka masih suci, mereka belum menanggung dosa.” Jelasnya, selanjutnya perempuan itu menceritakan kuda terbang putih keperakan, seperti kepada anak-anaknya. Kuda terbang yang menjadi kendaraan menuju Surga, kendaraan bagi orang-orang yang suci, yang belum mencicipi dosa. Ia juga menjelaskan alasan mengapa ia membubuhkan diterjen curian dari majikannya pada makanan kedua anaknya, tidak lain hanyalah untuk menghindarkan mereka dari rayuan dosa yang kian hari kian memikat.

“Ya,ya aku setuju, anak-anak mati akan menjadi pelayan di Surga.” sahut tahanan lainnya, kepalanya mengangguk angguk dengan mata berbinar, antusias.

“Anak-anakku sedang bermain di taman surga.” Tegasnya puas, menerawang menyebrangi langit-langit rumah tahanan yang kelam “Suatu saat, mereka akan berterimakasih atas apa yang aku lakukan, dan akan meminta kepada tuhan supaya aku menemani mereka di Surga.” Perempuan-perempuan yang mendengar cerita itu diam, sebagian ketakutan, sebagian dari mereka bertekad akan mengirim anak-anak mereka ke Surga.

Garut 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun