Negeri ini didominasi orang muda. Usia mereka di rentang 16-30 tahun. Jumlah mereka mencapai 68,82 juta jiwa, setara dengan 24 persen dari total penduduk Indonesia. Tapi, pada Rabu, 27 Desember 2023 lalu, tak seorang pun orang muda menampakkan diri di Warung Apresiasi Bulungan, Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Ada apa dengan orang muda?
Beda Era, Beda Imajinasi
Padahal, pada masanya, kawasan tersebut merupakan epicentrum orang muda. Di seputar Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan itu, ada SMA Negeri 6 dan 70, yang pada masanya merupakan dua sekolah favorit di Jakarta. Juga, ada Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, yang pada masanya menjadi epicentrum kreativitas sastra, teater, lukis, dan musik.
Di Diskusi Kebudayaan Indonesia, Di Persimpangan Sejarah hari itu, tak seorang pun orang muda menampakkan diri. Pembicara dan peserta diskusi di Wapres Bulungan tersebut, seluruhnya berasal dari Generasi X, mereka yang lahir di rentang tahun 1965-1980.
Apakah para orang muda sudah tidak tertarik pada Kebudayaan? Mereka menghilang dari isu Sejarah? Mereka berpaling dari isu Kebangsaan? "Jangan-jangan mereka sesungguhnya tidak menghilang. Tapi, kita yang tidak bisa menemukan mereka. Karena, kita tidak memiliki cara serta pola komunikasi yang tepat untuk menjangkau mereka," ujar Dr. Ngatawi Al-Zastrow, budayawan dari kalangan nahdliyin.
Ngatawi Al-Zastrow menjadi pembicara hari itu, bersama Isti Nugroho. Isti juga budayawan, yang ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada zaman Orde Baru, dijatuhi hukuman penjara, karena membaca dan mengedarkan buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Isti Nugroho kelahiran 30 Juli 1960 dan Ngatawi Al-Zastrow kelahiran 27 Agustus 1966. Otokritik kita tidak memiliki cara serta pola komunikasi yang tepat untuk menjangkau mereka tentu saja mengesankan. Menurut saya, Ngatawi Al-Zastrow sesungguhnya mengingatkan peserta diskusi, jangan serampangan menuding orang muda menghilang dari isu Kebangsaan.
Ia justru mengajak para Generasi X melakukan introspeksi, untuk menemukan cara yang tepat merangkul orang muda. Mengajak mereka untuk menjadi bagian dari dinamika kebangsaan. Bagi Ngatawi Al-Zastrow, dalam perspektif budaya, tidak ada cara yang berlaku secara universal untuk semua orang muda di semua tempat.
Artinya, cara merangkul orang muda di suatu komunitas, belum tentu tokcer untuk diterapkan di komunitas lain. Ngatawi Al-Zastrow mengingatkan, "Ada era, situasi, dan imajinasi yang berbeda antara suatu komunitas orang muda dengan komunitas orang muda lainnya. Tidak bisa digeneralisir begitu saja."
Dalam hal ini, Ngatawi Al-Zastrow memang kental dengan pendekatan kebudayaan, pendekatan yang berbudaya. Al-Zastrouw sejak awal memang telah memilih kebudayaan sebagai jalan dakwahnya. Ia yakin, melalui jalan kebudayaan, nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil alamin justru akan lebih mudah diterima masyarakat luas.