Mohon tunggu...
Istanti Surviani
Istanti Surviani Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangguh yang suka menulis

Purna bakti guru SD, traveler, pejuang kanker

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Warisan Terbaik

27 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 27 Maret 2022   11:19 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Genggaman tangan bapak masih terasa sampai saat ini, selamanya tetap akan terasa. Foto: Dokumen Pribadi.

"Jejak kebaikan seseorang, terlihat atau tidak, adalah perkara yang akan tetap ada meskipun dia telah tiada." (Istanti Surviani)

Biodata bapak. Nama: Soeparman alias Soeratman (bungsu dari 9 bersaudara). Tempat tanggal lahir: Surabaya, 3 Juni 1945. Wafat: Lumajang, 24 Maret 2020. Nama ayah: Hardjo Soeparto. Nama ibu: Moesirah. Nama saudara: Soeratmin, Soeratmi, Soeratwidji, Soeratni, Soerasuti, Soeratin, Soeratno, dan Soeratinah. Nama istri: Ninik Isniagi. Menikah: 18 Agustus 1971. Nama anak: Istanti Surviani, Devi Febriyanti, Hendro Triwahyudi, Yeni Wahyuningtyas, dan Budi Nurcahyo. Nama cucu: Atika Ammar Danii, Jasmine Inaya Adzania, Muhammad Rafi Wahyu Ardianto, Sahwa Audina Arisanti, Zahira Aulia Arisanti, Qeisya Kanda Salsabila, Alif Hafizh Shiddiq, Raisya Zhafira Azkia, dan Dimas Raka Kuncoro.

Tahun 1971. Semasa mudanya dulu, Bapak ibuku ini adalah pemain voli. Dalam sebuah turnamen ibuku dan timnya mengalami kekalahan. Jadilah ibuku termehek-mehek di lapangan dengan rasa kecewa yang demikian menganga. Mendekatlah ayahku untuk menghiburnya. Gayung bersambut. Rupanya mulai ada benih-benih kasih. Witing trisno jalaran soko kulino. Sampai akhirnya mereka menikah dan lahirlah kami berlima.

Tahun 1991. Terkenang saat pengumuman UMPTN. Aku hampir tidak mau daftar ulang di Universitas Brawijaya jika tidak diantar Bapak Man, demikian beliau biasa kupanggil. Sampai akhirnya mencari kos-kosan dan pindahan pun diantar bapak. "Kamu dari bayi sampai SMA diasuh budemu. Sekarang kuliah di Malang. Nanti menikah dibawa suamimu. Terus kapan hidup sama Bapak?" Kulihat sudut matanya meleleh.

Tahun 1997. Saat menunggu hari-hari kelahiran anak pertamaku di Surabaya, bapaklah yang menemaniku jalan pagi di sekitar rumah sambil menggendong bayi kembar anak tetangga. Kalau yang tidak tahu mungkin dikira aku ini istri mudanya bapak yang mau melahirkan anak ketiganya. Bapakku memang terlihat energik meski usianya menjelang lima puluh dua tahun.  Suamiku saat itu masih kerja di Bandung. Aku ingin lahirannya ditunggui keluarga. Di dalam kamar bersalin, ibu setia selalu di sisiku. Setelah lahiran baru kukirimkan kabar gembira pada suami.

Tahun 2000. Yang setia menunggu lahiran anak keduaku di Bandung juga bapak dan ibu. Kali ini di sampingku ada suami yang menemani dan menyaksikan kepayahan sang istri yang hendak memberinya buah hati. Mereka berjaga dari Isya' sampai Subuh. Begitu bayinya keluar, ibu dan bapak (yang menggendong si sulung) langsung menuju kamar dan melihat cucu barunya. "Wah, wajah dede bayinya mirip wajah ibu," kata bapak. "Ya iyalah, wong aku neneknya," jawab ibu. "Pipi tembemnya, maksudnya," balas bapak.

Tahun 2020. Kata ibuku, bapak pernah bilang jika usia pernikahan mereka sampai di angka 50 tahun atau pernikahan emas, ingin syukuran. Qodarullooh dicukupkan sampai 48 tahun, 7 bulan, dan 6 hari saja. Walau begitu bagi kami perjalanan pernikahan mereka sudah menorehkan tinta emas yang luar biasa berharga. Angka hanya hitungan waktu namun kenangan dan pelajaran hidupnya tak akan tergerus oleh waktu. In syaa allooh.

Seseorang yang selalu mencintai kita dalam diam. Terkadang, dia yang justru paling memahami saat yang lain tak mengerti. Itulah engkau, bapak. Terima kasihku padamu.

***

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun. Telah berpulang ke rohmatullooh ayahanda kami tercinta di RS Bhayangkara Lumajang, Selasa 24 Maret 2020, jam 19.30 WIB. Semua menyayangi bapak. Tapi Allah lebih sayang padanya. Semua ingin bersamanya. Tapi Allah lebih berhak membersamai di sisi-Nya. Ijinkan kami anak cucumu berbicara, Pak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun