Kasus pelaporan seorang guru ke polisi di Makassar baru-baru ini menyentak dunia pendidikan dan masyarakat luas. Dugaan bahwa guru tersebut memukul seorang siswa sebagai bentuk teguran langsung menimbulkan perdebatan yang melibatkan isu hak anak, otoritas guru, serta batasan disiplin di sekolah. Tentu saja, kasus ini bukan hanya tentang hukum, melainkan lebih dalam lagi tentang penghargaan kita terhadap profesi guru dan bagaimana peran mereka dipahami di era yang serba sensitif seperti sekarang.
Guru, Disiplin, dan Batasan
Di satu sisi, saya setuju bahwa kekerasan fisik tidak bisa dibenarkan sebagai metode disiplin dalam pendidikan modern. Anak-anak memiliki hak untuk merasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah. Namun, situasi di lapangan jauh lebih kompleks daripada sekadar prinsip yang tertulis. Guru berada di garda terdepan dalam menghadapi berbagai macam karakter siswa dan sering kali diharapkan untuk menjaga disiplin di kelas tanpa dukungan yang memadai. Ketika guru tidak punya keleluasaan untuk mendisiplinkan, tugas mereka menjadi semakin sulit, dan hal ini dapat berdampak pada kualitas pendidikan di kelas.
Peran Orang Tua dan Sekolah dalam Menjaga Keseimbangan
Yang juga perlu menjadi perhatian adalah peran orang tua dalam memahami dinamika yang dihadapi guru di sekolah. Pada dasarnya, kerja sama antara sekolah dan orang tua adalah pondasi penting dalam mendidik siswa. Melaporkan guru ke polisi bisa menjadi langkah yang kontraproduktif dan merusak rasa saling percaya antara orang tua dan pihak sekolah. Bukankah lebih baik jika masalah ini bisa diselesaikan dengan pendekatan dialogis antara pihak sekolah dan orang tua, tanpa harus menempuh jalur hukum? Langkah semacam ini, menurut saya, justru akan memperkecil kemungkinan terulangnya insiden serupa.
Menghargai Profesi Guru
Menjadikan guru sebagai sasaran pelaporan hukum tanpa upaya penyelesaian damai lebih dulu mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap profesi mereka. Guru bukan hanya pemberi materi, tetapi juga pendidik yang menghabiskan waktu mendampingi anak-anak kita di masa yang paling menentukan dalam hidup mereka. Jika otoritas guru terkikis oleh kekhawatiran akan pelaporan atau tuntutan, kita sebetulnya merugikan generasi mendatang. Mereka tidak akan mendapatkan disiplin yang sehat karena para pendidiknya merasa tidak punya cukup ruang untuk bertindak. Ini bukan soal memberi keleluasaan untuk bertindak sewenang-wenang, melainkan memberi ruang bagi guru untuk berperan sebagai sosok yang dihormati.
Pendekatan Disiplin yang Lebih Humanis
Saya menyadari bahwa disiplin dalam pendidikan seharusnya tidak lagi menggunakan kekerasan. Kini, berbagai pendekatan seperti disiplin positif---yang menekankan penghargaan, penguatan perilaku baik, dan keterbukaan dialog---bisa diterapkan untuk membangun karakter siswa. Tetapi untuk itu, para guru juga memerlukan pelatihan dan dukungan dari pihak sekolah serta kebijakan yang tegas namun suportif.
Refleksi untuk Semua Pihak
Kasus ini semestinya menjadi bahan refleksi bagi semua pihak. Mari kita hargai dan hormati profesi guru, dan berupaya mencari solusi yang lebih konstruktif jika timbul konflik antara siswa dan pengajar. Pendidikan adalah tentang membangun manusia seutuhnya, dan untuk itu, kerja sama antara sekolah, guru, dan orang tua adalah kunci. Guru seharusnya bukan dianggap sebagai ancaman bagi siswa, tetapi sebagai mitra bagi orang tua dalam membangun generasi yang lebih baik.